“Pap!! Pap!!” Panggilan itu mengisi hiruk pikuk di ruang keluarga kediaman Berbardo. Semua yang ada di sana terkejut melihat kondisi Max yang terkena serangan jantung. “Cepat panggil ambulance!” teriak Mrs. Milly membentak para pelayan di sana. Gegas kumpulan pelayan mengahambur untuk meraih telepon dan menghubungi ambulans. Fernand terlihat sangat gusar akan kondisi ayahnya yang kini berada di pelukan Mrs. Milly. Pria itu mendelik tajam pada Gabby. “Sekarang, puas kau? Puas?!!!” Gabriella terkejut dengan kondisi ayah mertuanya. Tak menyangka jika pria itu akan terkena serangan jantung hanya karena mendengar kondisi kehamilan Maritza yang di luar pernikahan, bahkan tanpa adanya kekasih yang sedang menjalin hubungan dengan gadis belia itu. Tetap saja dia tak menyangka Mr. Max bisa mengalami hal mengerikan ini. “Aku hanya mengatakan apa yang kuketahui! Adikmu itu memang sedang hamil! Siapa yang menyangka ayahmu terkena serangan jantung?!” Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Gab
“Silvana? Ada apa menelponku?” Jose terlihat teramat heran. Kedua alis tebalnya yang seperti golok terlihat hampir menyatu. “Jose, ini tentang ayahmu. Dia-” “Ada apa dengan pap?” tanya Jose dengan nada yang tidak terlalu antusias. Sebagian besar dirinya sudah tak mempedulikan lagi keadaan ayahnya itu. Tapi nada suara Silvana, dan kenyataan bahwa wanita itu menghubunginya, pastialh bukan untuk hal sepele. “Ayahmu terkena serangan jantung sore tadi, dan sekarang dirawat di ruang ICU. “ “Apa? Bagaimana bisa? Setahuku pap tidak mempunyai riwayat sakit jantung!” “Aku juga tidak tahu, Jose. Tapi ... saat ayahmu terkena serangan jantung, Fernando melarangku untuk menghubungimu. Tapi lima menit lalu, dia menyuruhku untuk segera memberitahumu tentang ini.” “Apakah ada yang kau curigai?” tanya Jose pada Silvana. Dadanya sudah bergemuruh hebat, antara merasakan kepedihannya sebagai seorang anak, tapi dia juga memiliki tembok pahit tentang segala kenangan bersama ayahnya itu. Ditanya sepe
Jose mengira dia takkan peduli pada ayahnya itu. Pria tua itu tak layak mendapatkan secuil pun rasa sayang darinya. Bahkan jikalau hanya sekadar rasa kasihan, ayahnya pun masih tak pantas mendapatkannya.Ketika ibunya sakit bertahun-tahun yang lalu, jangankan mendapatkan perawatan seperti yang didapat ayahnya saat ini. Untuk membeli obat-obatan murah di apotik saja, ibunya tidak sanggup.Sang ibu masih harus bekerja ekstra dan menghemat makan hanya untuk membeli obat. Lalu ibunya juga tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari ayahnya. Bahkan dia diusir dari rumah warisan kakeknya.Apa itu yang dinamakan manusia? Pria sejati?Lalu sekarang, haruskah dia kasihan pada pria tua tanpa belas kasihan itu?Ingin Jose mengabaikannya. Tidak memedulikannya.Tapi ketika dia mendengar kabar duka itu, hatinya bagai jatuh menembus perut dan berhamburan di tanah.Langit yang tadinya terlihat baik-baik saja, tiba-tiba bagai runtuh menindih kepalanya.Napas yang tadinya masih baik-baik saja, kini te
“Hah! Sangat lucu dia bisa berkata bahwa ratusan ribu dolar di rekeningnya itu hasil keringatnya sendiri? Apa dia berpikir bahwa dirinya adalah seorang presdir?” Petugas yang menginterogasi Jose mengoceh kesal atas apa yang dikatakan Jose barusan.Saat ini, kondisi Jose sudah tak berdaya. Dia baru saja disuntik obat penenang dan kini kepalanya sudah tergeletak di atas meja. Jose Antonio tak berdaya dan dalam keadaan tidur nyenyak.“Memangnya apa pekerjaannya?” tanya petugas satunya, yang bertubuh tambun. Dia juga yang meminta agar Jose disuntik obat penenang.“Dia? Setahuku dia ini hanyalah pengangguran tak jelas. Jika bukan karena dia putra dari Max Berbardo, dia pasti sudah berakhir tuna wisma di jalanan. Kalaupun dia terlihat bekerja, paling-paling pekerjaannya hanyalah pekerjaan serabutan. Tidak lebih!”“Oh, pantasan kau begitu yakin uang itu berasal dari pemberian keluarga tirinya bajingan ini.”“Tentu saja! Mrs. Milly tidak mungkin berbohong. Bajingan ini yang mengancam mereka a
