Aku masih menangis sambil memeluk buku harian milik kak Sarah, ternyata hidupnya yang selama ini terlihat bahagia tidak seperti itu.Kak Sarah selama ini menutupi semua masalahnya.Air mataku seolah tidak mau berhenti, sesedih ini kah hidupmu kak?, Pantas saja kamu memilih meninggalkan dunia ini! ucapku dalam hati.Kepalaku penuh dengan pertanyaan, kenapa bang Dion menikah dengan kak Sarah jika dia tidak mencintainya?. Kenapa Kak Sarah menyuruhku menikah dengan bang Dion? dan siapa perempuan yang dicintai oleh bang Dion?Ingin sekali aku bertanya pada bang Dion, tapi saat aku menemuinya di dalam kamar dia sudah tertidur pulas.Akhirnya aku memilih membereskan pakaian milik Kak Sarah yang akan aku sumbangkan besok."Sarah, maaf!" ucap bang Dion.Lagi-lagi bang Dion mengigau, dia meminta maaf kepada K
Malam sudah sangat larut, bang Dion belum juga pulang, kemana perginya dia?, Apa mungkin dia ke tempat kerjanya, tapi sudah Selarut ini rumah makan miliknya pasti sudah tutup.Dengan mata yang sudah sangat mengantuk aku menunggu di ruang tamu karena bang Dion tidak membawa kunci rumah.Sayup-sayup terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, buru-buru aku membuka pintu dan terkejut dengan apa yang aku lihat. Bang Dion mabuk berat dan dipapah oleh seorang wanita. Wanita itu terkejut melihatku di depan pintu."Astaga!, Bukannya istri mas Dion sudah meninggal?" tanya wanita itu.Aku hanya bisa terdiam menahan marah, jangan-jangan dia adalah wanita yang disebut di buku harian kak Sarah, jangan-jangan dia wanita yang dicintai bang Dion."Mbak siapanya mas Dion ya?, Setau saya istrinya sudah meninggal!" tanya wanita itu.
Bang Dion sangat misterius, kadang dia bersikap cuek dan dingin, terkadang baik dan perhatian, terkadang aku merasa jika dia menyayangiku.Aku harus mencari tahu tentang siapa wanita yang dicintai bang Dion, saat sudah bertemu dengan wanita itu aku akan memohon agar dia mau menikah dengan bang Dion agar bang Dion tidak menyiksa dirinya lagi, bukannya aku peduli padanya, aku kasihan pada anak-anak bagaimana jika mereka tahu kalau ayahnya sering mabuk-mabukan.Tapi bagaimana caranya? aku harus minta bantuan siapa?. Tiba-tiba aku ingat dengan wanita penghibur yang sering mengantar bang Dion pulang. Tapi, aku harus mencarinya kemana?.Aku terus berfikir apa yang harus dilakukan dan meminta bantuan siapa?, Jika kuberi tahu orang lain, orang itu akan tahu kehidupan rumah tanggaku yang tidak seperti kelihatannya, untuk mencari tahu sendirian itu tidak mungkin karena ada si kembar yang harus aku jaga.
Aku masih terus menangis. Bang Dion pasti bohong, dia bicara seperti itu agar aku tidak terus bertanya tentang siapa wanita yang dicintainya dan membuat kak sarah menderita.Buku harian kak sarah. Jawabannya pasti ada di sana. Selama ini aku belum selesai membacanya. Segera aku ke kamar dan langsung membuka pintu lemari, mencari buku bersampul merah marun.Lembar demi lembar aku baca buku bertuliskan tulisan tangan Kak Sarah. Kali ini aku lebih teliti mencari nama perempuan yang dicinta oleh Bang Dion. Mataku tertuju pada sebuah kalimat. Dengan jelas namaku tertera di situ.*Aku tahu mas, kamu selalu mencintai Safira, adikku*Tangisanku kembali pecah. Tubuh lunglai dan langsung ambruk ke lantai. Ingin aku berteriak sekencang-kencangnya melepaskan rasa bersalah ini.Selama ini aku adalah orang yang dicintai oleh Bang Dion dan penyebab Kak
Aku terbangun begitu mendengar suara ayam berkokok. Berada di rumah memang yang paling nyaman setelah beberapa bulan mengurus si kembar. Semalam Haikal mengantarkan aku ke rumah ini. Abah dan umi sedikit bingung karena aku pulang dengan Haikal. Mereka tidak banyak bertanya dan langsung menyuruhku istirahat."Fir, kamu sudah bangun?" tanya ibu sambil mengetuk pintu."Sudah, Umi," jawabku.Pintu kamar terbuka dan Umi langsung masuk ke dalam. Beliau langsung menghampiriku yang sedang duduk di tepi ranjang."Fir, ada apa? Tidak baik seorang istri meninggalkan rumah suaminya karena habis bertengkar."Tangisku kembali tumpah. Aku menceritakan segalanya kepada Umi. Beliau menyuruhku bersabar dan sepertinya Umi sudah tahu hal ini."Sarah pernah bilang tentang ini, tapi Umi pikir itu hanya perasaannya saja. Ternyata ..
