“Tolong buat aku menjadi seperti ini,” kata Anna dengan sopan sambil menunjukkan sebuah potret seorang gadis dengan potongan rambut pendek model wolfcut.Seorang gadis muda yang berdiri di belakangnya menggangguk pelan. “Apakah kakak ingin menjadikan lebih pendek segini atau dipanjangkan sesuai foto?” Hairstylis itu memberi pilihan setelah melihat layar ponsel Anna sambil meletakkan tangan di kedua sisi kepala Anna.“Buat sedikit lebih pendek ya,” pinta Anna.Gadis muda itu mengangguk mengerti. Dia terampil memasang kain yang dililitkan di sekeliling tubuh agar tak ada potongan rambut yang menempel pada baju saat helai demi helai rambut yang terjatuh nanti. Setelahnya kedua tangannya mulai memainkan rambut Anna. Kemudian menggunting perlahan helai demi helai rambut Anna.“Potongan rambutnya tampak sangat cocok di wajah kakak, terlihat jauh lebih segar dan rapi,” ujar hairstylis itu puas dengan hasil kerjanya sendiri. Begitu pula dengan Anna yang menyunggingkan seulas senyum dari balik
Eden tak bisa tidur nyenyak semenjak kejadian itu. Entah mengapa hari-harinya terasa kelam setidaknya sampai ia melihat seorang wanita dengan potongan rambut pendek dari kejauhan.Pria yang mengenakan suit berwarna hitam itu memacu laju mobilnya hingga berada tepat di samping gadis itu. “Astaga!” ucapnya dengan senyum yang mulai merekah. Awalnya ia tidak yakin setelah melihat rambut gadis itu, tapi dia menjadi yakin setelah melihat jelas wajah pemilik rambut dengan potongan yang berani itu.Gadis itu langsung menoleh saat Eden menekan klakson. Namun raut mukanya menunjukkan kalau dia tak suka, bahkan dia buru-buru masuk ke dalam café.“Apa dia masih marah padaku?” gumam Eden pelan. Dia segera menyusul Anna setelah memarkir mobilnya dengan cepat.Eden tak mendapati Anna menduduki meja mana pun. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat Anna berdiri di balik meja kasir. “Kau bekerja di sini?” Eden bertanya berusaha mengendalikan raut wajahnya yang entah kenapa senang setela
Anna masih diam di tempat. Dia mengunci mulut rapat-rapat. Tak ingin menyela percakapan antara seorang ibu dan anaknya. Setidaknya itu sebelum Eden mengatakan kalau dia serius ingin menikahi dirinya. “Apa? Hei, Eden.” Anna spontan memanggil nama Eden. Hal yang dikatakan Eden tak pernah terbersit di benaknya barang sedetik pun. Dia memang masih butuh waktu untuk meyakinkan perasaannya sendiri, tapi keinginan Eden barusan terasa seperti kejut jantung baginya. Nyonya Arini tertawa ringan. Dia tak percaya dengan putranya yang dulu sangat menentang pernikahan, tapi kini malah tergila-gila dengan satu wanita. Dia menatap raut wajah anaknya dengan nanar. “Kau sudah memanfaatkannya untuk kepentinganmu, kau pikir dia akan mau menerimamu?” Nyonya Arini tetap mencari celah. “Aku tidak peduli. Lagi pula dia sudah tahu semuanya. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.” “Bagaimana menurutmu?” Nyonya Arini beralih menatap Anna.