“Fernando awalnya memintaku untuk tidak memberitahukan Jose saat Mr. Max terkena serangan jantung. Tapi saat sore tiba, Fernando tiba-tiba menghubungiku dan memerintahkanku utnuk mengabari Jose mengenai kondisi gawat sang ayah. Fernando juga memberitahukanku nomor kamar tempat rawat inap Mr. Max. Aku pun menghubungi Jose dan memberitahukan keadaan ayahnya itu.” Thalia mengangguk dan masih bisa megnerti apa yagn disampaikan Silvana karena dia masih mengetahui saat Silvana menelpon Jose dan suaminya itu kemudian menjenguk sang ayah. Silvana pun melanjutkan, “Lalu saat malam tiba, Fernando menelpon dan memberitahukanku jika ayahnya sudah meninggal. Ketika mereka kembali dari rumah sakit, polisi berdatangan kemudian menanyai mereka. Aku seperti mendengar bahwa mereka menyebut-nyebut tentang Jose, bahwa pria itu marah pada almarhum ayahnya karena mengajukan pinjaman bank dengan menggunakan tanah dan rumah yang sebenarnya adalah harta warisannya, sebagai agunan pinjaman. Lalu mereka j
Malam hari kini menjadi momok bagi Thalia. Dia sendirian di rumah sewaan mereka. Sekalipun rumah itu tidak besar, tapi sendirian sepanjang hari dan berlanjut menjadi sepanjang malam, Thalia nyaris kehilangan kewarasannya. Ketika dia berhasil mengangkat tubuhnya untuk sekadar membasuh diri, Thalia memandangi dirinya di depan cermin. Perutnya sudah membesar. Kandungannya sudah memasuki trimester tiga. Seharusnya ini menjadi masa-masa yang tak terlupakan oleh dirinya dan Jose. Tapi alih-alih menanti kelahirannya, Thalia malah diperhadapkan dengan situasi ini. Selesai memandangi dirinya, Thalia merebahkan diri. Gerakan kaki dan tangan si baby di dalam rahimnya mulai aktif di saat seperti ini. Biasanya Thalia akan berseru girang sambil memanggil Jose agar bisa ikut merasakan gerakan bayi mereka. Tapi saat ini, Jose tidak ada di sampingnya. Memikirkan ini semua, napas Thalia mulai sesak. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan mencari keberadaan suaminya itu. Tapi saat tak kunjung dia t
Thalia masih dalam deraian air mata ketika mereka telah duduk berhadapan dan hanya dibatasi dengan satu meja.Phillio memberi waktu bagi mereka dengan menarik Helena pergi dari ruangan itu. Begitu pun dengan pengacara untuk Jose.Dengan dibatasi dinding di ruangan itu dan diawasi CCTV serta beberapa pasang mata para petugas di kantor polisi itu, Thalia terus menggenggam tangan Jose.Dia mengelus lembut punggung jari Jose yang masih terlihat bengkak. Ada gemetar di sana yang bisa dibayangkan Thalia, jari suaminya itu pastilah sedang teramat sakit.“Apa sakit?” tanyanya lembut sambil menatap sepasang mata Jose yang teramat dalam. Wajah yang tampak di wajah Jose seperti bukanlah wajahnya.Rambut-rambut jambangnya telah tumbuh tak tertata, menutupi bibir dan rahang. Wajah yang biasanya bersinar dan bersih, kini tampak kusam dan berminyak. Thalia mengamati semua itu sembari menahan perih di hatinya.“Tangan ini menanggung begitu banyak kesakitan,” katanya lagi dengan suaranya yang lembut d
Thalia merasa dirinya adalah ikan kecil air tawar yang ditenggelamkan ke laut asin. Sangat sulit bagi Thalia untuk menggapai napasnya sendiri, meraup oksigen melalui insangnya.Thalia hanya menyadari bahwa dia haruslah tetap bernapas, sekalipun air di sekelilingnya begitu asin dan rasa asin itu ikut terserap setiap kali dia meraup napasnya.Proses itu teramat menyakitkan baginya.Rasanya dia ingin menghambur keluar, mencari Fernando, dan meminta pertanggung jawaban pria itu.Karena di benak Thalia pastilah Fernando dan ibunya itu yang telah menjebak Jose.Mereka teramat jahat. Setega itu membuat Jose, suaminya, mendekam di penjara.Apa mereka tidak berpikir bagaimana dirinya bisa melalui hari tanpa ada Jose di sisinya?Rumah terasa kosong. Sunyi.Hari demi hari berlalu seakan tanpa arti.Bahkan tangis pun Thalia sudah tak sanggup. Sementara itu, Jose menghadapi persidangan demi persidangan.Setiap persidangan, pria itu disudutkan pada kedatangannya yang terekam CCTV rumah sakit di wak