Pukul tujuh malam, aku kembali kerumah sakit menemui Emak dan Anita. Perjalanan dari rumah makan ke rumah sakit juga hanya tiga puluh menitan.Sesampainya aku diruang tunggu pasien, aku melihat Bude Mai dan Fero juga sudah ada didalam sedang berbincang dengan Emak."Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eeeh uda pulang Nduk!" Ucap Emak.Anita, Bude Mai dan Fero pun lantas tersenyum ke arah ku. Tak lupa, akupun langsung mencium punggung tangan Emak dan Bude Mai. Dan menyalami Fero juga putriku."Uda lama Bude datangnya?" Tanya ku sambil menghenyak kan bokong didekat Emak."Baru kok Nduk. Wajahnya kusut amat sih?"Aku pun terkesiap kala mendengar ucapan Bude Mai. Gimana gak kusut, orang tadi ketemu Mas Bowo yang nyebelin."Hehehe iya nih Bude, capek soalnya. Alhamdulillah rumah makan hari ini rame sekali." "Oh iya, ini tadi Ida bawakan makanan. Yuk mari makan dulu Bude." Ajak ku untuk mengalihkan pembicaraan."Uda Nduk, masih kenyang. Kan tadi Bude sama Fero uda buka puasa dirumah.""Ini
Setelah Bapak pulang kerumah, Emak pun melaksakan aktifitas seperti biasanya. Beliau juga masih sering ikut ketoko bersama ku.Dan setelah seminggu dirumah, keadaan beliau juga sudah berangsur membaik. Tapi beliau tetap tak kuperboleh kan untuk menjalani puasa.Hari ini puasa ramadhan sudah masuk hari ke tujuh belas. Beberapa hari lagi, hari raya pun tiba. Selama puasa, aku sering mengajak kedua orang tua ku dan juga Anita untuk berbuka puasa dirumah makan milik ku sendiri.Hubungan ku dengan Fero pun juga makin lengket. Tapi hanya melalui pesan. Aku masih tak mau jika harus bertemu berdua an. Karena aku menganggap diriku bukan anak muda lagi. Jadi, jika dia memang ingin serius padaku, dia harus segera menghalalkan ku.Kebetulan toko akhir-akhir ini ramai sekali. Karena banyak sekali pelanggan yang memborong kebutuhan pokok untuk mereka bagi-bagikan pada orang lain.Benar-benar bulan puasa pembawa berkah."Mak, kalau capek mending istirahat dulu sana gih!" Kulihat Emak dari tadi sibuk
Pov BowoAkhirnya aku pun mengurungkan niatku meminta ijin pada Ibu untuk menikahi Denisa secara sah dimata hukum. Ini memang langkahku untuk menyelidiki dulu tentang kedekatan Denisa dengan tetangga kosnya yabg bernama Aria tersebut.Jika memang mereka tak ada hubungan apapun, aku bakal secepatnya menikahi. Mungkin lebih tepatnya setelah puasa ramadhan ini. Tapi jika mereka memang memiliki hubungan gelap dibelakangku, justru tak segan-segan aku akan membuang Denisa dari hidupku.Karena aku tak sudi memiliki istri peselingkuh."Kamu kenapa Wo? Kok kayak nya kepikiran sesuatu?" Tanya Ibu waktu menghentikan aktifitas makan nya."Eh enggak kok Bu." Aku jadi salah tingkah apalagi Ibu melihat ku dengan tatapan mata tajam.Sepertinya beliau sadar akan hal ini. Mungkin naluri seorang Ibu pada anaknya kali ya. Makanya, jika aku berkata tak jujur Ibu akan tau dan merasa.Buru-buru kuhabiskan bakso dimangkok ku, dan berjalan keluar mengembalikan nya pada si tukang bakso.Kuputuskan untuk duduk
