Harapan itu layaknya pedang.
Tajam dan juga berbahaya.Semakin kamu berharap semakin pula dia membuatmu berdarah.Ibu selalu mengatakan hal itu pada Maudi. Untuk tidak berharap pun untuk tidak memberikan harapan. Pada siapapun itu dan perihal apapuni itu. Karena sejatinya manusia mudah sekali berspekulasi, mereka menerapkan ekspektasi keterlaluan tinggi dan kadang terlalu rendah untuk banyak hal dalam individu yang berbeda.Karena itu Maudi selalu bersikap apa adanya, ia jarang sekali berpura-pura, tidak bisa, kalau suka bilang suka kalau tidak ya bilang tidak.Karena sejatinya tidak ada manusia yang menyukai hasil dari sebuah ekspektasi yang hancur.Maudi dengan bodohnya sudah pernah jadi saksi dari hal tersebut, ia bahkan menjajal sendiri hal itu.Penyesalan itu instan.Dan kadang memalukan."Aku nggak ambil," ujar Maudi dengan satu hendikan bahu.Ia mengatakan itu dengan enteng tanpa beban.Apa? Salah dengar?Oh tidak. IPoint of view.Atau lebih mudahnya disebut sudut pandang adalah hal yang dimiliki oleh semua makhluk hidup.Setiap kejadian yang terjadi di muka bumi punya bentuk berbeda kalau dilihat dari sudut pandang yang berbeda pula.Maudi bukannya mau sok dewasa atau bagaimana dengan membicarakan sudut pandang tapi seiring berjalannya waktu sepertinya Maudi sedikit banyak mengerti mengapa orang-orang kadang terlalu kekeh memegang apa yang ia ucap dan bantahkan.Tentu saja selalu ada ego dalam segala hal.Semua teori yang Maudi pelajari selama masa overthingkingnya saat sebelum tidur setiap malam itu akhirnya mendapat pembuktian.Ia mendengar sendiri ponit of view orang lain tentang hidupnya, bukan yang sok tau, bukan juga sok-sokan mengerti padahal nyatanya kosong blong, tapi yang benar-benar menempatkan diri sebagai seorang yang tau bagaimana rasanya berdiri diatas tanah yang Maudi pijak.'Besok jangan berangkat sendiri, aku anterin, aku tau kamu udah muak
Bintang mengerjap dengan lembut, bulu mata lentik yang dilapisi maskara itu terlihat runcing ke atas, rambutnya disanggul anggun, make up tipis di wajahnya menyempurnakan visual yang sejatinya memang sudah cantik, dia menggunakan blazer cream lengkap dengan akresoris yang menyokong penampilan, style sempurna untuk bentuk tubuh dan tinggi badannya."Dy?" tegur Bintang pelan.Maudi kembali tersadar.Mas Satria fix gila sih ini, batin Maudi. Bidadari macam mbak Bintang begini diceraikan sementara sekarang dia sok perhatian pada kentang magel seperti Maudi.Maudi mengulas satu senyum canggung, dia menegakan punggung dan mewanti-wanti diri dengan keras agar tidak melamun lagi."Iya mbak?" balas Maudi pada wanita yang baru kembali dari perjalanan bisnis berbulan-bulan dan mengajak Maudi ketemuan secara tiba-tiba itu. Maudi juga sempat melirik kearah tempat bermain anak khusus yang disediakan cafe ini, melihat anak laki-laki cool berkaos polo dan celana denim yang
Calum pendarahan.Bahasa medis dan juga sesuatu yang dinamakan CT scan sudah dilakukan.Dokter mengatakan banyak hal namun Maudi tak menangkap apapun dengan bersih di telinganya. Getar tangan dan juga dingin tubuh Bintang yang sedang ia rangkul membuat Maudi tak mampu fokus, terlebih dengan betapa jantung Maudi didera kekhawatiran parah, Calum di dalam sana sendirian.Maudi mengusap lagi pundak Bintang, setelah mendengar apa yang dikatakan dokter, ibu Calum meraung menangis kencang, Maudi memang tak begitu paham detailnya namun terang sekali bahwa dokter bilang kalau kondisi Calum jauh dari kata baik-baik saja. Anak itu memerlukan pertolongan mendesak.Dan sayangnya bahkan setelah buru-buru dibawa kemari Calum masih harus menunggu sebuah tindakan penanganan."Jangan ngawur pak dokter! Ini rumah sakit besar masa persediaan darah nggak ada!" ujar Maudi dengan suara yang begetar, ia mungkin bertindak sebagai sosok yang menenangkan Bintang, namun tidak bisa dipungkiri bah
Ini merupakan hari pertama selama hidup Maudi mengertahui bahwa ternyata golongan darahnya adalah O-.Dua puluh lima tahun nggak tau golongan darah sendiri?Wajar saja. Sedari kecil hingga sekarang Maudi sangat jarang sakit, masuk ke dalam Puskesmas pun hanya setahun sekali untuk mendapatkan surat keterangan sehat dokter, keperluan melamar pekerjaan. Jadi jangankan diinfus atau melakukan pemeriksaan medis yang bisa mengetahui golongan darah, meriang hanya perlu tempelan koyo dan besoknya sudah hilang.Kabar baik dari hal itu adalah Maudi jadi bisa memberikan darahnya untuk Calum.Karena kata dokter B- hanya bisa menerima donor dari golongan darah O- dan juga B-.Tanpa tunggu lama, tanpa bertanya hal-hal membingungkan yang cukup mengganggu di kepala Maudi setuju untuk memberikan darahnya, dan operasi Calum pun dilakukan.Maudi tidak memikirkan apapun selama darahnya diambil, yang ia cemaskan dan juga harapkan hanyalah Calum agar anak itu baik-baik saja.&
