-- "Lagi musuhan sama Satria?" tanya mbak Sari ketika tangannya sibuk melipat pastel karena ada pesanan, dia bertanya pada Maudi yang juga sedang ada di sebelahnya.Maudi tidak ada kegiatan lain, sebenarnya mbak Sari bilang kalau pesanan ini tidak terlalu banyak hingga digarap satu orang pun bisa, tapi Maudi juga sungkan kalau hanya diam di kamar tanpa melakukan apapun. Jadi ia membantu, jika dikerjakan satu orang sudah ringan, berarti jika dikerjakan oleh dua orang akan bertambah ringan.Maudi baru selesai menyendokan isi pastel ke kulitnya. Sudah pasti Sari mengira-ira kenapa Maudi tiba-tiba keluar dari rumah itu secara mendadak dan mencari tempat tinggal sementara. Dan dia berpikir kalau Satria juga Maudi sedang ada slek.Maudi mendongak, tak lama kemudian menggeleng."Enggak," jawab Maudi jujur. Tapi kalau untuk menjelaskan alasan yang sebenarnya, sepertinya akan melelahkan, jadi lebih baik diam saja dan menjawab apa yang ditanyakan."Kamu ini kenalannya B
Dalam dua puluh lima tahun hidupnya Maudi tidak pernah berlaku kriminal satu kali pun. Sumpah deh, meski kelihatannya agak badung dan nakal di sekolah Maudi tidak pernah melanggar aturan sekolah lebih dari lima kali. Dan itu sudah luar biasa. Pun bisa dibuktikan dengan riwayat kejahatannya di SKCK yang rutin diperbaharui setiap enam bulan sekali.Tetapi pagi ini Maudi harus berjalan mengendap-endap dengan tas belanja di tangan seolah baru saja melakukan dosa besar. Memangnya apa lagi? Karena ia harus melewati rumah Satria dan tidak ingin Sera melihat kehadirannya di sini atau keributan akan kembali terjadi.Sudah. Maudi sudah pakai jaket besar dan memakai tudungnya juga, celana yang dipakai Maudi juga panjang, masker pun tak lupa, dan semuanya warna hitam. Jadi kalau bukan buronan penampilan Maudi saat ini mirip sekali dengan psikopat yang hendak cari makan.Bukan tanpa alasan Maudi melakukan hal beresiko seperti ini. Ia sudah menginap tidur di rumah mbak Sari empat hari la
"Udah punya pacar?"Bisik Maudi dengan keterkejutan yang coba ia redam dengan senatural mungkin. Matanya bahkan mengedip samar, ia tidak percaya dengan apa yang lelaki ini katakan setelah Maudi mengumumkan kalimat 'kepemilikan' yang ngaku-ngaku beberapa saat lalu."Hm. Saya sudah punya pacar," ujar Jihan lagi. Raut wajahnya seperti manusia tanpa dosa.Mengedip dan mengangguk, lalu kemudian tersenyum.Apa-apaan ini!Ketika itu terang sekali.Maudi tidak bisa untuk tidak memejamkan mata, menunda diri untuk tidak berteriak. Apa jadinya diri ini, untuk apa Maudi hidup lebih lama lagi, kenapa juga dia mengatakan hal itu tadi, Satria pasti tau kalau Jihan sudah punya pasangan dan mau ditaruh mana muka Maudi nanti.Maudi mendecak pelan. Menyesal dengan segenap hati."Kardus! Terus ngapa nyepik anak orang gencer banget, dasar pakboy!" gerutu Maudi dengan suara yang pelan. Kendati sejujurnya ia tidak keberatan meski Jihan bisa mendengar kalimatnya.Dan ternyata, le
Harapan itu layaknya pedang.Tajam dan juga berbahaya.Semakin kamu berharap semakin pula dia membuatmu berdarah.Ibu selalu mengatakan hal itu pada Maudi. Untuk tidak berharap pun untuk tidak memberikan harapan. Pada siapapun itu dan perihal apapuni itu. Karena sejatinya manusia mudah sekali berspekulasi, mereka menerapkan ekspektasi keterlaluan tinggi dan kadang terlalu rendah untuk banyak hal dalam individu yang berbeda.Karena itu Maudi selalu bersikap apa adanya, ia jarang sekali berpura-pura, tidak bisa, kalau suka bilang suka kalau tidak ya bilang tidak.Karena sejatinya tidak ada manusia yang menyukai hasil dari sebuah ekspektasi yang hancur.Maudi dengan bodohnya sudah pernah jadi saksi dari hal tersebut, ia bahkan menjajal sendiri hal itu.Penyesalan itu instan.Dan kadang memalukan."Aku nggak ambil," ujar Maudi dengan satu hendikan bahu.Ia mengatakan itu dengan enteng tanpa beban.Apa? Salah dengar?Oh tidak. I
