Yuda POV:
"Aku mencintainya," gumamku.
Setelah kejadian sore tadi, aku mulai menyadari bahwa sebenarnya aku juga menyukai Yura. Sepertinya aku sudah memiliki rasa ini sejak pertama kali kita bertemu.
Sebelumnya aku sudah pernah mengagumi seorang teman, tapi kali ini terasa berbeda. Bukan hanya rasa nyaman saja, tapi ada rasa takut juga jika dia meninggalkanku. Pergi jauh dariku, sampai aku tidak bisa melihatnya lagi.
Saat ini umurku sudah 19 tahun dan aku mengerti apa itu cinta. Hanya saja aku belum bisa meyakini bahwa 'aku menyukai perempuan'. Pikiranku masih terjebak dalam masa lalu. Masa lalu yang membuatku tidak percaya diri untuk mengatakan 'perasaan ini' kepada Yura.
...
Ketika aku berusia 15 tahun, aku pernah memiliki hubungan dengan salah satu teman dekatku. Teman yang sudah sedari kecil menjadi teman bermain bersama.
Awalnya aku belum mengerti perbedaan dari rasa nyaman karena cinta atau rasa nyaman karena dia adalah teman yang selalu main bersamaku.
Aku adalah seseorang yang memiliki banyak teman, tapi beberapa dari mereka bukanlah teman sebenarnya. Ada yang mendekatiku hanya karena aku anak orang kaya. Hingga akhirnya aku hanya memiliki dua teman dekat saja, yaitu Rio dan Aulia. Selebihnya mereka hanya teman biasa.
Aku sangat bahagia karena aku dan dua temanku selalu masuk di sekolah yang sama. Kedua orang tua kita juga sangat dekat. Tapi aku lebih sering bermain bersama Rio, karena jarak rumah kita yang tidak terlalu jauh. Terkadang kita juga bersepeda bersama ke tempat Aulia untuk mengajaknya bermain. Jarak ke rumah Aulia sekitar dua kilometer dari tempat aku dan Rio. Tapi kadang kita hanya pergi berdua, karena Aulia adalah seorang wanita, jadi hal yang kita suka sesekali berbeda dengan Aulia.
Begitu dekatnya aku dengan Rio, membuatku sangat senang bersamanya. Dan entah kenapa rasa itu berubah menjadi saling memiliki.
Aku dan Rio masih sama-sama belum mengerti akan cinta. Karena terlalu seringnya aku bertemu dengan orang yang kurang baik selain dua temanku ini, Rio juga selalu sibuk akan les privat di rumahnya, membuat kita jarang bermain dengan orang lain atau lawan jenis.
Kita memang memiliki Aulia, tapi Aulia juga memiliki kesibukan sendiri dan tidak sedekat seperti aku dan Rio. Seringnya aku dan Aulia hanya bermain saat di sekolah saja.
Entah kenapa aku merasa hubungan aku dan Rio tidak seperti hubungan sepasang kekasih yang semestinya. Kita hanya saling merasa nyaman karena sudah biasa bersama. Hanya terkadang merasa cemburu jika di antara kita bermain dengan orang lain selain Aulia.
Ya ... hanya sebatas itu.
Aulia juga belum pernah memiliki seorang kekasih. Dan aku tidak tahu kenapa.
Setelah aku dan Rio berpikir bahwa kita seperti sepasang kekasih, kita lalu mengatakannya kepada Aulia. Dan Aulia sangat terkejut.
"A ... apa?!" teriak Aulia dengan mulut menganga. "Kalian kan seorang pria?!" Sambil menunjuk dengan jari telunjuknya bergantian ke arah aku dan Rio.
Saat ini kami berada di atap sekolah, tempat biasa kami berkumpul.
Aulia kemudian melanjutkan ucapannya. "Kalian bener-bener yakin?"
Aku dan Rio saling menatap, kemudian mengangguk dan tersenyum kepada Aulia. Aulia hanya duduk terdiam, setelah menatap aku dan Rio. "Bagaimana dengan orangtua kalian? Pasti mereka tidak setuju dengan hubungan ini."
Ucapan Aulia seketika membuatku berpikir.
Orang tua?
Persetujuan?
