Hari pertama Naura menjadi istri Shan. Perempuan itu masih terlelap di atas ranjang dengan kaki ia bentangkan sehingga menghabiskan luasnya tempat tidur. Rambut berantakan dan bantal tidak beraturan.
Sungguh, tidak ada anggun-anggunnya sebagai perempuan. Dan Shan yang sudah terbangun sejak tadi hanya menggelengkan kepala melihat Naura yang masih setia dengan gulingnya.Enggan mengganggu, Shan memilih masuk ke luar kamar untuk melakukan olahraga. Setibanya di lantai bawah, ia menyaksikan kakak sulungnya tengah membuat kopi. Tak lupa, Shan menyapa pria dengan balutan kaos dan celana training itu dengan penuh semangat."Pagi Bang,""Eh, udah bangun aja Shan,""Hmmm," sahut Shan, "Papa mana, Bang?"
"Joging ke taman,"
"Oh!""Naura mana? Kok sendirian?" tanya Adi, heran.Shan tersenyum seraya mengambil gelas dari dalam rak. "Masih tidur," jawabnya."Ya, ampun itu anak, udah nikah juga nggak berubah," timpal Adi seperti menyayangkan."Nggak apa-apa Bang. Mungkin kecapekan. Lagipun, dia perlu bersosialisasi dengan hal-hal baru." ujar Shan memberi pemakluman.Mendengar itu, Adi langsung menepuk pundak adik iparnya itu. "Nggak salah memang bokap kepingin banget Lo yang jaga Naura." tukas Adi penuh bangga."Ah, apaan sih, Bang!" ucap Shan agak malu-malu.Sementara di dalam kamar. Naura sudah dengan posisi duduk dengan wajah yang ... entahlah!Rambutnya hampir menutupi separuh wajah dengan tangan menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal sama sekali. Sampai sedetik kemudian, matanya melirik ke area kamar lalu mengerutkan kening."Kok gue bisa tidur disini, sih?" gumamnya. Lantas mulutnya melebar, ia menguap dan merentangkan kedua tangan dengan isi kepala masih berpikir tentang pertanyaan bagaimana bisa ia berada di sini.Sepertinya gadis itu lupa jika kemarin ia sudah dipersunting oleh Shan. Atau merasa bahwa pernikahan yang dijalani olehnya adalah mimpi. Yang pasti, Naura segera bangun dari sana dan berjalan longlai menuju pintu.***
Naura turun ke lantai bawah setelah membersihkan diri. Rupa yang ia punya terlihat lebih segar dari pada saat ia bangun tidur dengan penampilan super berantakan. Dengan rambut diikat asal, Naura menghampiri kedua abang-abangnya yang sedang olahraga bersama. Dari balik pintu geser yang menjadi penyekat antara ruang santai dan halaman belakang, Naura memunculkan diri dengan wajah menekuk."Kak Shan, sini!" panggilnya.Shan menoleh, dan ia menghentikan aktivitasnya untuk menghampiri Naura."Kenapa?""Kok semalam gue bisa tidur di kamar Lo?" tanya Naura polos.Mendengar pertanyaan itu, Shan merasa heran. Tanpa menjawab ia menaruh punggung tangannya ke kening Naura. Membuat gadis itu merasa aneh."Ih, jawab!" tuntun Naura menepis tangan Shan."Lo sakit?""Enak aja, gue sehat ya!""Ya, terus ngapain nanya?"
"Wah, jangan-jangan bener firasat gue. Lo pasti abis grepe-grepe gue, ngaku!" tuding Naura.
"Ngomong apaan sih? Kalo masih ngantuk tidur," ujar Shan lantas segera membalikkan badan.
"Ih, tunggu. Belom selesai," rengek Naura.
"Apaan sih?"
