Kak Ayu dan keluarganya datang ke rumah kami. Rencananya ia mengantar Bang doa untuk meminta maaf kepada Niar.
Ketika datang anak-anak langsung bermain di kamar Icha. Sedangkan kami bicara bersama di ruang tamu.
Tadinya Niar tak mau diajak untuk menemui mereka. Akan tetapi, aku memintanya untuk mencoba ikut.
Kami membuat kesepakatan, jika Niar tidak memungkinkan mengatur emosinya, maka dia boleh meninggalkan kami nanti.
"Baiklah Bang, akan kucoba menghadapi Kak Ayu dan bang Aldo. Bismillah," ucapnya.
Setelah menghela napas berkali-kali, Niar mengekorku di belakang untuk menemui Kak Ayu dan Bang Aldo.
Aku melihat reaksi Bang Aldo yang merasa tidak enak ketika bertemu dengan Niar. Kak Ayu yang bersikap tenang, memulai percakapan diantara kami.
"Niar dan Deni, Kak Ayu dan Bang Aldo datang ke sini untuk mengantar Bang Aldo meminta maaf secara langsung kepada kalian berdua." Kak Ayu menengok ke arah Bang Aldo.
"Iya, aku mau minta ma
"Den, sekarang Kak Ayu ada di rumah sakit. Tolong kamu ke sini, ya! Ibu tak mau makan, sekarang perutnya sakit. Aku di IGD bersamanya."Aku terkejut mendengar kabar dari Kak Ayu."Baiklah, Kak. Tunggu, ya!"Aku segera menemui Niar untuk mengatakan kalau aku akan ke rumah sakit."Dek, aku mau ke rumah sakit sekarang, ya! Barusan Kak Ayu telepon katanya Ibu nggak mau makan, sekarang ada di IGD," kata suamiku."Baiklah, Mas. Kamu pergi saja sana!""Baik, Dek. Aku berangkat, ya!"Tak lupa kuminta Niar untuk mengunci semua pintu karena kemungkinan aku nggak pulang malam ini."Baik, Bang. Abang juga hati-hati, ya!" kata Niar."Iya, Dek. Terima kasih."Aku pun berangkat menuju rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju ke IGD tempat Ibu dirawat. Ternyata Ibu sudah dipindah ke ruang perawatan."Den, kamu sudah datang?" tanya Ibu lemas."Sudah, Bu. Ibu kenapa sih?" tanyaku.
"Ada apa ini?" Tiba-tiba Ayah muncul di belakangku."Eh, Ayah sudah datang?Ini Yah, Ibu sedang sakit maag dan tipes, tetapi saat ini malah makan makanan yang pedas."Ibu menengok ke arah kami dengan perasaan tidak suka, wajahnya terlihat kesal dan ia mencebik."Iya Ratih, kamu seharusnya dengar kata anakmu. Ini demi kesembuhanmu juga," imbuh Ayah."Siapa kamu tiba-tiba berani melarang aku?""Dia mantan suami ibu, atau mungkin di atas kertas kalian belum bercerai. Namun karena tidak bertemu selama bertahun-tahun itulah yang menjadikan kalian bercerai," jawabku."Hahaha ... Aku sudah bercerai dengannya sejak aku pergi dari rumahnya. Itu berarti kami sudah berpisah.""Ya, Ratih. Aku terima semuanya, kita memang sudah berpisah.""Makanya jangan sok-sokan mengingatkanku tentang hal ini," kata Ibu."Ya, maaf, ini aku lakukan kan untuk kebaikanmu juga.""Ya sudah, kamu pergi saja dari sini. Aku tidak mau melihatmu!" 