Aku dan Rio bahkan tidak tahu kalau kita harus mendapatkan persetujuan dari kedua orang tua kita.
"Kenapa kita harus mendapatkan persetujuan dari mereka? Di sini kita hanya berpacaran, bukan akan menikah," ucap Rio dengan wajah bingung.
"Kamu pikir persetujuan cuma untuk menikah saja? Nggak Rio, hubungan kalian ini nggak wajar!" jawab Aulia tegas.
"Nggak wajar gimana, Li? Kalau kita saling mencintai, kenapa itu dikatakan nggak wajar?" Rio masih memberikan pertanyaan kepada Aulia.
Aku hanya bisa duduk terdiam melihat mereka saling adu argumen.
Aku terus mencoba memikirkan kata-kata untuk mengakhiri pertengkaran ini. "Mereka mencintai kita Aulia, pasti mereka akan mengizinkannya," ucapku secara tiba-tiba kepada mereka.
Mereka kemudian menatapku.
"Benar itu, Li!" sahut Rio yang kini menatap Aulia.
Aulia hanya bisa menghela napas sambil memejamkan mata, lalu dia menatap kami lagi. "Okay, terserah kalian kalau gitu. Tapi aku mohon, jangan beritahu hubungan kalian dulu kepada kedua orang tua kalian atau siapapun ya? Tunggu sampai kalian lulus sekolah, baru kalian bilang sama orang tua kalian. Okay?"
Ucapan Aulia sempat membuat kami bingung. Tapi Aulia hanya meminta hal itu kepada aku dan Rio. Permintaan dari seorang teman.
"Okay," jawabku dan Rio bersamaan.
Setelah perbincangan itu, kami tetap berteman seperti biasa. Bermain game atau bersepeda keliling komplek perumahan. Kali ini Aulia juga jadi lebih mudah di ajak bermain.
Hingga saatnya kami lulus sekolah dan mengambil pilihan masing-masing. Rio melanjutkan kuliah di luar negeri dan Aulia berkuliah di Surabaya. Tidak ada perasaan berbeda yang aku rasakan saat Rio pergi. Hanya muncul rasa kehilangan karena baru kali ini aku dan kedua temanku berpisah. Tapi kami bertiga tetap mencoba untuk saling memberikan kabar satu sama lain.
Kesibukan akan dunia perkuliahan membuat kami jarang mengobrol lagi, baik itu lewat video call atau pun chatting. Tapi sesekali aku masih bertemu dengan kedua orang tua Rio dan Aulia, karena ayahku masih memiliki hubungan bisnis dengan Ayah Aulia. Dan juga Ibuku masih sering mengajak kedua orang tua Rio untuk bertemu.
...
Hah ....
Aku bangkit dari tidurku sambil menghela napas panjang. Setelah itu aku mulai berjalan ke arah balkon. Aku mencondongkan tubuhku untuk bersandar di besi balkon berwarna putih, menghirup udara malam yang dingin dan sejuk.
Terlihat bintang-bintang kecil menghiasi langit malam. Bersinar dengan indahnya, mencoba bersaing dengan sinar bulan yang hanya sendiri. Pemandangan itu sejenak membuat pikiranku lebih baik. Seperti ada oksigen yang masuk ke dalam otakku, membuatnya bisa bernafas lebih lega.
Tapi hal itu tidak berlaku untuk hatiku.
Hati ini terus memintaku untuk segera mengungkapkan kepada Yura, apalagi aku sudah tahu Yura menyukaiku.
Sungguh ... ini sangat menyiksaku.
Yuda POV End.
Yuda masih belum bisa menyadari sepenuhnya tentang apa yang dia lakukan di masa lalu. Hubungan yang dia pikir adalah hubungan sepasang kekasih, membuat dia masih merasa ragu akan hatinya.
Yuda bukan tidak tahu apa itu cinta?
Apa itu pacaran?
Dia hanya belum pernah merasakan cinta dari orang lain selain keluarganya. Dia hanya tahu cinta, yaitu saat dirinya dan orang yang dia suka bisa saling memberikan kenyamanan.
Selama ini dia selalu mengenal orang-orang yang hanya berpura-pura padanya, kecuali kedua teman dekatnya. Karena itu akhirnya membuat Yuda belum mengerti banyak hal.
