Pagi hari, Shan menemukan kembali istrinya masih terlelap di sampingnya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita dengan postur tubuh sedang itu telah pindah ke kamarnya. Tanpa sadar Shan tiba-tiba menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk senyuman manis untuk Naura. Tangannya terangkat untuk menguuiskan helaian rambut gadis itu, Shan ingin melihat rupa tenang Naura secara jelas. Sebab ketika ia bangun nanti, aura ketenangan itu sulit ia dapati. Sebab Shan tahu bagaimana sifat Naura sendiri, terlebih itu terhadapnya.
.
Seperti hari-hari sebelumnya. Shan akan bersiap untuk bergegas berangkat ke kantornya. Namun kali ini lain, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Shan masih dengan celana kolor dan kaos oblongnya. Berjalan mondar-mandir dari dapur ke halaman belakang."Nggak kerja?" tanya Naura.
Shan menggeleng cepat. "Nggak,"
"Kenapa?"
"Mau pergi ke toko mebel,"
"Kapan?"
"Bentar lagi," ujar Shan masih berdiri di ambang pintu, "Mau ikut?" ajak Shan.
Wanita itu nampak berpikir beberapa saat. Lalu tak berapa lama, ia menganggukkan kepala tanda setuju.
Shan tersenyum senang mendengarnya. "Ya sudah, siap-siap sana." imbuhnya. Membuat Naura langsung bergegas naik ke lantai atas untuk mengganti pakaian.
.
Setibanya di toko perabotan rumah tangga. Shan terus meminta Naura untuk memilih barang-barang apa saja yang diperlukan untuk mengisi rumah keduanya nanti.Namun wanita itu terus menggelengkan kepala ketika ia merasa tidak sreg akan kualitas barang yang tidak setara dengan nominal harga yang dijual.
"Kemana lagi? Ini sudah toko ke tujuh loh," tanya laki-laki itu nampaknya protes.
Naura memajukan sedikit bibirnya, ia cemberut hanya karena ucapan Shan, "Dasar cowok bisanya cuma protes!" sahutnya dengan gumaman.
Shan mengernyit, ia dapat memastikan bahwa istrinya itu sedang mengumpat meski bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa bersuara.
"Apa? Mau ngomel lagi?"
"Mau gigit Lo," timpal Naura lalu mengentakkan kedua kaki berjalan mendahului Shan tanpa permisi.
Shan hanya menggelengkan kepala pelan. Lalu turut melangkah menyusul Naura yang lagi kakinya memasuki toko perabotan.
***
Sudah seharian pasangan baru itu mengatasi kawasan kompleks pertokoan, dan dengan napas penuh kelegaan Shan dapat meresahkan pinggulnya ke atas sofa panjang yang ia beli di rumah peninggalan kedua orang tuanya.
"Kok malah rebahan, ayo pulang!" Anak Naura yang sudah berdiri dekat pintu.
Shan menoleh sekilas, "Aku capek Ra, malam ini istirahat disini aja dulu, ya," pintanya.
Mendengar hal itu Naura langsung memasang raut wajah tanda tidak setuju.
"Gue nggak bawa baju, Shan," gerutunya.
"Pake baju gue," timpalnya begitu enteng dengan tangan terlipat untuk menutupi bagian wajahnya.
"Ih, nyebelin!" omel Naura lantas menarik tuas pintu dan keluar dari sana.
.
Entah berapa lama Shan terlelap. Akan tetapi, saat ia menyibakkan kedua mata yang ia temukan hanya suasana sunyi.Pria itu menegakkan tubuh, seraya mengusap wajahnya. Lantas berpikir bahwa Naura sudah pulang ke padanya terlebih dahulu.
Ya, Shan cukup tahu bahwa gadis manja itu harus mendapatkan apa yang diinginkan tanpa mengenal apa itu bantahan. Dan sungguh Shan mau supaya Naura dapat segera berpikir dewasa lalu mengerti bahwa setiap sesuatu itu membutuhkan pengorbanan dan pertaruhan. Meski nampaknya itu akan sangat sulit sekali.