Point of view.Atau lebih mudahnya disebut sudut pandang adalah hal yang dimiliki oleh semua makhluk hidup.Setiap kejadian yang terjadi di muka bumi punya bentuk berbeda kalau dilihat dari sudut pandang yang berbeda pula.Maudi bukannya mau sok dewasa atau bagaimana dengan membicarakan sudut pandang tapi seiring berjalannya waktu sepertinya Maudi sedikit banyak mengerti mengapa orang-orang kadang terlalu kekeh memegang apa yang ia ucap dan bantahkan.Tentu saja selalu ada ego dalam segala hal.Semua teori yang Maudi pelajari selama masa overthingkingnya saat sebelum tidur setiap malam itu akhirnya mendapat pembuktian.Ia mendengar sendiri ponit of view orang lain tentang hidupnya, bukan yang sok tau, bukan juga sok-sokan mengerti padahal nyatanya kosong blong, tapi yang benar-benar menempatkan diri sebagai seorang yang tau bagaimana rasanya berdiri diatas tanah yang Maudi pijak.'Besok jangan berangkat sendiri, aku anterin, aku tau kamu udah muak
Bintang mengerjap dengan lembut, bulu mata lentik yang dilapisi maskara itu terlihat runcing ke atas, rambutnya disanggul anggun, make up tipis di wajahnya menyempurnakan visual yang sejatinya memang sudah cantik, dia menggunakan blazer cream lengkap dengan akresoris yang menyokong penampilan, style sempurna untuk bentuk tubuh dan tinggi badannya."Dy?" tegur Bintang pelan.Maudi kembali tersadar.Mas Satria fix gila sih ini, batin Maudi. Bidadari macam mbak Bintang begini diceraikan sementara sekarang dia sok perhatian pada kentang magel seperti Maudi.Maudi mengulas satu senyum canggung, dia menegakan punggung dan mewanti-wanti diri dengan keras agar tidak melamun lagi."Iya mbak?" balas Maudi pada wanita yang baru kembali dari perjalanan bisnis berbulan-bulan dan mengajak Maudi ketemuan secara tiba-tiba itu. Maudi juga sempat melirik kearah tempat bermain anak khusus yang disediakan cafe ini, melihat anak laki-laki cool berkaos polo dan celana denim yang
Calum pendarahan.Bahasa medis dan juga sesuatu yang dinamakan CT scan sudah dilakukan.Dokter mengatakan banyak hal namun Maudi tak menangkap apapun dengan bersih di telinganya. Getar tangan dan juga dingin tubuh Bintang yang sedang ia rangkul membuat Maudi tak mampu fokus, terlebih dengan betapa jantung Maudi didera kekhawatiran parah, Calum di dalam sana sendirian.Maudi mengusap lagi pundak Bintang, setelah mendengar apa yang dikatakan dokter, ibu Calum meraung menangis kencang, Maudi memang tak begitu paham detailnya namun terang sekali bahwa dokter bilang kalau kondisi Calum jauh dari kata baik-baik saja. Anak itu memerlukan pertolongan mendesak.Dan sayangnya bahkan setelah buru-buru dibawa kemari Calum masih harus menunggu sebuah tindakan penanganan."Jangan ngawur pak dokter! Ini rumah sakit besar masa persediaan darah nggak ada!" ujar Maudi dengan suara yang begetar, ia mungkin bertindak sebagai sosok yang menenangkan Bintang, namun tidak bisa dipungkiri bah
Ini merupakan hari pertama selama hidup Maudi mengertahui bahwa ternyata golongan darahnya adalah O-.Dua puluh lima tahun nggak tau golongan darah sendiri?Wajar saja. Sedari kecil hingga sekarang Maudi sangat jarang sakit, masuk ke dalam Puskesmas pun hanya setahun sekali untuk mendapatkan surat keterangan sehat dokter, keperluan melamar pekerjaan. Jadi jangankan diinfus atau melakukan pemeriksaan medis yang bisa mengetahui golongan darah, meriang hanya perlu tempelan koyo dan besoknya sudah hilang.Kabar baik dari hal itu adalah Maudi jadi bisa memberikan darahnya untuk Calum.Karena kata dokter B- hanya bisa menerima donor dari golongan darah O- dan juga B-.Tanpa tunggu lama, tanpa bertanya hal-hal membingungkan yang cukup mengganggu di kepala Maudi setuju untuk memberikan darahnya, dan operasi Calum pun dilakukan.Maudi tidak memikirkan apapun selama darahnya diambil, yang ia cemaskan dan juga harapkan hanyalah Calum agar anak itu baik-baik saja.&