Dia juga tidak pernah membaca buku tentang cinta atau menonton film percintaan. Kesehariannya selalu dihabiskan untuk bermain dengan Rio dan Aulia. Itu juga yang dilakukan oleh Rio.
Berbeda dengan Aulia. Dia sudah lebih dulu mengenal cinta. Seperti wanita pada umumnya, Aulia sangat suka membaca buku dan film bergenre romantis. Sehingga dia jadi lebih tahu apa itu 'cinta' dibanding kedua temannya.
Pernyataan yang diungkapkan oleh Rio dan Yuda kepada Aulia membuat dia sangat terkejut dan menganggap bahwa ini hanya lelucon dari keduanya. Kemudian Aulia akhirnya mencoba untuk membiarkan kedua temannya itu, memastikan mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun. Karena hal yang mereka lakukan saat ini sangat tidak biasa dan sulit dianggap biasa.
Setelah mereka menyatakan hubungan yang mereka jalani kepada Aulia, tidak ada perubahan dari Rio dan Yuda yang Aulia rasakan. Mereka tetap berteman seperti biasa tanpa menunjukkan hubungan layaknya sepasang kekasih. Dan hal itu tetap tidak berubah sampai mereka lulus sekolah.
Aulia hanya bisa terheran dan mencoba mengikuti alur yang sedang mereka mainkan.
"Mungkin karena aku tidak pernah tahu bagaimana hubungan yang tidak biasa ini akhirnya bisa terjalin," batin Aulia berucap.
...
Terkadang perasaan tidak bisa sama dengan pemikiran. Kita harus memiliki lebih banyak pengetahuan untuk menyatukannya.
***
Aulia POV: Aku selalu memperhatikanmu, melihat pesona indah yang selalu terpancar dalam dirimu. Efek yang membuatku tidak bisa lepas jauh darimu. Aku selalu tidak sabar menunggu hari esok datang. Hari di mana aku akan melihatmu dan kamu akan melihatku. Hari dimana kamu merangkulku, bersuara merdu di telingaku. Kamu… Seseorang yang ku kagumi sejak lama, sejak ku mulai mengenal cinta. Aulia POV end. Angin pagi ini terasa lebih dingin dari hari biasanya. Bahkan saat musim hujan tiba, rasanya tidak sedingin ini. Dinginnya udara begitu terasa menusuk sampai ke relung hati seseorang yang tengah berdiri tak bergeming. Menunggu seseorang lain yang akan datang menyapanya, seperti hari-hari biasa. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara rantai sepeda yang begitu familiar. Disana terlihat seorang pria berpakaian casual
4 bulan kemudian... Yuda dan Yura sudah mulai kembali normal. Sudah tidak ada kecanggungan di antara mereka. Mencoba sedikit demi sedikit saling melupakan sebuah ingatan yang telah berlalu. Yura sudah mulai merelakan perasaannya kepada Yuda. Merelakan Yuda bersama orang lain yang dia cintai. Dan kini, Yura sudah menemukan beberapa pria yang mengajaknya berkenalan. Mulai membuka hatinya bersama pria lain. Sedangkan Yuda hanya bisa menatap Yura yang tengah sibuk berkenalan dengan beberapa pria. Yura selalu menunjukkan pria-pria tersebut kepada Yuda. Sesekali Yuda akan meledek Yura, berpura-pura menyukai pria yang dia tunjukkan. Yuda sebenarnya tidak rela melihat Yura seperti itu. Tapi dia juga masih belum bisa menegaskan hatinya bahwa dia 'mencintai Yura'. Masih banyak keraguan di dalam hatinya. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa Yura pun sebenarnya belum benar-b
"Bagaimana ini bisa tersebar?" … Bima Cahyo Utomo. Aku memang sedikit tidak bersahabat dengan Bima, karena aku merasa sepertinya dia iri denganku. Aku tidak tahu pasti kenapa, mungkin karena aku memiliki banyak teman dan juga keluarga yang baik. Bima termasuk dari keluarga berkecukupan, bahkan hampir mirip sepertiku. Hanya saja dia memiliki orangtua yang kurang baik. Kedua orangtuanya telah bercerai dan Ibunya sudah menikah lagi. Sedangkan Ayahnya sepertinya selalu memberikan tekanan batin pada Bima dan juga melakukan kekerasan fisik padanya. Aku sesekali melihat luka-luka lebam ditubuhnya dan kadang dia terlihat sangat rapuh. Aku ingin sekali berteman dengannya, hanya saja dia memiliki sikap yang kurang ramah ke beberapa orang, membuatku jadi segan untuk berteman dengannya. Bima memiliki 2 teman yang cukup d
Yura POV: Setelah aku melambaikan tanganku kepada Yuda, kemudian aku mulai berjalan masuk ke dalam fakultasku. Hari ini begitu cerah dan udara terasa begitu lebih sejuk. Sepertinya semesta sedang memberiku semangat untuk menjalani hari ini. Aku berjalan dengan santainya melewati beberapa kelas disekitarku. Hingga sampailah aku di depan kelas, sambil menyapa teman-temanku, aku pun kemudian duduk ditempat yang biasa aku duduki. Tapi entah mengapa tidak ada yang membalas sapaanku?