Ia awam dalam sebuah hubungan, bahkan untuk ukuran pertemanan saja, Maudi sulit melakukanya, karena mau dibilang bagaimana pun Maudi tergolong manusia yang tidak sulit bersosialisasi.Apalagi jika ditanya dan dihadapkan soal percintaan. Pacar-pacaran, dan yang lebih serius lagi, pernikahan. Ibaratnya Maudi itu gadis yang masih ada dalam masa ospek maba, ia baru, tak tau apapun, dan perlu belajar lebih banyak agar bisa melanjutkan hidup lebih baik.Jadi kalau ditanya apakah Maudi mau memulai sebuah hubungan dengan laki-laki, jawabannya tentu belum. Setidaknya untuk saat ini. Menemukan jati diri saja belum, hidup sendiri saja belum benar, Maudi tidak ingin mempersulit hidup dengan menambah satu beban pikiran di kepalanya.Perasaanmu sendiri bagaimana, Dy?Untuk yang bertanya hal itu pada Maudi, kali ini Maudi berikan sebuah jawaban yang terang dan bersih.Satria memang pria baik, Satria memang memperlakukan Maudi dengan baik, dan lebih dari apapun, Maudi
"Anyeonghaseyo wong Njakarta!"Seruan itu datang tiba-tiba saja, di tengah siang yang tak terlalu panas ini dengan suara yang ketara antusiasnya.Maudi yang semula sedang rebahan di dalam kamar langsung bangkit secepat ia mendengarnya, berdiri dan langsung keluar kamar.Melihat dengan matanya sendiri teman karib yang sudah rapih dengan hijabnya."Wong Jakarta gundule!" seru Maudi kemudian sebagai balasan. Tak urung satu senyum pun hadir di wajahnya.Mereka layaknya teman biasa, kalau bertemu tentu yang dibicarakan, kurusan, gendutan, tambah glowing, tambah burik, dan sebagainya.Padahal cuma beberapa bulan tidak berjumpa.Hari ini terhitung hari ke lima Maudi sampai di rumah. Setelah menghabiskan empat hari karantina mandiri ia pun sudah bisa bertemu orang banyak karena tidak ada gejala yang macam-macam.Eva bisa dibilang teman yang paling sering berhubungan dengan Maudi saat Maudi masih di perantauan. Jadi mau ngobrol bagaimana pun juga, teta
Seperti yang direncanakan Maudi dan temannya benar-benar pergi ke pusat perbelanjaan terdekat. Tidak kendor tentu saja, meski Eva bilang kasus Cororo di sini masih belum ada tapi mereka tetap menjaga dan mematuhi protokol kesehatan.Dan seperti yang sudah di duga juga, pasar terlihat sepi, swalayan besar pun tak banyak orang berkunjung, pegawai yang biasanya banyak sekarang hanya tinggal beberapa, dan toko-toko di pinggir jalan yang mereka lewati pun kebanyakan tutup.Tanpa bilang atau melihat berita pun Maudi bisa tau kalau ekonomi sedang merosot. Banyak keluarga yang kekurangan pemasukan, sementrara pengeluaran masih sama, dan keluarga Maudi termasuk keluarga yang beruntung, uang pensiunan bapak juga sokongan dari kakak-kakak mengalir hingga ibu tak perlu terlalu kesusahan.Selesai cuci mata, berkeliling dan membeli belanjaan yang dimau, Maudi dan Eva pun segera pulang.Mengendarai motor beat merah membelah jalanan yang sepi.Di depan gang menuju rumah Mau
"Maudi masak."Celetukan dengan nada tak percaya itu terdengar dari arah belakang, benar, belakang sana, pada pintu tanpa daun yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.Maudi yang sedari tadi berkutat dengan seperangkat alat masaknya pun memejamkan mata.Kalau mau ngomongin orang mbok ya dilirihkan suaranya, nah ini, Maudi jelas-jelas bisa mendengar kakaknya bergosip seakan-akan Maudi memang baru pertama kali ini memegang sutil di dapur.Ya iyalah sengaja, dua kakak Maudi memang ingin meledek adik perempuannya itu, karena setelah kembali dari perantauan dua minggu lalu Maudi rajin sekali bermain wajan. Soalnya rugi, ngomongin orang tapi orangnya nggak dengar itu agak rugi sebenarnya.Mario kakak Maudi yang paling idiot pun membalas dengan nada suara yang dibuat-buat."Maudi? Maudi siapa? Maudi adikmu?"Daripada menoleh, mengusir atau meladeni dua orang tak ada kerjaan itu Maudi lebih memilh meraih tutup wajan dan menutup ayamnya yang sudah jadi."Adikmu j