Di rumah sendirian membuatku bosan. Umi sedang pergi ke rumah temannya yang mengadakan acara syukuran. Sementara Abah, seperti biasa pergi dengan Haikal mengurus ternaknya. Aku hanya bisa bermalas-malasan saja. Menikmati kesendirian ini.Biasanya jika di rumah Kak Sarah, jam segini mengantar si kembar sekolah dan menunggunya. Aku rindu mereka dan rindu Bang Dion. Ah, kubuang jauh-jauh rasa rindu yang tidak tepat itu. Lebih baik memasak saja untuk Abah. Baru saja beranjak dari kamar terdengar suara orang mengucapkan salam."Assalamualaikum." Suara yang begitu aku rindukan."Waalaikumsalam," ucapku membuka pintu.Dua orang anak berwajah serupa langsung memelukku. Mereka menangis karena aku yang tidak pulang ke rumah. Aku balik memeluknya erat mencoba menenangkan mereka berdua."Tante, ayo pulang," ucap Zayn."Ka
Berdiri di depan pintu kamar rumah sakit. Berusaha setenang mungkin untuk menemui Bang Dion. Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Semoga saja aku bisa menguasai diri melihat kondisi suami yang baru saja mendapat musibah.Kubuka pintu perlahan dan masuk ke dalam. Bang Dion terbaring di atas ranjang dengan Tangan dan dibalut perban. Wajahnya juga banyak luka. Matanya terpejam. Sepertinya dia tidur.Kupandangi wajah yang penuh luka dan lebam. Entah sebenarnya apa yang terjadi hingga dia bisa kecelakaan. Biasanya Bang Dion orang yang sangat hati-hati. Tiba-tiba saja matanya terbuka dan menatapku. Air mata menetes begitu melihatnya. Seperti biasa dia langsung memalingkan wajahnya.Aku memilih duduk di sofa yang di sediakan. Bersyukur karena Bang Dion baik-baik saja. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Perlahan-lahan mataku terpejam karena mengantuk. Suara benda jatuh membuatku terkeju
Dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Hubungan rumah tangga macam apa ini. Kami berusaha mesra hanya di depan anak-anak. Selebihnya tidak ada sepatah katapun yang kami ucapkan satu sama lain. Aku akan mengajukan cerai jika tangan Bang Dion telah sembuh. Untuk sekarang berusaha bertahan sebisanya.Seperti biasa setelah mengantar anak-anak ke sekolah aku pulang dan membantu Bang Dion berganti baju. Tangannya masih belum bisa di gerakkan. Dia selalu menolak semua bantuan, tapi sebagai istri yang baik berusaha membantu sebisanya."Aku bisa sendiri." ucap Bang Dion."Banyak hal yang tidak bisa dilakukan sendiri bang, apalagi dengan tangan yang seperti itu.""Aku tidak butuh bantuanmu, pergilah."Aku tidak menuruti kata-kata Bang Dion barusan. Tetap membantunya memakai baju. Sepertinya dia bosan terus-terusan mengenakan kemeja. Dia memil
Setelah mengucap salam aku langsung masuk ke dalam rumah tidak mencium tangan Bunda seperti biasanya. Beliau yang tengah duduk di teras pasti bingung melihatku. Aku sedang marah padanya. Akhir-akhir ini beliau pilih kasih. Sekarang aku merasa di anak tirikan. Ralat, aku memang anak tiri. Namun, perlakuan bunda membuatku merasa sebagai anak kandung.Masuk ke dalam kamar dan berganti baju. Duduk di pinggir ranjang sambil bermain game di ponsel. Pintu kamar terbuka, aku melirik malas melihat siapa yang masuk."Kamu kenapa, Zyan?" tanya Zyona, kembaranku."Gak apa-apa, lagi bete aja," jawabku asal."Bete sama Bunda?" tanyanya lagi."Hu'um," jawabku yang masih fokus pada game."Alasannya?" tanya Zyona lagi.Aku tidak menjawab pertanyaan Zyona. Aku pun tidak mengerti kenapa marah d
Bunda," ucapku seraya memeluk bunda yang sedang duduk di teras."Kamu itu bukannya salam malah langsung peluk, ada masalah di sekolah?" tanya bunda.Beliau memang begitu mengerti dengan anak-anaknya. Bukan hanya sekedar sebagai seorang ibu, beliau juga adalah sahabatku. Aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Sekalipun aku sembunyikan beliau selalu bisa menebaknya."Bunda, aku tuh sebel banget sama temen di sekolah yang selalu gangguin," rengekku."Bully?" tanya bunda."Bukan, dia tuh kayak caper sama aku," ucapku sambil manyun.Bunda hanya tersenyum dan membelai lembut kepalaku. Beliau selalu melakukan hal itu saat aku sedang marah. Sebenarnya beliau bukan ibu kandungku. Beliau adalah Tante yang artinya adik dari ibu yang melahirkanku. Saat usiaku lima tahun ibuku meninggal dan ayah Menikah dengan Ta
kiri dikit, Yah," ucap Zyona."Kanan, Yah," ucap Zyan."Yang benar yang mana sih kalian ini?" tanya Bang Dion."Itu sudah benar, Bang," ucapku yang sedari tadi melihat mereka.Bang Dion segera turun dari tangga yang sedari tadi aku pegangi. Untung saja si kembar kecil sedang tertidur jadi aku bisa membantu suami memasang foto keluarga kami. Terlihat dalam gambar aku tengah menggendong Abiandra dan Bang Dion menggendong Abisatya. Sementara Zyona dan Zyan berdiri di depan kami. Foto keluarga yang bahagia.Abiandra dan Abisatya, nama bayi kembar kami yang sekarang berusia Sembilan bulan. Bang Dion yang mencarikan nama-nama indah itu.Kupandangi foto keluarga kami yang bersebelahan dengan foto keluarga sebelumnya. Di mana belum ada aku dan si kembar kecil. Di sana hanya ada kak Sarah, Bang Dion, Zyona serta Zyan.
Rumah di dekorasi sedemikian rupa untuk acara pengajian tujuh bulanan kehamilanku. Walaupun baru tujuh bulan, tapi perutku sudah sangat besar. Maklum saja bayi yang aku kandung ada dua orang."Ade bayi, lagi apa?" tanya Zyona mengelus perutku.Bayiku menendang dan itu dirasakan oleh Zyona, Anak itu tertawa girang."Gerak-gerak, Bunda," ucapnya sambil mencium lembut."Zyan, ayo ke sini!" teriaknya begitu melihat saudara kembarnya melintas.Kedua anak berwajah serupa ini memelukku, kepalanya tepat berada di perut. Mereka mendengarkan suara adik-adiknya yang masih berada di rahimku."Ada suaranya?" tanyaku.Zyona dan Zyan hanya senyam-senyum. Sepertinya mereka mendengar suara perutku yang keroncongan karena belum sempat makan. Umi menghampiriku dengan membawa sepiring nasi lengkap den
Melihatmu bahagia, aku juga bahagia, Fir," ucapku melihat wanita cantik yang tengah duduk tidak jauh dari tempatku.Dia hanya tersenyum mendengar apa yang aku ucapkan barusan. Wajahnya pucat, tapi entah kenapa terlihat sangat cantik dan berbeda. Mungkin pengaruh kondisinya sekarang. Dia tengah hamil. Seandainya, ah aku tidak mau berandai-andai. Ini takdir dan harus kujalani. Seperti ucapanku barusan bahagia melihatnya bahagia. Cinta itu tidak harus memiliki."Makasih, Haikal," ucap Safira."Untuk apa?" tanyaku bingung."Untuk semuanya. Kamu sudah membantu banyak hal hingga aku menjadi seperti sekarang.""Tidak, Fir. Itu semua karena kamu menyadari perasaanmu sendiri. Aku merasa kurang ajar saat bicara kalau aku masih mengharapkanmu waktu itu.""Tidak apa, di situ aku mulai sadar akan perasaanku terhadap bang D
Si kembar dan bang Dion terlihat begitu senang karena janinku kembar. Tak sabar rasanya membagi kabar bahagia ini kepada Abah dan Umi. Setelah dari dokter kandungan kami langsung menuju rumah mereka.Sepanjang perjalanan si kembar terus berbicara kalau adik-adik mereka akan diajak bermain sesuai jenis kelamin mereka. Padahal dokter belum bisa menebak jenis kelamin bayi dalam kandunganku."Adik yang cowok akan aku ajak bermain tembak-tembakan," ucap Zyan antusias."Main bola juga," timpal bang Dion."Yang cewek akan aku pakaikan jepitan dan gaun. Terus main putri-putrian," ucap Zyona.Mereka semua berharap bayi ini kembar sepasang seperti Zyan dan Zyona. Tidak memikirkan perasaanku saat ini yang tengah bingung harus bagaimana. Bisakah nanti berbagi kasih sayang dengan ke empat orang anak? Aku takut tidak bisa berbuat adil.
Ditemani Bang Dion untuk kontrol ke dokter. Dia suami siaga yang selalu ada buatku saat di butuhkan. Si kembar juga ternyata siap memiliki adik. Teringat beberapa hari lalu saat aku mengabarkan kehamilan ini kepada mereka.****Gerimis mulai turun, anak-anak bersiap untuk bermain hujan. Sebelum mereka bermain aku sudah memberikan minuman hangat supaya mereka tidak masuk angin. Kami segera berlari ke teras untuk menikmati hujan yang turun membasahi tubuh.Kami berkejaran sambil bercanda. Senangnya melihat anak-anak bahagia. Mobil bang Dion berhenti di garasi. Dia langsung berlari ke arahku. Aku dan si kembar terdiam. Takut bang Dion marah seperti waktu itu. Namun, kenyataannya dia ikut bermain bersama.Setelah setengah jam mandi hujan, kami masuk ke dalam rumah dan membersihkan tubuh serta berganti baju. Aku segera membuatkan minuman hangat untuk kami berempat. Tujuan
Kian hari hubunganku dengan Bang Dion semakin hangat dan romantis. Tak jarang dia pulang dengan seikat bunga di tangannya. Atau membawakan makanan kesukaanku. Rumah tanggaku sekarang seperti pada umumnya. Atau mungkin lebih bahagia daripada pengantin baru.Beberapa bulan sudah berlalu sejak malam pertama kami. Setelah itu banyak malam-malam panjang yang kami habiskan berdua. Memadu cinta dan berbagi kehangatan.******Selepas mengantar si kembar ke sekolah aku kembali pulang, Bang Dion masih belum berangkat ke tempat kerja karena pulang larut semalam. Bukan mabuk-mabukan seperti dulu. Tapi dia rapat di luar kota untuk pembukaan cabang restoran miliknya.Aku segera masuk ke kamar untuk membangunkan Bang Dion karena hari sudah siang. Kupandangi wajah tampan Suamiku itu. Polos sekali dia. Perlahan kuguncang tubuhnya."Bang, bangun!"
Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Aku terlambat bangun karena tidur larut semalam. Tubuhku juga terasa tidak nyaman. Mungkin karena aktivitas yang baru pertama kalinya aku lakukan tadi malam. Kulihat sekeliling tidak tampak Bang Dion. Kemana dia? Kenapa tidak membangunkan aku.Bang Dion keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Kupalingkan wajah darinya yang melihat ke arahku. Canggung rasanya setelah kejadian semalam."Bunda, ayah, kok belum bangun? Ini udah siang!" teriak Zyan dari balik pintu."Iya nih, kami jadi kesiangan juga!" teriak Zyona.Bang Dion menyuruhku untuk mandi dan mengajak anak-anak membuat sarapan. Kuturuti perintah bang Dion sambil menahan rasa tidak nyaman pada bagian bawah tubuhku. Teringat hal semalam membuatku tersipu.Selesai mandi aku menghampiri si