Aku terus berlari tak tentu arah sampai tiba-tiba ada sebuah tangan menarik lenganku, membuatku berhenti berlari. Lia. … Sekarang aku berada di sebuah taman kecil, di samping fakultas bersama Lia. Lia menarikku dan mengajakku berbicara. Aku masih menangis memikirkan ucapan teman-teman kelasku. "Kamu nggak jijik sama aku atau Yuda, Li?" ucapku. "Aku hanya jijik sama kotoran." Lia berucap sambil mengusap punggungku. "Dan bukan sama seorang teman." Kini aku menatap Lia yang sedang tersenyum. Melihat senyuman Lia membuatku semakin menangis, aku menangis karena ucapan Lia yang membuatku terharu. Aku kemudian memeluk Lia dengan erat. "Terkadang sesuatu yang berbeda, tidak semuanya bisa diterima dengan baik Ra. Kita harus bersabar menghadapinya." Lia bersuara dengan lembut
Yura berlari menuju fakultas teknik untuk menemui Yuda. Setelah mendengar ucapan dari Lia tentang Ari yang tidak bisa menerima Yuda, membuat Yura jadi semakin khawatir pada Yuda. Dia sudah mencoba menghubungi Yuda berkali-kali, tapi tetap tidak ada jawaban dari Yuda.Yura berlari melewati beberapa lorong ruangan di fakultas tersebut, kemudian dia menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju ruang kelas Yuda yang berada di lantai 4. Yura menggunakan tangga untuk naik karena banyak para mahasiswa sedang mengantri di depan lift dan hanya satu lift yang beroperasi saat itu karena lift yang satunya sedang dalam perbaikan.Yura sesekali berhenti untuk mengatur nafasnya dengan keringat yang bercucuran membasahi pipinya. Dan setelah beberapa menit, Yura sudah sampai di lantai 4 dan mulai mencari ruang kelas Yuda. Yura belum pernah sampai ke lantai atas fakultas Yuda. Biasanya mereka hanya bertemu di depan lift, kantin ataupun diluar fakultas.Yura mencoba bertanya ke beberapa orang ditempat i
Yura terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Bima. "Lepasin nggak? Atau aku akan teriak!" Tapi Bima tidak mendengarkan ucapan Yura, dia terus menggenggam tangan Yura. Sampai akhirnya Bima merasa ada yang menarik rambutnya dengan kuat, dia pun menoleh ke arah orang yang menarik rambutnya itu. Ari... …. Tak disangka, Ari datang menolong Yura yang tengah kesulitan menghadapi Bima. "Jika kamu pikir temanku adalah banci, dengan kamu menyakiti perempuan seperti ini, tidak ada bedanya bukan? Bahkan mungkin lebih parah!" ucap Ari ketus. Bima melepaskan genggaman tangan Yura dan menghempaskannya, hingga Yura jatuh terduduk. Kini Bima mulai beralih kepada Ari yang sudah melepaskan tarikan dirambut Bima. "Oh... kamu mau aku bikin babak belur juga seperti temanmu itu?" Bima berucap dengan intonasi keras dan sudah sangat siap memukul Ari. Yura kemudian berdiri. Dengan kekuatan yang tersisa ditubuhnya, dia mulai menarik baju Bima hingga terjatuh ke lantai. Setelah itu Yura sedikit berteri
Drrrt… "Ra, maaf ya. Hari ini kita nggak makan bareng dulu." Seketika Yura tersadar bahwa ini sudah masuk jam makan siang, saat melihat pesan yang dikirimkan oleh Yuda. "Oh ya… ini sudah jam 12." gumamnya. "Kenapa, Ra?" tanya Ari ingin tahu. "Emm… Aku baru sadar kalau sekarang sudah waktunya jam makan siang." jawab Yura dengan ekspresi bingung. "Tapi aku lupa, tasku ada di dalam kelas. Tadi aku langsung keluar begitu saja tanpa membawa apapun kecuali ponselku." lanjutnya. Ari mulai berpikir untuk membelikan makan siang untuk mereka berdua. "Ya udah kamu masuk aja dulu ke ruang UKM, nanti aku pergi ke kantin untuk membelinya. Okay, Ra?" "Nggak usah, Ri." ucap Yura sambil menyilangkan kedua tangannya. "Aku beli sendiri aja Ri, kamu makan aja sama Lia." Ting!... "LIA..." ucap mereka bersamaan. Mereka pun langsung menyadari bahwa bisa saja Lia yang mengambilkan bekal makanan milik Yura untuk dimakan bersama di ruang UKM. "Aku sampai lupa kalau kekasihku ada di fakultas yang sam
"Adik aku cewek Ra. Dia baru masuk SMA setahun yang lalu." Aku mengangguk.Beberapa detik kemudian, ponsel milik David bunyi menandakan ada seseorang yang meneleponnya. David dengan sedikit ragu-ragu mengangkat telepon tersebut. "Bentar ya, Ra.""Iya Vid, angkat aja dulu." jawabku mempersilahkan.Entah kenapa David begitu gugup saat mendapatkan panggilan telepon tersebut. Dia pun keluar dari restoran Ayahku, tapi aku masih bisa melihatnya dari balik kaca jendela. Sesekali dengan menatapku dan tersenyum kecil. Aku pun membalas senyumannya.….Sembari menunggu David selesai menelepon, aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan kepada Yuda."Hari ini kamu kesini nggak?"Drrt… drrt…"Iya Ra. Tapi mungkin sekitar jam 7an Ra. Kenapa? Kamu udah kangen? Hehe…"Ck…Aku tersenyum melihat pesan dari Yuda."Iya aku kangen. Kangen nyuruh-nyuruh kamu Yud. Hahaha…"Drrt… drrt…Yuda memberikan emot sedih.Kembali ku tersenyum geli. Aku pun membalas dengan memberikan emot tertawa terbahak-bahak."Ra
"Kamu terlihat cantik, Ra." ucap David tiba-tiba. Saat itu aku sedang mengarahkan wajahku di depan kipas angin. Aku pun menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum manis. …. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan oleh banyak orang. Jika seseorang sedang mencoba mendekati orang yang disukai, mereka akan berusaha untuk merayunya. Dan ini pun yang mungkin sedang dilakukan David kepadaku. Aku sedikit merinding mendengar ucapannya. Aku hanya membalas senyuman David tanpa berkata apa-apa, serta kembali menoleh ke arah kipas angin. "Oh ya, kalo kamu lagi libur gini, pasti seperti ini ya?" "Iya." jawabku singkat tanpa menatap wajahnya. Aku masih menikmati udara dari kipas angin sambil memejamkan mata. Entah karena aku mulai merasa tidak nyaman, atau memang hanya masih merasakan gerah ditubuhku. "Rajin ya kamu Ra. Mungkin, kalau boleh, kapan-kapan aku ikut bantuin ya Ra?" "Nggak usah, Vid. Main aja ke tempatku. Nggak usah bantuin. Hehe… kamu kayak Yuda juga, bukannya jadi tamu yang baik malah
"Ya tentu saja Ra. Terlihat dari mata kamu yang layu dan sedikit pucat." Aku sedikit terkejut saat David menyentuh pipi kananku dan membelainya halus. Tanpa disadari dengan reaksi yang aku berikan, aku langsung mundur dan sedikit menjauhkan wajahku dari genggaman tangan David. 'Sungguh aku merasa aneh' …. Entah kenapa aku merasa sedikit tidak nyaman saat dia menyentuh wajahku? Padahal aku sering disentuh oleh Yuda, baik kepalaku bahkan wajahku. Mungkin itu yang dimaksud dengan perasaan nyaman saat orang yang kita cinta menyentuh kita. David sedikit terkejut saat melihat reaksiku. Dia terlihat menunjukkan raut wajah tidak enak padaku. "Ma..maaf Ra? Aku nggak maksud buat kamu nggak nyaman. Maaf banget ya Ra?" Dia menyatukan kedua tangannya dengan terus mengucapkan kata maaf. Akupun merasa tidak enak kepada David karena reaksiku yang aku rasa berlebihan. Aku menggelengkan kepalaku dan menyentuh lengan David dengan tangan kananku. "Nggak apa-apa kok Vid. Aku aja yang berlebihan, ngg