Dan dengan embusan napas berat, pria itu berdiri, berjalan menuju pintu setelah ia mematikan stop kontak dan hanya menyisakan lampu di luar rumah menyala. Shan yang agak sedikit lapar segera bergegas pergi untuk pulang.
Tujuh puluh lima menit berlalu. Setibanya di rumah keluarga angkat yang pun kini sudah menjadikan dirinya sebagai menantu, Shan berjalan santai setelah ia mematikan mesin kendaraan yang terparkir di halaman yang terbilang cukup luas untuk menampung beberapa jenis mobil di sana.
Begitu membuka pintu, suasana masih sepi padahal waktu sebentar lagi sudah memasuki jam makan malam. Dan semakin masuk ke area dalam, pria itu hanya menemukan Bi Minah masih sibuk dengan bahan masakan di dapur.
"Bi, Papa dan bang Adi belum pulang?" tanya Shan karena kebetulan ia merasa haus.
"Eh, Den Shan. Belum Den," sahutnya.
"Oh, oke. Kalau gitu saya naik dulu ke atas ya, Bi. Habis itu nungguin Papa buat makan bareng, kalau mereka udah dateng kasih tahu ya," pesan Shan yang hanya dibalas anggukan oleh Bi Minah.
.
Di kamarnya, Shan mencarger ponselnya yang mati terlebih dahulu sebelum ia melenyapkan diri ke kamar mandi.Memang tak butuh waktu lama untuk seorang Shan membersihkan badannya yang seharian ini berkeringat akibat berkeliling dan turut mengangkat perabotan yang ia beli bersama Naura. Ah, dan mengingat nama itu sejak kepulangannya beberapa saat lalu, Shan belum menemukan batang hidung sang istri yang menurut pemikiran Shan sendiri pasti lagi ngomel dan kesal terhadap dirinya di kamar depan. Shan pikir lagi, ia akan bicara dan meminta maaf kalau keduanya sudah makan malam.
Mengingat perutnya yang sudah keroncongan, Shan mendengar suara ketukan bertalu diiringi seruan Bi Minah memanggil namanya. Shan segera menghampiri dan keluar saat itu juga dari dalam kamarnya.
Di meja makan, di sana hanya ada Papa dan kakaknya tanpa ada Naura disana.
"Pa, Bang," Sapa Shan yang memang seharian ini baru berjumpa dengan mereka.
"Capek banget kamu kelihatannya," tanya pak Syakir.
Shan mengangguk, "Lumayan lah, Pa. Namanya orang pindahan,"
"Loh, jadi?" Bang Adi kali ini menimpali.
Shan mengangguk lagi, "Iya Bang jadi,"
Adi tersenyum simpul lantas tangannya terangkat guna menepuk pundak sang adik, "Gue cuma minta satu hal dari Lo, Shan. Jaga adek gue sebaik mungkin dan jangan terlalu manjain dia," pesannya membuat Shan merasa ada sesuatu yang cukup berat di bahunya.
Namun, bukankah itu kewajiban dirinya yang sudah berstatus suami sehingga seberat apapun itu ia harus bisa mengembannya dengan baik. Meski ia tahu bahwa seorang Naura adalah wanita yang unik dan sulit diatur secara bersamaan.
.
"Loh ngomong-ngomong Naura mana?" tanya Pak Syakir karena ia juga belum bertemu dengan sang putri.Belum Shan menjawab pertanyaan dari padanya. Suara dorongan ponsel milik Adi meraung di atas meja. Kening pria itu bertanya setelah melihat bait nama yang tertera di sana. Namun dengan segera ia menggeser tanda hijau dan melekatkannya ke telinga.
"Halo, ada apa Ra?" tanya Adi dengan intonasi penuh ketenangan.
"Shan ada di sana, nggak Kak?" tanya Naura.
"Ada, kenapa?"
"Tolong kasihin dong, aku mau ngomong sama dia,"
"Oh, oke!"