Aku terpana melihat respon dari istri ku yang tak kuduga-duga ini. Bagaimana dia bisa menolak untuk kunikahi. Padahal dulu dia begitu ngotot dan terus-terusam memaksa ku.Tapi kini, setelah aku mewujudkan mimpinya, dia malah menolak nya secara tegas. Mungkin dia masih terlanjur sakit hati padaku. Tak papa lah, mungkin saat ini dia sedang emosi.Mungkin nanti jika sakit hatinya sudah reda, dia juga bakal mau untuk ku nikahi. Yang pernting sekarang, aku harus sabar dan bisa merayu hatinya.Hubungan ku dan Denisa masih berjalan seperti biasanya. Bahkan sampai detik ini pun, aku tak melihat gerak gerik aneh pada diri istriku ini. Ternyata dugaan ku jika dia menaruh hati pada pria lain tak terbukti.Syukurlah, akhirnya aku bisa bernapas lega."Mas, kenapa Mas Dendi susah dihubungi ya akhir-akhir ini?" Tanya Lusi saat aku sedang main kerumah Ibu. Mumpung hari libur, jadi aku mengajak Denisa untuk main kerumah Ibu lagi. Sekalian buka puasa disini. Kebetulan juga, siang ini Denisa sedang tid
Seusai sholat tarawih, aku dan Fero langsung bergegas kerumah Pak Haji Bakar. Karena memang kami sudah janjian dari tadi sore.Mobil Fero pun melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang sedikit lenggang. Terdengar lantunan ayat-ayat suci al-qur'an dari toa masjid yang ada dipinggir jalan.Setelah lima belas menit perjalanan, kami berdua pun akhirnya sampai juga dirumah Pak Haji. Fero segera memarkirkan mobilnya ditanah lapang depan rumah Pak Haji."Yuk Da...!" Ajaknya sambil mengulas senyum kearahku."Iya Fer." Aku pun membalas senyuman nya. Baru saja tangan ini membuka pintu mobil Fero kembali menahan ku."Tunggu Da!"Akupun reflek menoleh kearah nya dengan tatapan bingung."Kenapa Fer?""Hari ini aku merasa bahagia, karena akhirnya aku bisa keluar berdua sama kamu." Jawabnya dengan sedikit gugup."Pppfft... Ya Allah Fer, Fer, kirain kenapa. Inget, kita bukan anak muda lagi. Gak lucu kalau kita masih gombal-gombalan kayak gini." Gumamku menahan tawa.Dan diapun hanya mering
Keesokan harinya, setelah aku menjalan kan rutinitasku di toko dan rumah makan, aku pun mengajak Emak dan Bapak bermusyawarah tentang pembelian tanah milik Pak Haji Bakar sambil menunggu waktu berbuka."Bapak pikir dulu ya Nduk. Soalnya Bapak juga masih bingung.""Iya gak papa Pak, santai aja gak usah keburu." TukaskuKarena apapun keputusan Bapak, kutau memang itulah yang terbaik. Hari-hari berlalu begitu saja seperti biasanya, Bapak juga masih belum memberikan tanda-tanda tentang keputusan nya. Hingga aku sendiri yang akhirnya berinisiatif bertanya pada Bapak."Oh iya Pak, gimana nih jadinya?" Tanya ku saat melihat Bapak bersantai setelah sholat tarawih "Astaghfirullah Nduk, Bapak sampek lupa. Iya, kamu hubungi Pak Haji, Bapak setuju untuk beli tanahnya."Aku pun refleks tersenyum kala Bapak berucap seperti itu. Akhirnya, apa yang selama ini aku cita-citakan untuk membangun sebuah kos-kosan akan segera terwujud.Buru-buru aku berlalu masuk kedalam kamar dan langsung menghubungi Pa
Nampak raut muka Mas Bowo yang terlihat terkejut dengan penjelasan Bude Mai. Aku pun yang melihatnya juga gak habis pikir. Kenapa ekspresinya seperti itu. Lagian gak ada salahnya juga kan aku kembali menikah. Toh aku sudah menjadi janda juga karena dia.Lagian, mereka semua sudah merestui hubungan kami. Baik orang tua kami, maupun anak-anak kami."A-apa, calon suami Ida?" Ucap Mas Bowo terbata."Iya, kenapa emangnya Mas? Ada yang salah?" Tanya Fero membuat Mas Bowo terkesiap."E-enggak ada.""Yasudah yuk Bude, kita masuk kedalam." Ajak ku pada calon keluarga baruku. Bude Mai yang memang tak ingin lama-lama bertemu dengan mereka, langsung saja masuk kedalam rumah. Bersama dengan calon anak ku."Kalau gitu, saya permisi kedalam dulu." Ucapku pada semua orang yang ada diruang tamu.Dan langsung berlalu masuk kedalam menemui Bude dan Fero yang sudah duduk manis diruang keluarga.Aku pun langsung menyiapkan minuman dan cemilan untuk mereka. Terutama nastar, kesukaan Melisa yang secara la
