Thalia menangis tersedu-sedu di tempat perhentian taxi. Dia malu, dia ingin berhenti menangis, tapi nyatanya hatinya sakit sekali.
Ini tidak sama seperti saat Fernando mengkhianatinya. Sekalipun saat itu juga sakit, tapi sakit yang ini lebih berkali-kali lipat. Dia benar-benar merasa telah dikhianati kemudian dihempas seperti kain pel usang yang tak berguna lagi.
Hanya Ramona yang menghiburnya, tapi tetap tidak mampu mengembalikan kepingan hatinya.
“Kau tenang dulu, Thal. Gabriella tidak bisa dipercaya. Kau tau sendiri seperti apa dia!”
Thalia diam, tidak menyahut. Sekalipun dia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Dia sendiri ingin tidak mempercayai Gabriella, tetapi foto itu tidak mungkin hasil editan. Lipstik dan lingerie itu juga nyata.
“Itu taxinya. Hapus dulu air matamu itu. Apalagi nanti saat tiba di rumah ayahmu. Jangan sampai Camila dan ayahmu melihatmu menangis.”
Ramona mengangkat semua hasil be
Jose menatap punggung Thalia yang menghilang di balik pintu rumah sewaan mereka. Kakinya terasa lemas saat itu juga. Lebih dari separuh dirinya bagai menjelma menjadi debu yang tertiup angin. Hilang tak berbekas. Dia ingin mengejar Thalia, tetapi entah kenapa kakinya bagai terpaku di lantai, tak bisa melangkah. Yang dia lakukan malah melempar meja ke arah lemari piring. Semua barang di sana roboh dan hancur berkeping-keping. Sama seperti hatinya. Dengan berbagai emosi yang tak mampu dia artikan lagi, Jose menuju halaman belakang rumah. Dia mengeluarkan rokok, menyulut, dan menghisapnya. Tanpa disadarinya, jari yang mengepit batang rokok bergetar. Bagaimana jika ini adalah kali terakhir dia melihat Thalia? Lebih dari separuh hidupnya dia selalu melihat Thalia. Jika dia tak bisa melihat Thalia lagi, bagaimana dia bisa hidup? SEtiap tarikan napasnya akan terasa sakit, seakan melewati duri tajam. Setelah beberapa kali
“Gabby, maaf, aku tidak bisa ikut.” Alodia berdiri di samping Gabriella dan akhirnya mengutarakan suara hatinya sedari tadi. Dia sudah tidak merasa nyaman dengan tingkah Gabriella yang menurutnya terlalu aneh. Gabriella sudah mengajaknya berkeliling selama beberapa hari terakhir ini. Namun, bukan berkeliling untuk jalan-jalan, tetapi mengintai rumah keluarga Thalia. Saat dilihatnya Thalia dan Ramona akhirnya keluar dan menuju kafe baru ini, Gabriella juga ikut ke kafe ini. Tapi sesampainya di sini, wanita itu bertingkah seolah-olah mereka bertemu tanpa sengaja. Alodia merasa ada yang salah dengan hubungan Gabriella dan Thalia. Karena itu, dia ingin mundur. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi. Gabriella pun tak ambil pusing saat Alodia tidak ingin mengikutinya lagi. Yang terpenting baginya saat ini adalah Thalia bersedia digiring untuk menemui wanita yang ada di foto, yang berada di pangkuan Jose. Gabriella terkikik
Di titik ini rasanya segala kemarahannya runtuh. Thalia hanya berharap Jose bisa muncul dan menyelamatkannya saat ini juga. Dia berjanji dalam hatinya tidak akan mempermasalahkan apapun lagi. Dia hanya ingin terlepas dari pria mengerikan di depannya ini. Bahkan aroma tubuh pria itu yang seperti air laut yang asin pun sudah tercium oleh Thalia, membuatnya semakin ingin muntah dan ketakutan. Dalam gemetar tubuhnya, tiba-tiba saja pria berbadan besar itu jatuh ditinju. “Kau tidak apa-apa?” tanya suara yang cukup dikenal Thalia sesaat setelah pria berbadan besar itu dirobohkan dalam sekali pukul. “Ayo keluar dari sini,” kata suara satunya. Thalia yang masih ketakutan menatap kedua orang itu. Seketika hatinya lega tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. “Oh, Thalia, jangan menangis lagi. Ayo keluar dari sini. Kau sudah aman sekarang. Tapi kenapa kau bisa ada di tempat seperti ini?” Kedua orang itu membawa Thali
“Stop di sini saja!” pinta Thalia saat taxi nya telah sampai di rumah sewaan mereka.Thalia membayar kemudian turun. Dipandanginya rumah sederhana tempat dirinya dan Jose bernaung selama beberapa minggu terakhir ini.Belum lama mereka di sana menikmati kebahagiaan, tetapi kini mereka telah meninggalkan rumah itu. Dan dia yang terlebih dahulu meninggalkannya. Padahal dia juga yang meminta Jose untuk tinggal berdua saja, meninggalkan rumah yang diamanatkan pada Jose untuk dijaga.Thalia melangkah mendekati rumah bercat putih itu, dengan pekarangan luas yang rimbun karena hadirnya satu pohon mangga yang besar dan subur menaungi halaman itu.Suasana rumah gelap. Tidak ada pick up Jose di sana. Juga tidak ada satu pun lampu yang menyala. Thalia masuk, menyalakan lampu, dan mendapati keadaan rumah di dalam sangat berantakan seperti kapal pecah. Ingatannya menayangkan kilasan bunyi saat Jose melempar meja ke arah lemari hingga sem
Setelah menangis tersedu-sedu menumpahkan segala gundah gulana dan penyesalannya pada sang ayah, Thalia menghubungi Phillio dan Hellena. Dengan restu dari ayahnya, Thalia meminta Phillio mengantarkannya untuk bertemu dengan Jose.“Please, Phillio, aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin meminta maaf. Lagi pula, turnamen tinju itu berbahaya. Nyawa taruhannya! Aku ingin memberitaunya tidak perlu ngotot mendapatkan uang sebegitu besarnya. Aku tidak membutuhkan uang segitu!”“Tapi, Thal, Jose akan marah jika aku membawamu ke sana. Tempat itu terlalu keras untuk wanita sepertimu,” elak Phillio tetap tidak mau mengiyakan permintaan Thalia.“Aku tak peduli! Sekarang jika sampai suamiku kenapa-kenapa, dan aku tidak sempat bertemu dengannya, kau yang akan kusalahkan seumur hidupku! Kau yang akan menanggung dosa dan harus menyampaikan padanya meski harus melewati alam lain!” Thalia sudah putus asa sampai-sampai dia mulai me
“Satu. Dua. Tiga ...” Suara wasit mengumandang. Thalia tahu dia hanya punya kurang dari tujuh detik lagi saja. Saat hitungan wasit mencapai angka sepuluh dan Jose belum juga bergerak sekadar mengangkat tangannya, Jose akan dinyatakan kalah. “Biarkan aku lewat! Itu suamiku!!!” teriak Thalia pada bodyguard yang menghadangnya. Tapi bodyguard berotot gelembung itu tidak menghiraukannya. “JOSEEEEE!!!!” Thalia mengerahkan segenap tenaganya untuk berteriak. “JOSSSEEEEEEEEEEE!!!” Akhirnya, suara Thalia terdengar di telinga Jose. Tatapan pria itu mencari keberadaan Thalia meski tubuhnya masih tak berdaya di lantai ring. Kedua pupil Jose membesar seketika saat tatapannya bertemu dengan Thalia. Bibirnya bergerak tanpa kata. “Jose! Aku ...” Kata-kata Thalia tercekat di tenggorokannya seiring dia menatap kedua mata Jose yang terlihat sipit karena bengkak dan memarnya di berbagai sudut wajah. Hati Thalia tak tega melihat wajah itu bab
“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”Thalia hanya terpaku memandangi Jose sekalipun suara wasit berteriak memanggil tim medis mereka.“Jose?” panggilnya lirih, berharap Jose hanya tertidur.Dengan tangan bergetar, Thalia menyentuh pipi itu. “Jose? Bangunlah.”“Maaf, Nona. Kami harus membawanya.”Tim medis yang tiba langsung mengangkat tubuh Jose dan menaikkannya ke tandu. Mobil ambulans telah bersiap di halaman.Thalia tertinggal sendirian menatapi tubuh Jose yang dibawa pergi.“Thalia? Kau tidak apa-apa?” Suara Helena memanggilnya dari belakang. Dan suara itu segera tertelan oleh hirup pikuk kemenangan Raul yang dikumandangkan wasit.Thalia masih bergeming tak bergerak, seakan dia pun tak bernyawa.“Thalia?” panggil Phillio yang menyusul.Bahu itu berguncang dan Helena hanya mampu merangkulnya. Tak lama setelah itu, Thalia cepat ber
Thalia terduduk sedih. Andai mungkin waktu bisa diulang, dia akan menahan dirinya untuk marah. Dia akan lebih berpikir jernih, menyelidiki semua bukti benda wanita yang bukan miliknya itu terlebih dahulu, sebelum dia melontarkan tuduhannya.Masalahnya, saat itu juga Jose dirudung kemarahan dan kecemburuan. Jose juga main pergi tanpa berpamitan padanya sedangkan rumah itu baru mereka tempati dan hanya mereka berdua saja. Tidak mungkin Thalia tidak merasa marah saat ditinggalkan begitu saja.Dan jika dipikir-pikir lagi, Thalia juga menyesali kenapa dia harus menutup-nutupi pernikahannya dengan Jose pada teman-temannya di kampus. Seharusnya, dia terbuka dan apa adanya. Pergi ke kampus dengan mengenakan cincin pernikahan, tidak perlu dia merasa malu.Sekarang, semua rasa yang tidak perlu itu nyatanya dibalas dengan hancurnya hati Jose. Thalia tahu dia sudah melukai hati pria itu.Seperti yang Pap katakan padanya, ‘Jose pastilah telah sanga