"Lo abis ngapain semalem?""Lo mau tahu jawabannya?" Shan malah membalikkan tanya dan Naura mengangguk cepat sebagai respon dari tuduhan dan feeling yang ia rasa."Abis gue cium sampe Lo pules, sampe lemes." kata Shan sengaja.Naura melotot, ia kaget dan betulan ingin mencubit lengan kekar Shan. Tapi sebelum itu terjadi, jiwa kekanak-kanakannya muncul terlebih dahulu dan mengentakkan kedua kakinya di sana."Nggak mau, Lo jahat sama gue!" Rengeknya membuat Shan tersenyum nakal dan Adi yang melihatnya menjadi penasaran."Lo ngapain dia?"Bukannya memberi jawaban, Shan malah menggendikkan kedua bahu seraya berkata. "Biasa, Bang lagi kumat!" ***Naura kembali ke lantai atas. Ia memasuki kamar untuk mandi. Rupanya wanita itu betulan lupa berkepanjangan kalau ia sudah menikah dengan Shan. Dan dia lupa kalau seluruh pakaiannya sudah berpindah tempat ke kamar Shan yang berhadapan dengan ruang pribadinya sendiri.Sewaktu membuka lemari, Naura jadi nganga dan melotot tak percaya. Kemanakah isi dari baju-baju kesayangannya. Mengapa tidak ada yang tersisa? Begitulah pikir Naura. "Santai Naura, coba ingat-ingat apa yang terjadi." bisiknya pada diri dan sejurus kemudian, otaknya mampu bekerja dengan baik begitu dengan acara sakral kemarin."Ya, ampun Naura. Lo kawin aja nggak bisa inget, gimana kalo entar Lo kawin lagi sama cowok lebih ganteng dari laki Lo yang sekarang? Auto semaput Lo!" marahnya asal."Eh, tapi nggak deh! Masa cewe seksi, bahenol kek gue jadi janda muda sih!" ucapnya lagi dengan bergidik ngeri.Ia ingin meralat makiannya terhadap diri sendiri dan menelannya bulat-bulat. Semoga saja pengalaman itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya. Biarkan ia ditakdirkan bersama Shan, laki-laki itu baik dan pengertian. Meski kadang suka nggak mau ngalah dari Naura sendiri. Cuma agak pelit aja. Begitulah penilaian Naura terhadap Shan..Shan dan Naura, keduanya bertemu enam bulan silam. Belum satu tahun memang, Naura dulu tinggal bersama ibunya di pulau Sumatera dan ayahnya di Bandung. Keduanya terlibat perceraian dan mengakibatkan kedua kakak beradik antara Naura dan Adi terpisah karena dibawa masing-masing oleh orang tuanya.Selama di Sumatera, ayah Naura sering mengunjunginya dengan membawa Adi, karena meski begitu, keduanya harus tetap ada dan menjadi orang tua utuh untuk saling melengkapi kasih sayang anak-anaknya. Seiring berjalannya waktu, pada usia tujuh belas tahun. Salah seorang sahabat dekat dari ayah Naura menitipkan Shan padanya. Karena papa kandung Shan mengidap penyakit cukup parah dan tidak dapat disembuhkan walau sudah berusaha berobat kesana-kemari.Takdir tetap berkata lain, Shan diangkat anak oleh ayahnya Naura sejak delapan tahun lalu. Pun, Naura sendiri. Sebelumnya ia hanya mendengar dari ayahnya tentang anak laki-laki yang menjadi kakak baru untuknya. Dari sana, Naura agak keberatan karena Naura merasa iri sebab orang asing itu bisa hidup bersama ayahnya setiap detik, setiap hari. Sementara dirinya yang anak kandung harus berjauhan, bertemu pun hanya satu bulan sekali. Itupun jika sempat.Cukup lama Naura merasa tidak senang jika ayahnya bercerita tentang Shan. Ia akan menunjukkan ekspresi lain saat kedua telinganya mendengarkan nama itu dan ia sempat bersumpah pada diri sendiri bahwa jika bertemu secara langsung, Naura akan membenci orang itu untuk selamanya.Waktu berjalan, ibu Naura meninggal karena kecelakaan saat berkunjung dari rumah saudaranya. Mengalami benturan keras di kepala bagian belakang, ibu Naura mengalami koma selama tiga hari lalu selebihnya, tak bisa diselamatkan.
Sejak itulah, Naura pindah dan bawa oleh ayahnya meski hal itu mendapat halangan dari keluarga ibunya. Mereka mengatakan bahwa Naura adalah cucu dan darah daging dari ibunya satu-satunya. Jangan diambil. Bukan merasa tidak tega. Akan tetapi ayah Naura ingin menyaksikan dan mengganti semua kasih sayang yang tak dapat ia berikan secara langsung selama belasan tahun silam.Namun bagi Naura sendiri. Ia penasaran ingin melihat secara langsung bagaimana bentuk dan rupa dari anak angkat yang selalu ayahnya elu-elukan itu. Kalau memang sesuai dengan imajinasinya, tanpa segan Naura akan mengibarkan bendera hitam guna menunjukkan peperangan.Sayang, belum rencananya terwujud. Rencana gila lainnya malah muncul dan membuat dirinya kini terikat bersama Shan. Hanya saja, apakah itu berlaku untuk sementara atau ... selamanya.
Sore itu Naura sedang asyik mewarnai kukunya sendiri dengan kuteks berwarna peach. Dengan kaki berselonjor di antara karpet bulu abu-abu yang terdapat di dalam kamarnya.Rambut panjangnya ia gelung sampai atas dengan balutan kaos dan celana pendek sepaha. Saking antengnya, gadis itu seolah tidak menyadari bahwa Shan sudah berdiri menyandarkan separuh bahunya di pintu yang sedikit terbuka."Bagusan warna merah." Shan berseru mengejutkan Naura. Otomatis itu membuat kuas yang ia oles di antara kuku-kuku lentik kesayangannya menjadi keluar dari batas garis seharusnya.Mata Naura langsung berpisat tajam ke arah Shan yang menunjukkan wajah innocent. Tidak takut sama sekali dengan tatapan dari istrinya yang seperti menaruh dendam tujuh turunan karena telah mengganggu dirinya."APA SIH? SENGAJA YA!" gerutu Naura."Loh, gue cuma ngasih pendapat. Kok sewot," tukas Shan."Pendapat, pendapat bibir-bibirmu. Lihat kuteknya jadi kena kulit," cibir wa
Pagi hari, Shan menemukan kembali istrinya masih terlelap di sampingnya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita dengan postur tubuh sedang itu telah pindah ke kamarnya. Tanpa sadar Shan tiba-tiba menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk senyuman manis untuk Naura. Tangannya terangkat untuk menguuiskan helaian rambut gadis itu, Shan ingin melihat rupa tenang Naura secara jelas. Sebab ketika ia bangun nanti, aura ketenangan itu sulit ia dapati. Sebab Shan tahu bagaimana sifat Naura sendiri, terlebih itu terhadapnya..Seperti hari-hari sebelumnya. Shan akan bersiap untuk bergegas berangkat ke kantornya. Namun kali ini lain, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Shan masih dengan celana kolor dan kaos oblongnya. Berjalan mondar-mandir dari dapur ke halaman belakang."Nggak kerja?" tanya Naura.Shan menggeleng cepat. "Nggak,""Kenapa?""Mau pergi ke toko mebel,"
"Ra, maaf aku beneran nggak tahu kalau kamu masih ada di sana," Shan nampak kewalahan untuk membujuk Naura yang tak sengaja ia tinggalkan di rumah baru yang akan mereka tempati."Bodo amat!" jawab Naura ketus, ia terus berjalan tanpa mau peduli pada Shan yang merasa bersalah."Ra,""Jangan masuk kamar, lo harus tidur di luar," titah Naura."Tapi itu kamar aku ... Ra," belum selesai dengan kalimatnya. Terdengar bunyi debum pintu tertutup secara kasar disusul suara kunci membuat Shan hanya bisa berdiam diri di depan kamarnya sendiri."Ngapain lo di sana?" tanya Adi."Eh, Bang,""Lo ngapain berdiri di sana?" ulang Adi."Nggak, Bang. Nggak ngapa-ngapain," elak Shan."Ya udah gue masuk dulu,""Yo'i Bang."Sepeninggal Adi, Shan lagi-lagi menatap papan datar yang tertutup rapat dengan hati cenat-cenut. Ketidaksengajaan yang dia perbuat malah mengundang amarah dari Naura.Padahal seingat Shan, tadi Naura mengajaknya pulang namun Shan menolak sebab merasa kelelahan dan ingin istirahat sejenak.
"Gue suka warna ini, Shan!" Naura tampak bersikukuh menginginkan cat rumah yang akan mereka huni itu berwarna pink dan ungu."Nggak nyambung, Ra. Kesannya terlalu cewek," jawab Shan.Naura manyun, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. "Ungu warna cowok, Shan,""Nggak! Pokoknya ganti," tolak Shan tanpa mau pikir panjang.Naura mendengus kesal sebab keinginannya mengubah warna cat di hunian barunya tidak disetujui sang suami. "Dasar pelit!" ucapnya ketus lantas segera berdiri dan pergi dari hadapan Shan."Yah, ngambek lagi!" keluh pria dalam balutan kemeja dan celana kain katun itu sembari menatap lurus punggung Naura yang mengentakkan kedua kaki saat masuk ke kamarnya.Sebetulnya bukan tidak mengijinkan Naura mengubah warna cat rumah ini. Hanya saja, untuk Shan semua yang menempel di dinding ini adalah kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh orang tua untuknya. Shan lebih rela mengecat ulang dengan warna serupa dibanding harus diganti seperti keinginan Naura.Sore ini,
Suasana siang ini memang tak lagi asing untuk pria yang sekarang duduk dari balik meja berbahan mahoni itu.Matanya sebentar-sebentar melirik pada gadis yang memiliki kebiasaan aneh nan ajaib. Siapa lagi jika bukan Naura Arifin, adik angkat menyebalkan yang sering sekali mengganggu."Ada perlu apa ke sini?" tanya laki-laki berperawakan tinggi itu terdengar cukup datar.Si gadis tersenyum seraya meremas ujung kemeja berbahan kainchambraymelekat menutupi tubuhnya."Ekhem," Gadis itu berdehem sejenak. "Mmm, lo mau nggak nikah sama gue?" ujarnya kemudian tanpa ragu.Mengutarakan kalimatnya tepat saat pria berkacamata itu menyemburkan minumannya.Terkejut karena perkataan wanita yang duduk nyaman dengan raut wajah biasa, dan seperti tanpa dosa di seberang mejanya sungguh bukan main diluar dugaan."Apa? Lo ngelantur ya?" pekiknya.
