“Fernando awalnya memintaku untuk tidak memberitahukan Jose saat Mr. Max terkena serangan jantung. Tapi saat sore tiba, Fernando tiba-tiba menghubungiku dan memerintahkanku utnuk mengabari Jose mengenai kondisi gawat sang ayah. Fernando juga memberitahukanku nomor kamar tempat rawat inap Mr. Max. Aku pun menghubungi Jose dan memberitahukan keadaan ayahnya itu.” Thalia mengangguk dan masih bisa megnerti apa yagn disampaikan Silvana karena dia masih mengetahui saat Silvana menelpon Jose dan suaminya itu kemudian menjenguk sang ayah. Silvana pun melanjutkan, “Lalu saat malam tiba, Fernando menelpon dan memberitahukanku jika ayahnya sudah meninggal. Ketika mereka kembali dari rumah sakit, polisi berdatangan kemudian menanyai mereka. Aku seperti mendengar bahwa mereka menyebut-nyebut tentang Jose, bahwa pria itu marah pada almarhum ayahnya karena mengajukan pinjaman bank dengan menggunakan tanah dan rumah yang sebenarnya adalah harta warisannya, sebagai agunan pinjaman. Lalu mereka j
Malam hari kini menjadi momok bagi Thalia. Dia sendirian di rumah sewaan mereka. Sekalipun rumah itu tidak besar, tapi sendirian sepanjang hari dan berlanjut menjadi sepanjang malam, Thalia nyaris kehilangan kewarasannya. Ketika dia berhasil mengangkat tubuhnya untuk sekadar membasuh diri, Thalia memandangi dirinya di depan cermin. Perutnya sudah membesar. Kandungannya sudah memasuki trimester tiga. Seharusnya ini menjadi masa-masa yang tak terlupakan oleh dirinya dan Jose. Tapi alih-alih menanti kelahirannya, Thalia malah diperhadapkan dengan situasi ini. Selesai memandangi dirinya, Thalia merebahkan diri. Gerakan kaki dan tangan si baby di dalam rahimnya mulai aktif di saat seperti ini. Biasanya Thalia akan berseru girang sambil memanggil Jose agar bisa ikut merasakan gerakan bayi mereka. Tapi saat ini, Jose tidak ada di sampingnya. Memikirkan ini semua, napas Thalia mulai sesak. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan mencari keberadaan suaminya itu. Tapi saat tak kunjung dia t
Thalia masih dalam deraian air mata ketika mereka telah duduk berhadapan dan hanya dibatasi dengan satu meja.Phillio memberi waktu bagi mereka dengan menarik Helena pergi dari ruangan itu. Begitu pun dengan pengacara untuk Jose.Dengan dibatasi dinding di ruangan itu dan diawasi CCTV serta beberapa pasang mata para petugas di kantor polisi itu, Thalia terus menggenggam tangan Jose.Dia mengelus lembut punggung jari Jose yang masih terlihat bengkak. Ada gemetar di sana yang bisa dibayangkan Thalia, jari suaminya itu pastilah sedang teramat sakit.“Apa sakit?” tanyanya lembut sambil menatap sepasang mata Jose yang teramat dalam. Wajah yang tampak di wajah Jose seperti bukanlah wajahnya.Rambut-rambut jambangnya telah tumbuh tak tertata, menutupi bibir dan rahang. Wajah yang biasanya bersinar dan bersih, kini tampak kusam dan berminyak. Thalia mengamati semua itu sembari menahan perih di hatinya.“Tangan ini menanggung begitu banyak kesakitan,” katanya lagi dengan suaranya yang lembut d
Thalia merasa dirinya adalah ikan kecil air tawar yang ditenggelamkan ke laut asin. Sangat sulit bagi Thalia untuk menggapai napasnya sendiri, meraup oksigen melalui insangnya.Thalia hanya menyadari bahwa dia haruslah tetap bernapas, sekalipun air di sekelilingnya begitu asin dan rasa asin itu ikut terserap setiap kali dia meraup napasnya.Proses itu teramat menyakitkan baginya.Rasanya dia ingin menghambur keluar, mencari Fernando, dan meminta pertanggung jawaban pria itu.Karena di benak Thalia pastilah Fernando dan ibunya itu yang telah menjebak Jose.Mereka teramat jahat. Setega itu membuat Jose, suaminya, mendekam di penjara.Apa mereka tidak berpikir bagaimana dirinya bisa melalui hari tanpa ada Jose di sisinya?Rumah terasa kosong. Sunyi.Hari demi hari berlalu seakan tanpa arti.Bahkan tangis pun Thalia sudah tak sanggup. Sementara itu, Jose menghadapi persidangan demi persidangan.Setiap persidangan, pria itu disudutkan pada kedatangannya yang terekam CCTV rumah sakit di wak