Yura POV. Pagi ini aku bangun sekitar jam 9. Padahal aku berencana untuk bangun lebih siang. Hehe… Seperti biasa di pagi hari pada hari libur, aku akan membantu Ayah dan para karyawan lain untuk mengurus rumah makan keluargaku. Aku membantu menyambut tamu, mencatat pesanan, mengantarkan pesanan, membersihkan meja dan bahkan mencuci piring. Aku sangat bersyukur karena usaha tempat makan Ayahku selalu ramai dikunjungi, apalagi pada hari libur seperti ini. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul 2 siang. Biasanya di jam segini, rumah makan ayahku agak sedikit sepi dan baru akan ramai lagi pada jam 5 sore sampai malam hari. Oleh karena itu, akupun sudah tidak membantu Ayah dan para karyawan Ayahku. Aku berjalan menuju meja yang diisi oleh teman satu kampusku yang kemarin sudah mengabariku untuk datang berkunjung. Sebenarnya dia sudah datang sejak jam 1 siang tadi. Hanya saja, restoran yang begitu ramai membuatku tidak bisa fokus mengobrol dengannya. Barulah saat ini aku bisa mengham
"Teruslah tersenyum, Ra." batin Yuda berucap. Dia pun melanjutkan menyesap es tebu sambil sesekali melihat Yura lagi. …. "Hah kenyang…" desah Yura sambil mengelus perutnya. "Ya tentu kenyang Ra. Kamu udah makan banyak banget tadi!" jawab Yuda tertawa. "Abis jarang-jarang banyak tukang jualan kayak tadi Yud. Makanya aku jadi mau semuanya. Hahaha." 'Tidak apa-apa Ra, yang penting kamu bahagia.' Yuda tersenyum dengan isi hatinya. "Ya udah, ayo pulang Yud. Udah jam 8 ternyata!" Yura melihat jam di pergelangan tangannya. "Kamu udah siap pulang nih ya?" ledek Yuda dengan mengangkat satu alisnya. "Iya Yuda…" Yura segera menaiki sepeda Yuda, dan Yuda mulai mengayuh sepedanya lagi menuju rumah. Sesampainya dirumah Yura. Yuda bertemu dengan Ayah Yura yang hendak membuang sampah. Tidak hanya jalanan saja yang ramai, tapi rumah makan milik Yura juga cukup ramai pengunjung hari ini. Dan memang setiap Jum'at malam sampai Minggu tempat makan Yura selalu ramai. Selain harga yang terjangkau
Aulia POV: Sebentar lagi akan memasuki ujian semester, oleh karena itu diriku lebih fokus pada kuliah saat ini. Aku sudah mulai memasuki semester akhir, yang di mana akan disibukkan untuk membuat bahan skripsi. Sungguh tak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. Kesibukan ini sejenak membuatku lupa akan masalah yang dihadapi oleh kedua teman kecilku. Aku selalu ingin mencari tahu lebih dalam tentang masalah ini, akan tetapi ya…kesibukan membuatku sulit memberi waktu untuk hal lain. Terakhir yang aku tahu, saat mencari informasi tentang temanku adalah soal Yuda yang ternyata tidak menghapus postingan yang pernah dia buat di F*. Sungguh membuatku kesal dan kecewa. Kenapa dia tidak menghapus dan bahkan membohongiku? "Aulia, kamu nggak makan?" sapa salah satu teman dekatku di kampus yang bernama Astrid. "Iya, serius banget belajarnya Li!" "Aku yakin kamu pasti bisa ngerjain tugas ujian besok kok Lia, hehe." Kali ini temanku yang lain yaitu Icha dan Riska ikut berkomentar. Ya, meman
Ibuku? Aku sudah lama tidak pernah bertemu dengannya lagi, setelah dia membuangku. "Temui dia di tempat lain." Ayahku berjalan mendekat ke arahku. "Memeliharamu saja sudah sangat menyusahkan, apalagi harus membiarkan peliharaan lain datang ke tempatku." Ayahku pergi meninggalkan aku yang menahan amarah akan ucapannya tadi. 'Kematian adalah kado terindah untukmu. Ayah.' …. Kini aku berada di dalam kamarku lagi. Pikiranku masih terus memikirkan ucapan Ayahku. "… Ibumu ingin bertemu." Kenapa saat ini dia ingin melihatku? Apa ada hal yang ingin dia manfaatkan dariku? Setahuku, pekerjaan Ibu adalah seorang desainer. Dan bisa dikatakan cukup sukses di kalangan para desainer lainnya. Lalu untuk apa kita bertemu? Masih teringat dengan jelas betapa dia tidak menginginkanku. Dia berusaha untuk membuatku pergi jauh darinya. Itu terlihat dari bagaimana dia meninggalkan aku seorang diri dirumahnya. Dia tidak membuatkan aku makan atau bahkan menyiapkan perlengkapan sekolahku. Sungguh meny
Rumah yang tidak pernah bisa membuatku nyaman. Seakan itu bukanlah rumah, yang seharusnya membuatku merasa aman dan tenang. … Aku sudah sampai di depan rumahku. Mengendarai mobil masuk ke dalam garasi rumah. Ayahku sangat menyukai mobil, oleh sebab itu banyak sekali mobil yang terparkir di garasi. Sangat banyak. Hal yang paling membuatku nyaman berada dirumah adalah pada saat nenekku berkunjung. Dari aku kecil, hanya neneklah yang selalu memprioritaskan aku. Karena nenek pula aku bisa tinggal bersama Ayahku. Orang tua dari Ibu kandungku sudah lama meninggal sejak Ibuku masih remaja. Oleh karena itu, sosok yang paling aku kenal hanya Ibu dari Ayahku. Untuk kakek juga sudah lama meninggal dunia pada saat aku berumur 1 tahun. "Oh sudah pulang? Den Bima sudah makan?" sapa salah satu pelayan dirumahku. "Tidak usah Bi, aku sudah makan tadi." "Baik, Den." ucapnya halus. Pelayan rumahku ini sudah berusia 40 tahun. Dan dia juga yang sudah mengurusku sejak kecil. "Ayah sudah pulang, Bi?
Bima POV: Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 17:30 sore. Aku dan beberapa teman sekelas bersiap untuk pulang kuliah. Aku membereskan barang bawaan ke dalam ransel. Kemudian berjalan keluar kelas yang kemudian disusul oleh kedua temanku. Dan tidak berapa lama, Yuda dan Ari ikut keluar dari dalam kelas dan berjalan melewatiku dan kedua temanku. "Buru-buru banget, mau pacaran ya? Hahaha!" Temanku berucap dengan kedua tangannya saling menyatu, seakan sedang bergandengan. Aku yang mendengar ucapan itu hanya tersenyum kecil. Mereka berdua tidak menghiraukan ucapan temanku dan terus berjalan menuju pintu keluar fakultas. "Aku merasa heran, orang seperti Yuda masih ditemenin!" "Ya namanya juga pasangan, Dho." Kini satu temanku yang lain ikut bersuara. Temanku yang bernama Ridho tertawa geli mendengarnya. "Apa orangtuanya sudah tahu tentang ini belum ya?" Mendengar ucapan temanku yang bernama Raden membuatku mulai memikirkan hal yang sama. "Sudah mungkin, Den. Dan direstuin gitu aja s