Anna tetap memberi hormat saat dirinya hendak meninggalkan ruangan. Setidaknya hanya itu yang bisa dilakukannya saat itu. Sementara Eden tampak tak peduli dan terus berjalan keluar menarik gadis di belakangnya yang tak membantah barang sedikit pun. Tangan mereka masih berpegangan erat hingga Eden menyadari mereka sudah berjalan cukup jauh dari klinik. “Kau baik-baik saja?” Eden memijat pelipisnya pelan. Walau Anna hanya bisa melihat punggung Eden, tapi dia tahu jika pria itu mungkin saja menangis kini. Anna memperhatikan bahu Eden yang sedikit bergetar. “Eden?” panggilnya lagi dengan lembut. Eden membalikkan badan. Dia tak berani menatap mata Anna. “Maaf aku sudah membuat keributan. Lupakan semua yang aku katakan tadi, aku akan membereskan semuanya,’ tutupnya lagi. Anna mendesah panjang. Bukannya Anna tak percaya, tapi setiap kali Eden bilang akan membereskan semuanya sudah pasti semua itu akan menjadi rumit dan
Anna memegang tengkuknya yang terasa berat dan pegal. Walau terasa cukup lelah, dia masih bersyukur atasannya tidak memecatnya sepihak setelah menghilang hampir setengah hari. Dia berpamitan pada rekan kerjanya setelah menyelesaikan semua pekerjaan tambahan. Termasuk membersihkan peralatan, menyapu hingga mengepel lantai. Bahkan mengeringkan cangkir-cangkir yang baru saja dicucinya. “Aku pulang duluan ya,” ucapnya berpamitan pada rekan kerjanya yang usianya hampir sebaya. Entah mengapa rasa lelah luruh ke lantai setelah mendapati punggung seseorang tepat setelah mendorong pintu café. Sudut bibirnya melengkung otomatis. Dia sudah tahu siapa pemilik punggung itu tanpa harus melihat wajahnya lebih dulu. “Eden?” Pria yang dipanggil namanya menoleh. Sebuah senyuman hangat terukir di wajahnya. “Kau sudah selesai?” tanyanya lembut. “Hei, apa yang kau lakukan di sini?” Tangan Anna dengan cepat menutup pint
Eden mengabaikan pria yang menabraknya tadi dan kembali ke mobil. Mengacuhkan sapaan sarkas yang sungguh ingin dihindari Eden sepanjang hidupnya. “Bagaimana?” Anna bertanya saat Eden sudah kembali dan duduk dibalik kemudi. Dia masih memegang tengkuknya yang terasa sakit. Eden melajukan mobilnya. “Orang iseng.” Dia menjawab singkat. “Kau membiarkannya begitu saja?” Anna mulai marah. Eden bersikap aneh karena dia diam saja tak menjawab. “Mana ada orang iseng sampai segitunya.” Gerak tangan Anna kalah cepat dengan tangan Eden yang segera menahan lengannya yang hendak membuka pintu mobil. “Ada,” jawab Eden singkat. Pandangannya lurus ke depan yang membuat Anna ikut memperbaiki duduknya menghadap ke depan. “Ah, kenapa menahanku? Jelas-jelas dia yang salah, kenapa kita yang harus mengalah?” “Sudahlah. Sebaiknya kita ke rumah sakit.” Anna melepaskan tangan Eden yang semakin terasa kuat. “Tapi..” Eden menginja
Anna berjalan lemas memasuki rumah dengan sebuah kantong di tangan. Dia akhinya menerima pemberian Eden setelah berusaha setengah mati menolaknya. Tapi Eden sama saja dengannya, sama-sama keras kepala. Jadi sia-sia saja jika harus berdebat untuk hal-hal yang tidak akan bisa dimenangkannya. “Kenapa raut wajahmu begitu?” Sherin bertanya dari dapur. Dia tengah menyantap makan malamnya. Sepiring salat yang tersisa setengah di piringnya. Ya. Badannya tidak akan gemuk hanya karena memakan salad di tengah malam. “Kau baru sarapan jam segini?” Anna menoleh seraya terus berjalan ke ruang tengah. Dia menghempaskan badan ke sofa. “Tidak, ini makan siangku sekaligus makan malam.” Sherin menjawab singkat dengan wajah cemberut. Dia tidak selalai itu untuk baru akan sarapan pada pukul sembilan malam. Satu sendok salad baru saja masuk mulutnya. “Kau merasa kenyang hanya dengan makan itu?” Anna menggelengkan kepala pasrah pada temannya itu. S