Jenazah Ibu dibawa ke rumah duka. Sebelumnya sudah dimandikan dulu di rumah sakit. Jadi, ketika datang ke rumah, sudah bersih.Para tetangga berdatangan untuk takziah ke sini. Semua menyampaikan rasa duka cita.Tak henti-hentinya kami menerima tamu. Termasuk teman-teman arisan Ibu, yang membuat Ibu ter-black list dari.Bu Rita, koordinator arisan menyapaku."Oh ini Deni yang tak mau ngasih uang lagi sama Ibunya? Bagaimana sekarang, kamu nyesel nggak, Den?"Aku geram, bisa-bisanya membicarakan masalah yang mereka tidak tau duduk perkaranya."Maaf, hal itu telah berlalu, Bu. Kami pun sudah berhubungan baik," kataku.Bu Rita memperlihatkan tingkah pongah khas Ibu sosialita. Padahal aku tau di komplek sekitar sini, tak ada kaum sosialita. Kami hidup biasa saja."Oh begitu. Aku sangat kasihan dengan Bu Ratih punya anak sepertimu. Sehingga dengan terpaksa kami mengeluarkannya dari grup arisan kami.""Mohon tidak bicara untuk s
Jenazah Ibu dibawa ke rumah duka. Sebelumnya sudah dimandikan dulu di rumah sakit. Jadi, ketika datang ke rumah, sudah bersih.Para tetangga berdatangan untuk takziah ke sini. Semua menyampaikan rasa duka cita.Tak henti-hentinya kami menerima tamu. Termasuk teman-teman arisan Ibu, yang membuat Ibu ter-black list dari.Bu Rita, koordinator arisan menyapaku."Oh ini Deni yang tak mau ngasih uang lagi sama Ibunya? Bagaimana sekarang, kamu nyesel nggak, Den?"Aku geram, bisa-bisanya membicarakan masalah yang mereka tidak tau duduk perkaranya."Maaf, hal itu telah berlalu, Bu. Kami pun sudah berhubungan baik," kataku.Bu Rita memperlihatkan tingkah pongah khas Ibu sosialita. Padahal aku tau di komplek sekitar sini, tak ada kaum sosialita. Kami hidup biasa saja."Oh begitu. Aku sangat kasihan dengan Bu Ratih punya anak sepertimu. Sehingga dengan terpaksa kami mengeluarkannya dari grup arisan kami.""Mohon tidak bicara untuk s
Sebelum pulang, aku mengajak Niar untuk membeli kue untuk perayaan kesembuhan Niar.Aku ingin menumpahkan kebahagiaan Istriku ini dengan Ayah, saudara, anak dan keponakanku. Insya Allah kami akan berkumpul kembali di rumahku setelah ini.Aku pun sudah punya hadiah untuk Niar."Dek, kamu pilih kuenya mau yang mana?" tanyaku pada Niar."Yang bulat itu aja, Bang!" Niar memilih black forest berukuran sedang dengan beberapa hiasan di topingnya."Oke." Aku meminta pada pelayan untuk membungkus black forest yang dipilih Niar.Niar tersenyum ke arahku. Dia mengucapkan terima kasih. Aku mengangguk pelan dan membalas senyumnya, tanda aku tulus padanya.Bungkusan diserahkan kasir pada Niar, ia mengambilnya, lalu kami beranjak pulang."Ayo dek, kita pulang!"Kami pulang bersama, lalu sepanjang jalan Niar memperhatikan wajahku dari samping. Aku merasa tersanjung diperhatikan seperti itu."Kenapa, Dek?" tanyaku semb
Kak Ayu mengabarkan kalau Icha dan Farrel jatuh saat naik sepeda. Icha nangis terus sampai-sampai manggil Mamanya terus."Ma, kapan pulang. Kaki Icha sakit nih!" Icha mengeluh pada Mamanya."Iya, Cha. Nanti ya. Bentar lagi juga kita pulang," jawab Niar."Iya, Ma. Ditunggu, ya! Icha kangen!"Kemudian gawainya diberikan padaku, aku berpesan pada Kak Ayu agar Icha dibawa ke tukang urut, begitupun Farrel karena takut ada salah urat."Iya, siap, Den. Maaf ya mengganggu bulan madu kalian!""Nggak apa-apa, Kak. Udah biasa kok!" jawabku sambil terkekeh."Hehe, iya, Den."Selepas itu, kami siap-siap pulang. Tak lupa mandi besar dulu, karena sebentar lagi Dzuhur."Dek, sudah selesai beres-beresnya?""Sudah, Bang. Maaf ya, Bang, jadi tidak sesuai rencana," ucap Niar."Nggak apa-apa, Dek. Kita agendakan lagi nanti, ya! Ya sudah, kita pulang sekarang, ya!" Aku menggenggam tangannya, lalu mengajaknya keluar dari ka
Gimana Kak Ayu?" Aku menoleh pada kakakku, bertanya padanya.Namun, tiba-tiba Kak Ayu malah goyah, dan ia pun pingsan di hadapan kami."Ayu!" Bang Aldo mendekati kakakku, lalu menidurkannya di sofa.Aku segera mencari minyak kayu putih atau apapun yang bisa dihirupkan pada hidungnya. Biasanya orang yang pingsan selalu cepat sadar dengan menghirupnya."Ini, Bang. Pake ini coba." Aku memberikan minyak kayu putih pada Bang Aldo.Ia mengambilnya, lalu minyak kayu putih itu dihirup-hirupkan di hidung Kak Ayu.Aku sengaja memijat-mijat telapak tangannya dengan memberikan sedikit minyak kayu putih. Lalu telapak kakinya, terutama ibu jari kakinya, ditekan-tekan.Tak lama Kak Ayu sadar, ia langsung menangis. Air mata tak henti keluar membasahi kelopak matanya, yang berlanjut membasahi pipinya."Gimana, Kak? Sudah baikan? Apa harus kita tunda saja sampai kakak merasa baik?" tanyaku."Nggak, Den. Kakak mau selesaikan sekarang
"Dek, uang belanjanya mulai sekarang dipegang Adek. Gimana? Adek sudah bisa, mengatur keuangan kita kembali?"Walau Niar sudah sembuh dari depresi, kadang jika emosi mulai tak stabil, Niar berusaha untuk menahannya, kadang emosi negatif Niar buang melalui mengerjakan kerjaan rumah seperti mencuci piring atau mencuci baju."Baik, Bang. Aku coba, ya! Mudah-mudahan sesuai keinginanmu nanti," kata Niar."Nah, gitu dong. Mau mencoba sesuatu yang sudah tak kita lakukan lagi. Terima kasih, ya, Sayang. Semoga kamu semakin pintar mengaturnya," ucapku."Aamiiin, Insya Allah. Semoga, ya, Bang. Aku butuh dukunganmu, Bang!" kata Niar."Insya Allah didukung. Sebentar ya, Abang transfer ke rekeningmu," kataku pada Niar.Aku menyalakan gawai, membuka aplikasi M-banking, lalu mengirimkan sejumlah uang pada Niar."Untuk tabungan, aku saja yang urus ya, Sayang. Kamu atur uang yang kuberi untuk belanja dan kebutuhanmu saja."Wajah Niar
Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama
Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.
Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u
Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa
Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"
Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.
Bab 41 (UBIDI)Kami pergi ke dokter kandungan dengan menggunakan layanan umum, karena ingin mendapatkan USG, jadi harus umum.Setelah menunggu beberapa menit, kami dipanggil juga untuk masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu!""Sudah usia berapa kandungannya?" tanya Dokter Dian, nama yang tertera di mejanya."Sepertinya sudah 10 mingguan, Dok," jawab Niar memperkirakan."Oh, jadi selama ini belum diperiksa?" tanya Dokter."Iya, Dok. Karena keburu pandemi," jawab Niar."Baiklah, saya periksa dulu. Silahkan ke sini, kita lihat pakai USG ya, Bu!" Niar mengikuti Bu Dokter. Aku pun melihat dari kejauhan.Lalu dokter mengoleskan gel pada perut Niar sebelum sebuah alat digunakan untuk mendeteksi bakal calon bayi di dalam perut."Posisi calon bayi Ibu sudah bagus, benar usianya sekitar 10 Minggu."Lalu dokter menggerakkan-gerakkan alat itu di atas perut istriku."Mudah-mudahan sehat selalu, ya sampai melahirkan nant
"Kamu simpan parac*tamol nggak?" tanyaku pada Niar."Ada, tapi udah beberapa bulan. Setauku nggak boleh disimpan lama, Bang. Abang tolong belikan lagi saja di apotek," usulku."Iya, Dek. Aku pergi sekarang, ya! Sementara aku pergi, tolong kompres dahinya!" Aku meminta pada Niar."Ya, Bang. Aku mau ambil airnya dulu."Kami sama-sama keluar dari kamar Icha. Lalu aku langsung menyalakan mesin mobil, tak lama mobil meluncur.Aku mencari apotek yang masih buka. Karena covid, pemerintah membatasi jam operasional toko.Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.'Ya Allah, mudahkanlah aku mencari apotek yang masih buka, obatnya pun ada,' gumamku.Sepanjang jalan, toko dan apotek tutup. Lalu aku mengingat kalau di rumah sakit ada apotek juga.Aku mendatanginya dan langsung menanyakan obat penurun panas."Mbak, ada penurun panas anak?""Ada. Yang ini, ya?""Iya, berapa Mbak?""L
"Assalamualaikum. Deni!" Bang Aldo mengetuk pintu."Waalaikumsalam." Aku mempersilahkan masuk.Saat Bang Aldo masuk, tiba-tiba dia kaget ada Kak Ayu di sana."Loh kenapa kamu di sini?" tanya Bang Aldo."Aku sedang mengunjungi adikku, memang nggak boleh?" Kak Ayu membulatkan matanya.Bang Aldo malah menyeringai."Jangan-jangan kamu mau pinjem uang sama Deni?" Bang Aldo tetap menyeringai dan menoleh pada Kak Ayu.Kak Ayu akhirnya diam, mungkin tak mau cari ribut dengan Bang Aldo."Ada apa ya, Bang?"Bang Aldo melihat ke arah Kak Ayu."Aku mau minta tolong padamu, Deni.""Ada apa, Bang?""Bujuklah perempuan di sebelahku ini untuk membolehkan aku bertemu Farrel dan Ayesa. Sejak perceraian kemarin, aku tak boleh bertemu mereka lagi," kata Bang Aldo."Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, asal di rumahku. Kamu tak boleh membawa mereka pergi. Apalagi ke rumah perempuan itu!" Kak Ayu bicara sangat