Adzan takbir pun menggema saling bersahutan. Alhamdulillah, setelah menunaikan puasa tiga puluh hari, akhirnya umat muslim merayakan kemenanganya dengan datang nya hari raya.Aku sengaja mengajak Denisa dan juga Narendra untuk menginap dirumah Ibu. Dan akan berkunjung kerumah mertua pada hari kedua dan menginap disana tiga hari karena memang jatah libur dari pabrik hanya lima hari."Wo, kamu gak ada niatan ke rumah Ida?" Ucap Ibu saat aku sedang bersantai sambil merokok didepan rumah."Ngapain kita kesana Bu?" Tanya ku sambil mengernyitkan dahi.Ibu pun hanya meresponya dengan senyuman, yang menurutku semyuman nya kali ini ada maksut tersembunyi."Mmm, ya kita main kesana buat nengok cucu Ibu dong. Sapa tau juga kalau kita kesana kita dapet angpau. Secara, Ida kan gak pelit kayak istrimu. Apalagi sekarang dia sudah kaya raya. Ibu yakin deh kalau dia bakal lebih royal sama Ibu.""Hadeh, Ibu ini berharapnya terlalu tinggi deh!" Ucapku sambil menggelengkan kepala."Gak berhayal, kan siap
Setelah semua kejadian yang menimpa Lusi, awalnya dia begitu terpukul dan hampir depresi. Karena dia memang bakal tak bisa mempunyai anak untuk selamanya.Berkat kesabaran Ibunya, dan juga Bowo yang selalu memberi dukungan, perlahan Lusi mampu menerima takdirnya.Begitupula Dendi yang juga perhatian pada nya pasca kehilangan buah hati mereka. Tapi semenjak kehadiran Romi, mantan pacar Lusi dulu, hidupnya berubah. Terutama hubungan nya dengan Dendi.Rama, lelaki yang dulu mencintai Lusi sepenuh hati. Tapi karena dulu dia belum memiliki pekerjaan yang mapan, dia pun memilih untuk mundur. Apalagi waktu itu dia melihat Lusi yang juga sudah dekat dengan Dendi yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan besar.Hingga akhirnya, dia pun memilih untuk merantau. Bekerja jadi kontraktor disebuah tambang."Lus...!" Sapa Rama saat mereka bertemu membeli martabak disebuah sentra PKL bersama Narendra."Rama....!" Balas Lusi yang juga tak kalah bahagia dan mereka pun bersalaman."Anak kam
Hallo Mas!" Sapanya begitu lembut saat mengangkat telepon ku."Lagi apa Ras?""Nih, lagi santai sama calon anak kamu. Oh iya, uda makan belum?" Tanya nya.Aaah, Laras benar-benar perhatian sekali. Bahkan Lusi pun jarang menanyakan hal sekecil ini tapi mampu membuat ku merasa dipedulikan. Tak seperti Lusi yang hanya lebih sering menanyakan uang dan uang.Untung saja aku cinta. Kalau tidak, mungkin aku sduah meninggalkan nya."Sudah kok. Kamu juga sudah makan apa belum? Jangan sampai telat makan ya?" "Iya Enggak Mas." Jawab nya seraya tersenyum."Oh iya Ras, mobil yang kujanjikan pada Lusi sudah datang hari ini. Ku rasa dia begitu bahagia!" Ucapku.Tapi Laras tak menanggapi ucapan ku."Halo Ras kamu masih disana?" Tanya ku.Karena memang seketika suasana jadi hening. Hanya terdengar suara helaan napas yang berat keluar dari mulutnya."Iya masih Mas. Tapi aku ngantuk mau tidur dulu. Capek!" Jawab nya seketika cuek."Oh yasudah kalau gitu, kamu istirahat dulu gih. Met tidur ya sayang dan
