Eden tak bisa tidur nyenyak semenjak kejadian itu. Entah mengapa hari-harinya terasa kelam setidaknya sampai ia melihat seorang wanita dengan potongan rambut pendek dari kejauhan.Pria yang mengenakan suit berwarna hitam itu memacu laju mobilnya hingga berada tepat di samping gadis itu. “Astaga!” ucapnya dengan senyum yang mulai merekah. Awalnya ia tidak yakin setelah melihat rambut gadis itu, tapi dia menjadi yakin setelah melihat jelas wajah pemilik rambut dengan potongan yang berani itu.Gadis itu langsung menoleh saat Eden menekan klakson. Namun raut mukanya menunjukkan kalau dia tak suka, bahkan dia buru-buru masuk ke dalam café.“Apa dia masih marah padaku?” gumam Eden pelan. Dia segera menyusul Anna setelah memarkir mobilnya dengan cepat.Eden tak mendapati Anna menduduki meja mana pun. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat Anna berdiri di balik meja kasir. “Kau bekerja di sini?” Eden bertanya berusaha mengendalikan raut wajahnya yang entah kenapa senang setela
Anna masih diam di tempat. Dia mengunci mulut rapat-rapat. Tak ingin menyela percakapan antara seorang ibu dan anaknya. Setidaknya itu sebelum Eden mengatakan kalau dia serius ingin menikahi dirinya. “Apa? Hei, Eden.” Anna spontan memanggil nama Eden. Hal yang dikatakan Eden tak pernah terbersit di benaknya barang sedetik pun. Dia memang masih butuh waktu untuk meyakinkan perasaannya sendiri, tapi keinginan Eden barusan terasa seperti kejut jantung baginya. Nyonya Arini tertawa ringan. Dia tak percaya dengan putranya yang dulu sangat menentang pernikahan, tapi kini malah tergila-gila dengan satu wanita. Dia menatap raut wajah anaknya dengan nanar. “Kau sudah memanfaatkannya untuk kepentinganmu, kau pikir dia akan mau menerimamu?” Nyonya Arini tetap mencari celah. “Aku tidak peduli. Lagi pula dia sudah tahu semuanya. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.” “Bagaimana menurutmu?” Nyonya Arini beralih menatap Anna.
Anna tetap memberi hormat saat dirinya hendak meninggalkan ruangan. Setidaknya hanya itu yang bisa dilakukannya saat itu. Sementara Eden tampak tak peduli dan terus berjalan keluar menarik gadis di belakangnya yang tak membantah barang sedikit pun. Tangan mereka masih berpegangan erat hingga Eden menyadari mereka sudah berjalan cukup jauh dari klinik. “Kau baik-baik saja?” Eden memijat pelipisnya pelan. Walau Anna hanya bisa melihat punggung Eden, tapi dia tahu jika pria itu mungkin saja menangis kini. Anna memperhatikan bahu Eden yang sedikit bergetar. “Eden?” panggilnya lagi dengan lembut. Eden membalikkan badan. Dia tak berani menatap mata Anna. “Maaf aku sudah membuat keributan. Lupakan semua yang aku katakan tadi, aku akan membereskan semuanya,’ tutupnya lagi. Anna mendesah panjang. Bukannya Anna tak percaya, tapi setiap kali Eden bilang akan membereskan semuanya sudah pasti semua itu akan menjadi rumit dan
Anna memegang tengkuknya yang terasa berat dan pegal. Walau terasa cukup lelah, dia masih bersyukur atasannya tidak memecatnya sepihak setelah menghilang hampir setengah hari. Dia berpamitan pada rekan kerjanya setelah menyelesaikan semua pekerjaan tambahan. Termasuk membersihkan peralatan, menyapu hingga mengepel lantai. Bahkan mengeringkan cangkir-cangkir yang baru saja dicucinya. “Aku pulang duluan ya,” ucapnya berpamitan pada rekan kerjanya yang usianya hampir sebaya. Entah mengapa rasa lelah luruh ke lantai setelah mendapati punggung seseorang tepat setelah mendorong pintu café. Sudut bibirnya melengkung otomatis. Dia sudah tahu siapa pemilik punggung itu tanpa harus melihat wajahnya lebih dulu. “Eden?” Pria yang dipanggil namanya menoleh. Sebuah senyuman hangat terukir di wajahnya. “Kau sudah selesai?” tanyanya lembut. “Hei, apa yang kau lakukan di sini?” Tangan Anna dengan cepat menutup pint