Adi menyodorkan ponsel miliknya pada Shan. "Nih," ujarnya.
Shan tidak langsung menerima melainkan bertanya terlebih dahulu siapa orang yang hendak bicara padanya, "Siapa,"
"Naura,"
"Naura!" Ucap Shan bingung lalu menerima ponsel milik kakaknya itu.
"Ha ..., "
"BRENGSEK LO!" Maki Naura dari seberang sana.
"Kenapa sih?" timpal Shan heran.
"KENAPA LO BILANG? BALIK LAGI SINI LO, PAKE NINGGALIN GUE DI RUMAH LO SENDIRIAN. DASAR NGGAK PUNYA OTAK LO YA!" Oceh Naura masih belum puas mengeluarkan kekesalannya terhadap sang suami yang tahu-tahu pulang tanpa sepengetahuan dirinya dengan pintu terkunci dari luar.
Shan menegang seketika, matanya membesar mendengar caci maki dari istrinya yang ternyata masih ada di rumah mereka. Tanpa basa-basi, Shan langsung berdiri dan berlari menuju kamar, mengambil kunci dan segera pergi untuk menjemput Naura.
"Mau kemana, Shan?" tanya Bang Adi panik dan bingung.
"Jemput Naura," jawabnya langsung keluar dari rumah dengan tergesa-gesa.
"Ra, maaf aku beneran nggak tahu kalau kamu masih ada di sana," Shan nampak kewalahan untuk membujuk Naura yang tak sengaja ia tinggalkan di rumah baru yang akan mereka tempati."Bodo amat!" jawab Naura ketus, ia terus berjalan tanpa mau peduli pada Shan yang merasa bersalah."Ra,""Jangan masuk kamar, lo harus tidur di luar," titah Naura."Tapi itu kamar aku ... Ra," belum selesai dengan kalimatnya. Terdengar bunyi debum pintu tertutup secara kasar disusul suara kunci membuat Shan hanya bisa berdiam diri di depan kamarnya sendiri."Ngapain lo di sana?" tanya Adi."Eh, Bang,""Lo ngapain berdiri di sana?" ulang Adi."Nggak, Bang. Nggak ngapa-ngapain," elak Shan."Ya udah gue masuk dulu,""Yo'i Bang."Sepeninggal Adi, Shan lagi-lagi menatap papan datar yang tertutup rapat dengan hati cenat-cenut. Ketidaksengajaan yang dia perbuat malah mengundang amarah dari Naura.Padahal seingat Shan, tadi Naura mengajaknya pulang namun Shan menolak sebab merasa kelelahan dan ingin istirahat sejenak.
"Gue suka warna ini, Shan!" Naura tampak bersikukuh menginginkan cat rumah yang akan mereka huni itu berwarna pink dan ungu."Nggak nyambung, Ra. Kesannya terlalu cewek," jawab Shan.Naura manyun, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. "Ungu warna cowok, Shan,""Nggak! Pokoknya ganti," tolak Shan tanpa mau pikir panjang.Naura mendengus kesal sebab keinginannya mengubah warna cat di hunian barunya tidak disetujui sang suami. "Dasar pelit!" ucapnya ketus lantas segera berdiri dan pergi dari hadapan Shan."Yah, ngambek lagi!" keluh pria dalam balutan kemeja dan celana kain katun itu sembari menatap lurus punggung Naura yang mengentakkan kedua kaki saat masuk ke kamarnya.Sebetulnya bukan tidak mengijinkan Naura mengubah warna cat rumah ini. Hanya saja, untuk Shan semua yang menempel di dinding ini adalah kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh orang tua untuknya. Shan lebih rela mengecat ulang dengan warna serupa dibanding harus diganti seperti keinginan Naura.Sore ini,
Suasana siang ini memang tak lagi asing untuk pria yang sekarang duduk dari balik meja berbahan mahoni itu.Matanya sebentar-sebentar melirik pada gadis yang memiliki kebiasaan aneh nan ajaib. Siapa lagi jika bukan Naura Arifin, adik angkat menyebalkan yang sering sekali mengganggu."Ada perlu apa ke sini?" tanya laki-laki berperawakan tinggi itu terdengar cukup datar.Si gadis tersenyum seraya meremas ujung kemeja berbahan kainchambraymelekat menutupi tubuhnya."Ekhem," Gadis itu berdehem sejenak. "Mmm, lo mau nggak nikah sama gue?" ujarnya kemudian tanpa ragu.Mengutarakan kalimatnya tepat saat pria berkacamata itu menyemburkan minumannya.Terkejut karena perkataan wanita yang duduk nyaman dengan raut wajah biasa, dan seperti tanpa dosa di seberang mejanya sungguh bukan main diluar dugaan."Apa? Lo ngelantur ya?" pekiknya.
Suasana di kediaman Bapak Syakir tidak seperti biasanya. Ada atmosfir lain lebih ke rasa canggung kelewat kuat diantara Shan, ayahnya dan kakak sulungnya.Sementara Naura sedang asyik memainkan ponselnya di atas kursi luar. Lebih tepatnya di bagian halaman belakang. Niatnya sih ingin menyembunyikan debar dalam dada demi mendengar keputusan sang ayah akan berita yang akan di sampaikan oleh Shan. Dan sungguh, rasa-rasanya Naura mau menyumbat kedua kupingnya dengan menggunakan batu kerikil. Enggan mengakui bahwa detak jantungnya seperti sedang berdrama.Memacu detak dua kali lebih cepat dari batas normal.Padahal ini hanya lamar-lamaran tanpa adanya perasaan.***"Kayaknya ada yang mau diomongin deh! Apa sih?" Terka Adi begitu melihat gelagat tak biasa dari adik laki-lakinya.Shan terperanjat. Ia yang sedang berancang-ancang, memilah kata tepat untuk ia ungkapkan jadi merasa
Hari pertama Naura menjadi istri Shan. Perempuan itu masih terlelap di atas ranjang dengan kaki ia bentangkan sehingga menghabiskan luasnya tempat tidur. Rambut berantakan dan bantal tidak beraturan.Sungguh, tidak ada anggun-anggunnya sebagai perempuan. Dan Shan yang sudah terbangun sejak tadi hanya menggelengkan kepala melihat Naura yang masih setia dengan gulingnya.Enggan mengganggu, Shan memilih masuk ke luar kamar untuk melakukan olahraga.Setibanya di lantai bawah, ia menyaksikan kakak sulungnya tengah membuat kopi. Tak lupa, Shan menyapa pria dengan balutan kaos dan celana training itu dengan penuh semangat."Pagi Bang,""Eh, udah bangun aja Shan,""Hmmm," sahut Shan, "Papa mana, Bang?""Joging ke taman,""Oh!""Naura mana? Kok sendirian?" tanya Adi, heran.Shan tersenyum seraya mengambil gelas dari dalam rak. "Masih tidur," jawabnya."Ya,
Sore itu Naura sedang asyik mewarnai kukunya sendiri dengan kuteks berwarna peach. Dengan kaki berselonjor di antara karpet bulu abu-abu yang terdapat di dalam kamarnya.Rambut panjangnya ia gelung sampai atas dengan balutan kaos dan celana pendek sepaha. Saking antengnya, gadis itu seolah tidak menyadari bahwa Shan sudah berdiri menyandarkan separuh bahunya di pintu yang sedikit terbuka."Bagusan warna merah." Shan berseru mengejutkan Naura. Otomatis itu membuat kuas yang ia oles di antara kuku-kuku lentik kesayangannya menjadi keluar dari batas garis seharusnya.Mata Naura langsung berpisat tajam ke arah Shan yang menunjukkan wajah innocent. Tidak takut sama sekali dengan tatapan dari istrinya yang seperti menaruh dendam tujuh turunan karena telah mengganggu dirinya."APA SIH? SENGAJA YA!" gerutu Naura."Loh, gue cuma ngasih pendapat. Kok sewot," tukas Shan."Pendapat, pendapat bibir-bibirmu. Lihat kuteknya jadi kena kulit," cibir wa