Eden paham betul apa keinginan Anna sehingga gadis itu tak akan menolak. Eden mengajak Anna ke sebuah bar yang terkenal di kota. Suasananya tenang dan damai. Perpaduan musik klasik dan cahaya temaram semakin menambah sendu suasana di dalam bar. Cocok sekali bagi siapapun yang ingin melepaskan stress di sana. Bebas dari hiruk pikuk atau musik yang memekakkan telinga. Anna mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut bar. Dia langsung suka sama seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu pertama kalinya dia mengungjungi tempat seperti itu.Mereka duduk berdampingan dengan kedua gelas minuman beralkohol sudah tersaji di depan mereka. Tak lupa juga mereka mengambil foto sebelum minum. Tersenyum layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Kemudian mereka memeriksa hasil foto yang baru saja diambil oleh Eden. “Hei! Aku terlihat aneh di sini. Ambil yang benar. Sekali lagi,” pinta Anna. Dia tampak lebih antusias dibandingkan Eden. “Tidak, kau keli
Pagi itu matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Seolah mendukung acara suci yang akan diadakan hari itu. Bahkan cuaca sangat bersahabat. Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Ruangan yang sebelumnya kosong kini telah dihiasi dengan berbagai interior berwarna putih. Setiap meja telah tersaji minuman dan juga makanan ringan. Tampak beberapa orang waiter muda mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Termasuk Nyonya Arini yang sibuk kesana kemarin menyambut tamu undangan. “Kau gugup?” Ibu Anna merapikan slayer putih miliknya yang tengah menghadap kaca besar. Anna mengangguk pelan sebagai jawaban. Ibu Anna tersenyum hangat. Dia mengerti perasaan putrinya walau tidak sepenuhnya. Karena dulu dia juga pernah berada pada posisi Anna sekarang. “Semuanya akan berjalan seperti yang kau rencanakan nak. Rasa gugup, canggung, atau bahkan takut mungkin kau merasakannya sekarang. Tapi percayalah ini semua perjalanan menu
Tiga orang waiters baru saja menyelesaikan sajian makan malam di sebuah ruangan privat hotel bintang lima itu. Akhirnya pertemuan keluarga itu terlaksana. Sesuai perkataan Eden beberapa hari yang lalu. Kedua keluarga saling duduk berhadapan. Anna duduk bersebelahan dengan Eden yang berada di sisi keluarga Anna. Sementara di sisi seberang Eden duduk Nyonya Arini, Tuan Teddy dan juga nenek Eden. Di samping Anna ada ibu, nenek dan juga Ayah Anna. Persamaan kombinasi yang cukup mengejutkan saat mereka pertama kali memasuki ruangan itu. “Terima kasih sudah menjamu kami makan malam Tuan.” Ayah Anna memulai percakapan di meja makan. Dia tampak jauh lebih santai dibanding Ibu Anna dan juga ibu mertuanya. “Ah, tidak usah bilang seperti itu. Anggap saja ini seperti pertemuan keluarga,” sahut Ayah Eden tak kalah ramah. “Mari makan,” tangannya mulai bergerak mengambil mangkuk soto yang tersaji di atas meja. Mereka memang makan di hotel bintang lima, tapi menu m
Anna menarik lengan Eden agar pria itu menghentikan langkahnya. “Eden,” panggilnya. Usaha pertamanya gagal, pria yang dipanggilnya itu terus saja berjalan meninggalkan rumah dengan tangan yang masih berpegangan erat.“Eden!” Akhirnya Anna berhasil melepaskan tangannya dari Eden hingga pria itu membalikkan badan. “Kenapa?” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Awalnya Anna sedikit terlonjak kaget. Itu pertama kalinya Eden meninggikan suara padanya. Tapi dia tak boleh teralihkan. Masalah utama mereka sekarang adalah ucapan dari Tuan Teddy beberapa menit yang lalu. “Kau tidak boleh seperti itu. Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan ayahmu dulu!” seru Anna balas berteriak. Eden terlonjak kaget saat Anna berseru marah. Keningnya berkerut mencoba memahami situasi saat ini. Jangan bilang kalau gadis di depannya ini setuju dengan pendapat orang tuanya? “Kau setuju dengan rencana ayah?” “Rencana apa?”
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.