Eden mengabaikan pria yang menabraknya tadi dan kembali ke mobil. Mengacuhkan sapaan sarkas yang sungguh ingin dihindari Eden sepanjang hidupnya. “Bagaimana?” Anna bertanya saat Eden sudah kembali dan duduk dibalik kemudi. Dia masih memegang tengkuknya yang terasa sakit. Eden melajukan mobilnya. “Orang iseng.” Dia menjawab singkat. “Kau membiarkannya begitu saja?” Anna mulai marah. Eden bersikap aneh karena dia diam saja tak menjawab. “Mana ada orang iseng sampai segitunya.” Gerak tangan Anna kalah cepat dengan tangan Eden yang segera menahan lengannya yang hendak membuka pintu mobil. “Ada,” jawab Eden singkat. Pandangannya lurus ke depan yang membuat Anna ikut memperbaiki duduknya menghadap ke depan. “Ah, kenapa menahanku? Jelas-jelas dia yang salah, kenapa kita yang harus mengalah?” “Sudahlah. Sebaiknya kita ke rumah sakit.” Anna melepaskan tangan Eden yang semakin terasa kuat. “Tapi..” Eden menginja
Anna berjalan lemas memasuki rumah dengan sebuah kantong di tangan. Dia akhinya menerima pemberian Eden setelah berusaha setengah mati menolaknya. Tapi Eden sama saja dengannya, sama-sama keras kepala. Jadi sia-sia saja jika harus berdebat untuk hal-hal yang tidak akan bisa dimenangkannya. “Kenapa raut wajahmu begitu?” Sherin bertanya dari dapur. Dia tengah menyantap makan malamnya. Sepiring salat yang tersisa setengah di piringnya. Ya. Badannya tidak akan gemuk hanya karena memakan salad di tengah malam. “Kau baru sarapan jam segini?” Anna menoleh seraya terus berjalan ke ruang tengah. Dia menghempaskan badan ke sofa. “Tidak, ini makan siangku sekaligus makan malam.” Sherin menjawab singkat dengan wajah cemberut. Dia tidak selalai itu untuk baru akan sarapan pada pukul sembilan malam. Satu sendok salad baru saja masuk mulutnya. “Kau merasa kenyang hanya dengan makan itu?” Anna menggelengkan kepala pasrah pada temannya itu. S
Eden paham betul apa keinginan Anna sehingga gadis itu tak akan menolak. Eden mengajak Anna ke sebuah bar yang terkenal di kota. Suasananya tenang dan damai. Perpaduan musik klasik dan cahaya temaram semakin menambah sendu suasana di dalam bar. Cocok sekali bagi siapapun yang ingin melepaskan stress di sana. Bebas dari hiruk pikuk atau musik yang memekakkan telinga. Anna mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut bar. Dia langsung suka sama seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu pertama kalinya dia mengungjungi tempat seperti itu.Mereka duduk berdampingan dengan kedua gelas minuman beralkohol sudah tersaji di depan mereka. Tak lupa juga mereka mengambil foto sebelum minum. Tersenyum layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Kemudian mereka memeriksa hasil foto yang baru saja diambil oleh Eden. “Hei! Aku terlihat aneh di sini. Ambil yang benar. Sekali lagi,” pinta Anna. Dia tampak lebih antusias dibandingkan Eden. “Tidak, kau keli
Untuk kedua kalinya Anna dibuat membeku tak mampu berkutik karena jawaban Eden. Namun dia segera menyangkal, menolak untuk percaya. “Hei! Mana ada, ada ada saja, sepertinya kau yang mabuk.” “Aku serius dan aku tidak mabuk.” Eden mengangkat gelasnya yang masih berisi soda. “Eh, atau aku yang mabuk ya,” kata Anna mengalihkan pandangan. Deru nafasnya tak karuan setelah mengetahui bahwa Eden serius. Aliran darahnya seolah berpacu cepat ke jantung. Membuat Anna bisa mendengar detak jantungnya sendiri. “Kau sudah mau pulang?” Eden meraih lengan Anna dengan cepat, menghentikan Anna yang spontan berdiri. “Toilet, aku mau ke toilet sebentar.” Perlahan Eden melepaskan lengan Anna. Membiarkan gadis itu melenggang ke arah kemar mandi. Eden memperhatikan Anna dari belakang. Hampir saja dia berlari secepat kilat saat Anna tak sengaja menabrak kursi di meja sebelah. Anna dengan capat bilang kalau dia baik-baik saja dan mempercep
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil