Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan.
“Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung.
“Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka.
“Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.
“Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu.
“Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda.
Benar-benar ajaib! Abyan terpaku memperhatikan mereka. Dalam hati ia merasa heran sekaligus takjub. Kenapa tangisan Airin selalu reda setiap kali Nayla menyentuhnya? Padahal Nayla bukanlah ibu kandungnya. Seolah gadis itu memiliki kekuatan magis yang mampu membuat Airin merasa tenang dan nyaman saat berada di dekatnya.
“Mbok, kamu pergilah makan bersama yang lainnya! Terima kasih karena sudah menjaga Airin,” ucap Nayla kepada wanita setengah baya itu.
“Baik, Non ... eh, Nyonya.”
Mbok Sum hampir saja lupa kalau mulai sekarang Nayla telah menjadi majikan barunya. Wanita yang selalu memakai kebaya tradisional yang dipadukan dengan kain jarik khas Jawa Tengah dan jilbab instan itu pun melenggang keluar.
Sebenarnya Nayla merasa risi saat Mbok Sum memanggilnya ‘nyonya’. Namun kenyataannya, sekarang ia telah menjadi nyonya di istana megah itu. Nyonya Raffasya. Ia juga sudah resmi menjadi ibu sambung bagi Airin.
Drrrttt ... drrrttt ....
Tiba-tiba saja ada bunyi getaran dari ponsel Nayla yang tergeletak di atas meja riasnya. Sontak Nayla menoleh ke arah sumber suara. Begitu juga dengan Abyan. Layar dari benda pipih hitam itu tampak menyala-nyala. Menandakan kalau ada seseorang yang sedang menelepon.
Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Bibirnya pun sedikit ternganga. Ia benar-benar takut kalau seseorang yang meneleponnya itu adalah Revan.
“Angkat saja, Nay! Biar aku yang gendong Airin,” seru Abyan. Pria itu pun mendekat dan hendak mengambil Airin dari tangan Nayla. Namun, Nayla langsung mencegahnya.
“Enggak usah, Mas. Mas Abyan pergilah makan bersama yang lain. Biar aku yang jagain Airin di sini,” ucap Nayla dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu.
“Oh. Baiklah.” Abyan pun menurut. Ia memutar badan dan melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun, sebelum keluar, sekilas ia melirik ke arah ponsel Nayla yang masih bergetar dan menyala-nyala. Sepertinya ada seseorang yang ingin sekali berbicara dengan gadis itu.
Setelah Abyan pergi, Nayla segera menyambar ponselnya dan melihat ke layar. Ternyata memang benar, Revanlah yang sedang berusaha meneleponnya. Nayla tidak menyangka kalau laki-laki itu berani menghubunginya. Karena selama ini ia melarang keras Revan untuk meneleponnya duluan. Ia takut hubungan mereka akan terendus oleh kedua orang tuanya.
Nayla bergegas menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya dari dalam. Mumpung semua orang sedang menikmati jamuan makan siang, ia harus memanfaatkan kesempatan itu untuk menjawab panggilan Revan.
Nayla menjatuhkan tubuhnya duduk di bibir ranjang. Ia meletakkan Airin di atas pangkuannya, lantas menjawab panggilan itu.
“Halo, Sayang.” Suara bariton Revan menyapa gendang telinga Nayla sebaik saja panggilan tersambung.
Kelopak mata Nayla mulai berkabut. Betapa ia sangat merindukan pemilik dari suara itu. Sudah lebih dari dua tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh karena Revan harus menempuh S2-nya di Harvard University untuk meraih gelar masternya di bidang arsitektur. Sekarang pria berusia dua puluh lima tahun itu sudah berhasil menempati posisi sebagai junior desainer di perusahaan arsitektur terkemuka, Development Design Group (DDG), Amerika Serikat. Sebuah perusahaan yang menjadi impian semua arsitek dunia untuk bekerja di sana.
“Sayang, kenapa kamu diam saja?” tanya Revan karena Nayla tidak menyahut. “Aku kangen banget sama kamu. Aku ingin mendengar suaramu. Kenapa kamu enggak pernah meneleponku?”
“I-iya, Van. Aku ... aku juga kangen sama kamu,” sahut Nayla terbata. Ada bulir bening yang tiba-tiba lolos dan jatuh ke pipinya.
“Kamu kenapa? Suaramu terdengar seperti sedang menangis?” tanya Revan dengan dahi berkerut. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak.
“Revan, aku ... aku ....” Lidah Nayla tiba-tiba kelu. Suaranya tersekat di kerongkongan. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kalau dia sudah menikah dengan pria lain. Dia takut Revan akan kecewa dan terluka.
“Sebenarnya ada apa? Katakan, Nay!” desak Revan. Ia semakin penasaran. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya itu.
“Maaf, Van. Aku ....” Butiran kristal bening kembali jatuh membasahi kedua pipi Nayla. Ia benar-benar tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
“Oeeekkk ... oeeekkk ....”