"Gue suka warna ini, Shan!" Naura tampak bersikukuh menginginkan cat rumah yang akan mereka huni itu berwarna pink dan ungu."Nggak nyambung, Ra. Kesannya terlalu cewek," jawab Shan.Naura manyun, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. "Ungu warna cowok, Shan,""Nggak! Pokoknya ganti," tolak Shan tanpa mau pikir panjang.Naura mendengus kesal sebab keinginannya mengubah warna cat di hunian barunya tidak disetujui sang suami. "Dasar pelit!" ucapnya ketus lantas segera berdiri dan pergi dari hadapan Shan."Yah, ngambek lagi!" keluh pria dalam balutan kemeja dan celana kain katun itu sembari menatap lurus punggung Naura yang mengentakkan kedua kaki saat masuk ke kamarnya.Sebetulnya bukan tidak mengijinkan Naura mengubah warna cat rumah ini. Hanya saja, untuk Shan semua yang menempel di dinding ini adalah kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh orang tua untuknya. Shan lebih rela mengecat ulang dengan warna serupa dibanding harus diganti seperti keinginan Naura.Sore ini,
"Ra, maaf aku beneran nggak tahu kalau kamu masih ada di sana," Shan nampak kewalahan untuk membujuk Naura yang tak sengaja ia tinggalkan di rumah baru yang akan mereka tempati."Bodo amat!" jawab Naura ketus, ia terus berjalan tanpa mau peduli pada Shan yang merasa bersalah."Ra,""Jangan masuk kamar, lo harus tidur di luar," titah Naura."Tapi itu kamar aku ... Ra," belum selesai dengan kalimatnya. Terdengar bunyi debum pintu tertutup secara kasar disusul suara kunci membuat Shan hanya bisa berdiam diri di depan kamarnya sendiri."Ngapain lo di sana?" tanya Adi."Eh, Bang,""Lo ngapain berdiri di sana?" ulang Adi."Nggak, Bang. Nggak ngapa-ngapain," elak Shan."Ya udah gue masuk dulu,""Yo'i Bang."Sepeninggal Adi, Shan lagi-lagi menatap papan datar yang tertutup rapat dengan hati cenat-cenut. Ketidaksengajaan yang dia perbuat malah mengundang amarah dari Naura.Padahal seingat Shan, tadi Naura mengajaknya pulang namun Shan menolak sebab merasa kelelahan dan ingin istirahat sejenak.
Pagi hari, Shan menemukan kembali istrinya masih terlelap di sampingnya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita dengan postur tubuh sedang itu telah pindah ke kamarnya. Tanpa sadar Shan tiba-tiba menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk senyuman manis untuk Naura. Tangannya terangkat untuk menguuiskan helaian rambut gadis itu, Shan ingin melihat rupa tenang Naura secara jelas. Sebab ketika ia bangun nanti, aura ketenangan itu sulit ia dapati. Sebab Shan tahu bagaimana sifat Naura sendiri, terlebih itu terhadapnya..Seperti hari-hari sebelumnya. Shan akan bersiap untuk bergegas berangkat ke kantornya. Namun kali ini lain, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Shan masih dengan celana kolor dan kaos oblongnya. Berjalan mondar-mandir dari dapur ke halaman belakang."Nggak kerja?" tanya Naura.Shan menggeleng cepat. "Nggak,""Kenapa?""Mau pergi ke toko mebel,"
Sore itu Naura sedang asyik mewarnai kukunya sendiri dengan kuteks berwarna peach. Dengan kaki berselonjor di antara karpet bulu abu-abu yang terdapat di dalam kamarnya.Rambut panjangnya ia gelung sampai atas dengan balutan kaos dan celana pendek sepaha. Saking antengnya, gadis itu seolah tidak menyadari bahwa Shan sudah berdiri menyandarkan separuh bahunya di pintu yang sedikit terbuka."Bagusan warna merah." Shan berseru mengejutkan Naura. Otomatis itu membuat kuas yang ia oles di antara kuku-kuku lentik kesayangannya menjadi keluar dari batas garis seharusnya.Mata Naura langsung berpisat tajam ke arah Shan yang menunjukkan wajah innocent. Tidak takut sama sekali dengan tatapan dari istrinya yang seperti menaruh dendam tujuh turunan karena telah mengganggu dirinya."APA SIH? SENGAJA YA!" gerutu Naura."Loh, gue cuma ngasih pendapat. Kok sewot," tukas Shan."Pendapat, pendapat bibir-bibirmu. Lihat kuteknya jadi kena kulit," cibir wa
Hari pertama Naura menjadi istri Shan. Perempuan itu masih terlelap di atas ranjang dengan kaki ia bentangkan sehingga menghabiskan luasnya tempat tidur. Rambut berantakan dan bantal tidak beraturan.Sungguh, tidak ada anggun-anggunnya sebagai perempuan. Dan Shan yang sudah terbangun sejak tadi hanya menggelengkan kepala melihat Naura yang masih setia dengan gulingnya.Enggan mengganggu, Shan memilih masuk ke luar kamar untuk melakukan olahraga.Setibanya di lantai bawah, ia menyaksikan kakak sulungnya tengah membuat kopi. Tak lupa, Shan menyapa pria dengan balutan kaos dan celana training itu dengan penuh semangat."Pagi Bang,""Eh, udah bangun aja Shan,""Hmmm," sahut Shan, "Papa mana, Bang?""Joging ke taman,""Oh!""Naura mana? Kok sendirian?" tanya Adi, heran.Shan tersenyum seraya mengambil gelas dari dalam rak. "Masih tidur," jawabnya."Ya,
Suasana di kediaman Bapak Syakir tidak seperti biasanya. Ada atmosfir lain lebih ke rasa canggung kelewat kuat diantara Shan, ayahnya dan kakak sulungnya.Sementara Naura sedang asyik memainkan ponselnya di atas kursi luar. Lebih tepatnya di bagian halaman belakang. Niatnya sih ingin menyembunyikan debar dalam dada demi mendengar keputusan sang ayah akan berita yang akan di sampaikan oleh Shan. Dan sungguh, rasa-rasanya Naura mau menyumbat kedua kupingnya dengan menggunakan batu kerikil. Enggan mengakui bahwa detak jantungnya seperti sedang berdrama.Memacu detak dua kali lebih cepat dari batas normal.Padahal ini hanya lamar-lamaran tanpa adanya perasaan.***"Kayaknya ada yang mau diomongin deh! Apa sih?" Terka Adi begitu melihat gelagat tak biasa dari adik laki-lakinya.Shan terperanjat. Ia yang sedang berancang-ancang, memilah kata tepat untuk ia ungkapkan jadi merasa
Suasana siang ini memang tak lagi asing untuk pria yang sekarang duduk dari balik meja berbahan mahoni itu.Matanya sebentar-sebentar melirik pada gadis yang memiliki kebiasaan aneh nan ajaib. Siapa lagi jika bukan Naura Arifin, adik angkat menyebalkan yang sering sekali mengganggu."Ada perlu apa ke sini?" tanya laki-laki berperawakan tinggi itu terdengar cukup datar.Si gadis tersenyum seraya meremas ujung kemeja berbahan kainchambraymelekat menutupi tubuhnya."Ekhem," Gadis itu berdehem sejenak. "Mmm, lo mau nggak nikah sama gue?" ujarnya kemudian tanpa ragu.Mengutarakan kalimatnya tepat saat pria berkacamata itu menyemburkan minumannya.Terkejut karena perkataan wanita yang duduk nyaman dengan raut wajah biasa, dan seperti tanpa dosa di seberang mejanya sungguh bukan main diluar dugaan."Apa? Lo ngelantur ya?" pekiknya.