“Astaga, Mom! Kita akan harus tinggal di tempat seperti ini?!” seru Maritza saat melihat apartemen sewaan yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka.Hari ini adalah hari penalti yang mana mereka sudah harus meninggalkan kediaman rumah besar mereka selama ini.Para pelayan sudah diberhentikan dan Fernando, Mrs. Milly, serta Maritza pun angkat kaki dari rumah yang selalu mereka banggakan selama ini.Segala mobil kepunyaan mereka pun sudah dijual habis, dan hanya tersisa satu mobil pick up, yang bahkan lebih lusuh dari mobil Jose.Pick up itu adalah milik pelayan dapur yang biasanya bisa mereka gunakan untuk berbelanja ke pasar.Tapi hanya mobil itu yang mampu mereka pertahankan karena memang sekalipun dijual, tidak akan laku dengan harga tinggi. “Jangan mengeluh! Hanya ini yang bisa kita usahakan!” hardik Fernando pada adiknya yang manja itu.Pria itu mengangkut beberapa tas koper milik mereka, sedangkan Mrs. Milly menggendong bayi Fernando yang akhirnya harus mereka asuh sendiri.F
“Ini sudah dua minggu melebihi waktu yang dijanjikannya. Apalagi yang kau tunggu?!” Hardikan marah dari Stanley membuat Mario mulai tersinggung.Gabriella memang menjanjikan pada mereka untuk bertemu di Ecatepec de Morelos, sebuah kota yang tidak terlalu besar meski juga tidak sekecil Bacallar, di negara mereka.Dan ide bertemu di Ecatepec de Morelos pun berasal dari Gabriella.“Bukankah sudah berulang kali kukatakan, jangan pernah percaya wanita, apalagi wanita cantik. Ini buktinya! Kau begitu bodoh! Sudah percaya untuk bekerja sama, kau pun masih mempercayai dia saat dia berjanji akan mentransfer sisanya lagi di lain waktu.Mana ada perjanjian seperti itu, goblok! Jika kita bertransaksi, seharusnya kita dibayar di muka 50 persen! Tapi ini? Kau tidak minta uang muka, masih membiarkannya membayar setengah saja. Sangat sangat goblok sekali!”Stanley begitu murka sampai-sampai dia tak peduli lagi jika Mario adalah sepupunya ya
“Hallo there ...!” bisik Gabriella dengan nadanya yang rendah dan sensual. Senyum bibir berlipstik merah terang itu begitu sumringah.Wanita itu baru saja memasuki sebuah night club terbesar di Tijuana City.Musik yang mengentak keras membuat langkah wanita itu pun ikut menggoyangkan pinggulnya dengan sesekali dengan gerakan sensual.Ketika tiba di barstool, Gabriella mengambil duduk di sana, tepat di sebelah pria bertubuh gagah, tinggi, dan kekar.Dan itulah tadi dia menyapa pria itu.Hallo there! Itu katanya dengan senyum begitu menggoda.Pria itu menoleh dan dapat Gabriella lihat betapa tampan dan keras raut wajah pria itu. Ada sedikit kemiripan dengan Jose. Lumayan, untuk pelampiasan obsesi tak tersalurkannya pada Jose.Seperti yang dia harapkan, pria itu membalas senyum Gabriella dengan sama bersemangat dan percaya diri.“Hei!” sapa pria itu dengan tatapan yang menjelajahi tubuh Gabriella. “Sendiri saja?”“Ya! Beginilah jadinya jika para pria melihat wnaita mengendarai Porsche te
Danny tampak begitu terkejut. Pria itu membelalak dan menutup mulutnya dengan tangan. “Kau gila, seksi! Tapi tetap seksi di mataku! Dan semakin seksi!” ucap Danny dengan binar mata yang penuh pemujaan. Gabriella tersenyum sinis lagi. Kepalanya kini membayangkan deretan angka yang masih aman dalam saldo rekeningnya. Dengan jumlah angka di rekeningnya itu, dia tidak perlu lagi bertekuk lutut pada satu pria. Seperti yang dilakukannya pada Fernando. Dia juga tak perlu lagi mengikuti kemauan pria mana pun. Dengan deretan angka dalam rekeningnya, dia bisa menaklukkan pria manapun. Termasuk pria seperti Danny. Sekalipun pria itu kuat di ranjang serta mampu membuainya sampai ke langit ke tujuh, Gabriella yakin dia bisa mendapatkan 1000 Danny sekalipun! ‘Bersiaplah kau, Danny, akan segera kutendang kau!’ seru hati Gabriella menatap sinis pada pria yang tak dibutuhkannya lagi itu. Sementara itu, di Bacallar, Phillio kembali berkumpul dengan Austin dan Fabiano. “Kau lihat ini laporan dari