Aku dulu memang sangat mencintai Lusi. Apapun yang dia inginkan, sebisa mungkin bakal aku turutin.Tak ada kata penolakan yang bakal keluar dari mulutku ini, semua ucapannya pasti ku iyakan. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku. Aku ingin keturunan. Sudah hampir lima tahunan aku dan Lusi menjalin rumah tangga, tapi kami belum juga dikarunia i seorang anak.Lantas aku harus bagaimana? Apakah aku harus menunggu terus dengan sabar? Tapi sampai kapan? Aku juga tak tau kapan umurku akan berakhir. Tapi setidaknya sebelum umur ku usai, aku sudah memiliki seorang penerus.Semakin hari aku semakin bimbang. Ingin rasanya menyudahi hubungan ku dengan nya, tapi aku masih terlalu cinta."Ini pesanan nya ya Pak!" Ucap seorang pelayan restoran saat kapalku sedang bersandar dan kami makan malam disuatu kota.Aku melihat gadis ini begitu manis, dengan postur tubuh yang aduhai menggoda iman. Ku lirik name tag nya, dan kulihat nama yang tertera disana "Laras".Aku pun tersenyum manis padanya, dan di
Drrrt... Drrrt... Drrrt...Aku jadi terbangun kala hp ku berdering karena sebuah panggilan masuk. Setelah ketahuan hamil, Ibu menyuruhku untuk lebih banyak istirahat. Karena kata Ibu, kehamilan ku ini sedikit rewel. Apalagi ini masih trimester pertama yang pastinya masih teler-telernya. Kuraih hp yang tergeletak tak jauh dari tempat ku berbaring, kemudian melihatnya. Ternyata Mas Dendi lah yang sedang menelponku.Dengan semangat 45, aku pun langsung mengangkat panggilan darinya. Dan sudah pasti, senyum ku pun memgembang."Hallo, iya Mas!" Ucapku "Lus, kamu beneran kan? Kamu gak bohong kan?" Pertanyaa Mas Dendi langsung memberondong ku."Iya Mas, masa' iya aku bohong sih sama kamu Mas?" "Alhamdulillah... Ya Allah Lus, kamu tau aku begitu bahagia. Hiks!" Dari nada suaranya, Mas Dendi begitu terharu."Mas nangis?" "Mas cuman bahagia Lus, Mas gak nyangka akhirnya kamu hamil juga. Tapi....!" Ucapanya terhenti.Tapi aku paham maksut dari ucapan Mas Dendi ini. Tapi dia juga sudah mengham
Karena perjanjian ku dengan Mas Dendi inilah, sekarang aku bisa hidup lebih bahagia. Apalagi dengan harta yang lebih bergemilang. Walau aku harus berbagi suami dengan wanita sialan itu.Tiga hari lagi Mas Dendi juga akan pulang. Dan dia berniat ingin bersama ku nantinya. Jujur saja, aku sudah kehilangan hasrat bersama Mas Dendi. Tapi, mau tak mau aku harus tetap melayani nya.Toh aku juga dapat imbalan yang setimpal. Apapun yang aku ingin kan, Mas Dendi selalu menuruti apapin yang aku ingin kan.Yang terpenting saat ini, aku harus bersiap dan merias diri secantik mungkin. Agar nanti saat Mas Dendi datang, dia terkesima dengan penampilan ku.Tok tok tok!!!"Lus...?" Sapa Mas Bowo didepan kamar ku"Hmm, ada apa Mas? Masuk aja, gak ku kunci kok." UcapkuMas Bowo pun masuk, dan mengeluarkan uamg lembaran merah sebanyak lima biji."Nih...!" Ucapnya sambil meneyerah kan pada ku."Ooh, uda gajian toh. Oke, aku terima." Ku ambil uang ity dari tangan Mas Bowo. Dan memasukkanya kedalam kantong
Menempuh waktu hampir dua jam lebih, bagiku terasa sangat begitu lama. Tapi aku bersikap biasa saja dihadapan Mas Fero. Aku takut, jika dia melihat ku khawatir, dia bakal ngebut, dan justru malah membahayakan kita sendiri.Padahal dalam hati ini, sudah tak karuan lagi. Campur aduk rasanya, apalagi memang kondisi Bapak yang sudah terlalu lemah beberapa hari ini.Tapi memang saat ini Mas Fero berkendara lebih cepat dari pada saat kami berangkat ke kosan Anita. Untung nya juga, jalanan tak seberapa padat, mungkin karena masih siang juga, dan tak bertepatan dengan jam pulang kerja.Tujuan kita saat ini pun langsung ke rumah sakit Medika. Aku melirik Anita dari kaca spion dalam mobil, terlihat tak tenang juga. Terlihat juga Anita tak lepas dari doa, sama seperti ku saat ini.Sesampainya dirumah sakit, Mas Fero langsung memarkirikan mobilnya, setelah itu, kami langsung berjalan. Menuju ruang ICU, dimana Emak sudah menunggu disana."Mak...!" Sapa ku saat melihat wanita paruh baya itu duduk s
Sudah dua hari ini, aku dan Mas Fero tinggal dirumah ku. Karena memang beberapa hari ini aku sibuk mengolah semua usaha ku. Maklum, biasanya Emak yang membantuku ditoko, kini lebih banyak dirumah.Sebab, akhir-akhir ini kesehatan Bapak juga sedang terganggu. Dan sudah tiga hari ini pula beliau terlihat lemas. Jadi dari pada aku harus bolak balik toko kerumah Mas Fero yang jaraknya lumayan jauh, aku pun memutuskan untuk memgajak Mas Fero gantian tinggal disini beberapa hari. Apalagi hari ini kita juga ada agenda mengantarkan Anita ke kosan nya.Dan juga, aku sibuk membantu putriku yang akan segera pindahan, karena sebenyar lagi dia akan masuk kuliah. Ternyata waktu berputar begitu cepat, hingga tanpa terasa kini Anita sudah akan menjadi seorang mahasiswi."Nduk, sarapan dulu!" Ajak Emak saat aku menuju dapur."Enggeh Mak! Oh iya, nanti Emak ke toko lagi kah?" "Kayaknya sih enggak, lah Bapak mu kondisinya juga kayak gitu. Emak kok jadi takut ya Nduk!" Ucap Emak sedikit tertahan"Takut
"Sudah hampir sebulan ini aku menjadi istri Mas Fero, kalau ditanya bagaimana rasanya? Sudah tentu aku bakal berkata begitu bahagia.Bukan tanpa sebab, karena memang sifat Mas Fero yang begitu perhatian dan peduli padaku, membuat ku menjadi begitu nyaman.Apalagi Mama juga begitu baik terhadapku. Karena memang setelah menikah, aku diboyong oleh Mas Fero ke kediamanya. Ya, walaupun tak jarang juga aku masih sering pulang kerumah untuk menengok Emak dan Bapak.Karena memang Anita juga kadang ikut tinggal dirumah Papa barunya ini. Mas Fero mengajak ku tinggal dirumah nya juga bukan tanpa alasan, sebab anak-anak kandung Mas Fero yang kini juga sudah menjadi anak ku masih kecil-kecil, sedangkan Anita sudah besar.Dan sebentar lagi dia akan masuk kuliah, bahkan akan tinggal jauh dari kami. Karena dia kuliah diluar kota, terpaksa dia harus ngekos disana. Itu pula lah yang membuat ku mau untuk tinggal disini, karena anak-anak Mas Fero lebih membutuhkan sosok Ibu."Sayang, nanti nge mall yuk..
Hari ini pekerjaan kantor benar-benar lumayan banyak. Apalagi banyak barang masuk, yang otomatis banyak data pula yang harus ku input.Untung nya laporan ini gak harus selesai hari ini juga. Jadi aku masih bisa sedikit bersantai tentunya.Kulihat Bram dan teman-teman juga pada sibuk dengan pekerjaan mereka. Hingga waktu istirahat, seperti biasa aku dan Bram makan siang di kantin sambil ngobrol. "Bro, gak minat cari istri baru nih?" Tanya nya "Gak kepikiran Bram. Masih trauma!" Jawab ku sambil menggelengkan kepala."Hahaha Anjriit, lemah amat lu Bro!"Sialan, dia bilang aku lemah? Dia gak tau aja sih sakitnya diselingkuhi, apalagi selingkuhnya sampek bikin bunting. Sakit tau gak, sakiiit...."Kamu bisa ngomong gitu mah soalnya belum ngerasain aja. Coba deh, nanti kalau uda ngerasain, nyaho deh...!" Cebik ku ganti membuat raut muka Bram berubah."Yaelah, gitu amat doain temen yang jelek-jelek." Ucap Bram yang sama sekali tak ku gubris.Waktu istirahat yang hanya sejam pun habis, aku k