Suasana di kediaman Bapak Syakir tidak seperti biasanya. Ada atmosfir lain lebih ke rasa canggung kelewat kuat diantara Shan, ayahnya dan kakak sulungnya.Sementara Naura sedang asyik memainkan ponselnya di atas kursi luar. Lebih tepatnya di bagian halaman belakang. Niatnya sih ingin menyembunyikan debar dalam dada demi mendengar keputusan sang ayah akan berita yang akan di sampaikan oleh Shan. Dan sungguh, rasa-rasanya Naura mau menyumbat kedua kupingnya dengan menggunakan batu kerikil. Enggan mengakui bahwa detak jantungnya seperti sedang berdrama.Memacu detak dua kali lebih cepat dari batas normal.Padahal ini hanya lamar-lamaran tanpa adanya perasaan.***"Kayaknya ada yang mau diomongin deh! Apa sih?" Terka Adi begitu melihat gelagat tak biasa dari adik laki-lakinya.Shan terperanjat. Ia yang sedang berancang-ancang, memilah kata tepat untuk ia ungkapkan jadi merasa
"Gue suka warna ini, Shan!" Naura tampak bersikukuh menginginkan cat rumah yang akan mereka huni itu berwarna pink dan ungu."Nggak nyambung, Ra. Kesannya terlalu cewek," jawab Shan.Naura manyun, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. "Ungu warna cowok, Shan,""Nggak! Pokoknya ganti," tolak Shan tanpa mau pikir panjang.Naura mendengus kesal sebab keinginannya mengubah warna cat di hunian barunya tidak disetujui sang suami. "Dasar pelit!" ucapnya ketus lantas segera berdiri dan pergi dari hadapan Shan."Yah, ngambek lagi!" keluh pria dalam balutan kemeja dan celana kain katun itu sembari menatap lurus punggung Naura yang mengentakkan kedua kaki saat masuk ke kamarnya.Sebetulnya bukan tidak mengijinkan Naura mengubah warna cat rumah ini. Hanya saja, untuk Shan semua yang menempel di dinding ini adalah kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh orang tua untuknya. Shan lebih rela mengecat ulang dengan warna serupa dibanding harus diganti seperti keinginan Naura.Sore ini,
"Ra, maaf aku beneran nggak tahu kalau kamu masih ada di sana," Shan nampak kewalahan untuk membujuk Naura yang tak sengaja ia tinggalkan di rumah baru yang akan mereka tempati."Bodo amat!" jawab Naura ketus, ia terus berjalan tanpa mau peduli pada Shan yang merasa bersalah."Ra,""Jangan masuk kamar, lo harus tidur di luar," titah Naura."Tapi itu kamar aku ... Ra," belum selesai dengan kalimatnya. Terdengar bunyi debum pintu tertutup secara kasar disusul suara kunci membuat Shan hanya bisa berdiam diri di depan kamarnya sendiri."Ngapain lo di sana?" tanya Adi."Eh, Bang,""Lo ngapain berdiri di sana?" ulang Adi."Nggak, Bang. Nggak ngapa-ngapain," elak Shan."Ya udah gue masuk dulu,""Yo'i Bang."Sepeninggal Adi, Shan lagi-lagi menatap papan datar yang tertutup rapat dengan hati cenat-cenut. Ketidaksengajaan yang dia perbuat malah mengundang amarah dari Naura.Padahal seingat Shan, tadi Naura mengajaknya pulang namun Shan menolak sebab merasa kelelahan dan ingin istirahat sejenak.
Pagi hari, Shan menemukan kembali istrinya masih terlelap di sampingnya. Ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita dengan postur tubuh sedang itu telah pindah ke kamarnya. Tanpa sadar Shan tiba-tiba menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk senyuman manis untuk Naura. Tangannya terangkat untuk menguuiskan helaian rambut gadis itu, Shan ingin melihat rupa tenang Naura secara jelas. Sebab ketika ia bangun nanti, aura ketenangan itu sulit ia dapati. Sebab Shan tahu bagaimana sifat Naura sendiri, terlebih itu terhadapnya..Seperti hari-hari sebelumnya. Shan akan bersiap untuk bergegas berangkat ke kantornya. Namun kali ini lain, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Shan masih dengan celana kolor dan kaos oblongnya. Berjalan mondar-mandir dari dapur ke halaman belakang."Nggak kerja?" tanya Naura.Shan menggeleng cepat. "Nggak,""Kenapa?""Mau pergi ke toko mebel,"
Sore itu Naura sedang asyik mewarnai kukunya sendiri dengan kuteks berwarna peach. Dengan kaki berselonjor di antara karpet bulu abu-abu yang terdapat di dalam kamarnya.Rambut panjangnya ia gelung sampai atas dengan balutan kaos dan celana pendek sepaha. Saking antengnya, gadis itu seolah tidak menyadari bahwa Shan sudah berdiri menyandarkan separuh bahunya di pintu yang sedikit terbuka."Bagusan warna merah." Shan berseru mengejutkan Naura. Otomatis itu membuat kuas yang ia oles di antara kuku-kuku lentik kesayangannya menjadi keluar dari batas garis seharusnya.Mata Naura langsung berpisat tajam ke arah Shan yang menunjukkan wajah innocent. Tidak takut sama sekali dengan tatapan dari istrinya yang seperti menaruh dendam tujuh turunan karena telah mengganggu dirinya."APA SIH? SENGAJA YA!" gerutu Naura."Loh, gue cuma ngasih pendapat. Kok sewot," tukas Shan."Pendapat, pendapat bibir-bibirmu. Lihat kuteknya jadi kena kulit," cibir wa
Hari pertama Naura menjadi istri Shan. Perempuan itu masih terlelap di atas ranjang dengan kaki ia bentangkan sehingga menghabiskan luasnya tempat tidur. Rambut berantakan dan bantal tidak beraturan.Sungguh, tidak ada anggun-anggunnya sebagai perempuan. Dan Shan yang sudah terbangun sejak tadi hanya menggelengkan kepala melihat Naura yang masih setia dengan gulingnya.Enggan mengganggu, Shan memilih masuk ke luar kamar untuk melakukan olahraga.Setibanya di lantai bawah, ia menyaksikan kakak sulungnya tengah membuat kopi. Tak lupa, Shan menyapa pria dengan balutan kaos dan celana training itu dengan penuh semangat."Pagi Bang,""Eh, udah bangun aja Shan,""Hmmm," sahut Shan, "Papa mana, Bang?""Joging ke taman,""Oh!""Naura mana? Kok sendirian?" tanya Adi, heran.Shan tersenyum seraya mengambil gelas dari dalam rak. "Masih tidur," jawabnya."Ya,
Suasana di kediaman Bapak Syakir tidak seperti biasanya. Ada atmosfir lain lebih ke rasa canggung kelewat kuat diantara Shan, ayahnya dan kakak sulungnya.Sementara Naura sedang asyik memainkan ponselnya di atas kursi luar. Lebih tepatnya di bagian halaman belakang. Niatnya sih ingin menyembunyikan debar dalam dada demi mendengar keputusan sang ayah akan berita yang akan di sampaikan oleh Shan. Dan sungguh, rasa-rasanya Naura mau menyumbat kedua kupingnya dengan menggunakan batu kerikil. Enggan mengakui bahwa detak jantungnya seperti sedang berdrama.Memacu detak dua kali lebih cepat dari batas normal.Padahal ini hanya lamar-lamaran tanpa adanya perasaan.***"Kayaknya ada yang mau diomongin deh! Apa sih?" Terka Adi begitu melihat gelagat tak biasa dari adik laki-lakinya.Shan terperanjat. Ia yang sedang berancang-ancang, memilah kata tepat untuk ia ungkapkan jadi merasa
Suasana siang ini memang tak lagi asing untuk pria yang sekarang duduk dari balik meja berbahan mahoni itu.Matanya sebentar-sebentar melirik pada gadis yang memiliki kebiasaan aneh nan ajaib. Siapa lagi jika bukan Naura Arifin, adik angkat menyebalkan yang sering sekali mengganggu."Ada perlu apa ke sini?" tanya laki-laki berperawakan tinggi itu terdengar cukup datar.Si gadis tersenyum seraya meremas ujung kemeja berbahan kainchambraymelekat menutupi tubuhnya."Ekhem," Gadis itu berdehem sejenak. "Mmm, lo mau nggak nikah sama gue?" ujarnya kemudian tanpa ragu.Mengutarakan kalimatnya tepat saat pria berkacamata itu menyemburkan minumannya.Terkejut karena perkataan wanita yang duduk nyaman dengan raut wajah biasa, dan seperti tanpa dosa di seberang mejanya sungguh bukan main diluar dugaan."Apa? Lo ngelantur ya?" pekiknya.