Tiba-tiba Airin menangis dengan kencang. Nayla pun buru-buru memutus sambungan telepon dan melempar benda pipih hitam itu ke ranjang. Kemudian ia berdiri menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.
Tak lama kemudian, ponsel itu pun kembali bergetar dan menyala-nyala. Menandakan kalau Revan berusaha meneleponnya kembali. Nayla semakin panik. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup keras dari balik pintu kamarnya.
Nayla tersentak kaget. Sontak gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Ia menyeka air matanya dengan jemari dan segera menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal.
“Nayla, kamu sedang apa di dalam?”
Ternyata Bu Saida yang berada di balik pintu. Nayla pun bergegas membukanya.
“Ada apa, Bu?” tanya Nayla sebaik saja pintu terkuak.
Wanita paruh baya itu merasa heran saat melihat kelopak mata putrinya yang sembab.
“Kamu kenapa, Nay? Apa kamu ingat sama embakmu?”
“Em ... iya, Bu. Nayla ingat Mbak Aleya. Nayla ingin sekali mengunjungi makamnya.”
“Nanti sore kita sama-sama ke sana. Ibu juga ingin menziarahi makam Aleya sebelum pulang ke Jogja. Sekarang kamu pergilah makan! Biar Ibu yang gendong Airin.” Bu Saida pun mengambil cucunya dari tangan Nayla dengan hati-hati.
“Nanti saja Nayla makannya, Bu. Nayla mau ganti baju dulu. Apa Ibu bisa panggilkan mbak penata riasnya?”
“Baiklah. Biar Ibu panggilkan.” Bu Saida pun kembali ke ruang tamu sambil menggendong Airin.
Begitu ibunya pergi, Nayla bergegas mengambil ponselnya kembali. Pasti saat ini Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Nayla sangat merasa bersalah karena membuat laki-laki itu penasaran dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan
Karena tidak mengantar Airin ke sekolah, pagi itu Nayla bisa mengawali rutinitasnya untuk bersih-bersih rumah. Biasanya ia akan membersihkan semua kamar yang ada di lantai dua. Sementara Mbok Sum dan Pak Mahmud diberi jatah untuk membersihkan lantai bawah dan halaman. Usai membersihkan kamarnya dan kamar Airin, Nayla pun memasuki kamar Abyan yang memang tidak pernah dikunci. Di tangannya sudah ada sapu ijuk dan kemoceng yang siap digunakan untuk bersih-bersih. Sudah tiga tahun berlalu. Namun, tidak ada yang berubah di kamar itu. Semuanya masih sama. Foto pernikahan Abyan dan Aleya masih tergantung manis di dinding. Sementara foto pernikahannya hanya teronggok di gudang. Terlupakan dan terabaikan. Nayla selalu berpikir, apa ia begitu tidak berarti di mata suaminya? Apa janji suci yang pernah Abyan ucapkan di hadapan penghulu itu tidak ada artinya? Mata Nayla mulai terasa panas. Namun, ia berusaha keras untuk menahan bulir bening itu agar tidak jatuh ke pipi. S
Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik. Abyan menghela napas lega. Hatinya diliputi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Karena pada akhirnya, Nayla lebih memilih dirinya daripada Revan. Walaupun Nayla tidak mengatakan apa-apa, tetapi Abyan tahu kalau sebenarnya wanita itu sangat mencintainya. Setelah Revan pergi, Nayla menggendong Airin dan membawanya naik ke lantai atas untuk menidurkannya. “Mama, Om yang tadi itu siapa, Ma? Apa dia orang jahat yang udah bikin Mama nangis?” tanya Airin dengan polosnya. “Bukan, Sayang. Om tadi enggak jahat. Dia baik hati seperti malaikat,” sahut Nayla sambil berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. “Terus, kenapa Mama nangis?” “Karena Mama sayang sekali sama Airin.” Nayla pun mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan putrinya. “Airin juga sayang sama Mama.” Gadis kecil itu pun memeluk leher ibunya dengan manja. “Makasih, Sayang. Sekarang kita bobok ya. Airin mau dibacain dongeng ap
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hati Nayla semakin dirundung resah dan gelisah, karena sampai sekarang Revan tidak mau menjawab teleponnya maupun membalas pesannya. Nayla takut kalau laki-laki itu akan nekat datang ke rumah dan membongkar semuanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abyan kalau mengetahui soal hubungan mereka.Tok tok tok!Nayla tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Airin. Ia pun menoleh ke arah pintu yang kebetulan sedang terbuka lebar.“Ada apa, Mbok?” tanya Nayla saat melihat sosok Mbok Sum berdiri di ambang pintu.“Anu, Nyah. Nyonya disuruh turun sama Tuan. Katanya ada tamu.”Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Jangan-jangan tamu yang Mbok Sum maksud adalah Revan.“Siapa Mbok tamunya? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nayla ingin memastikan.“Laki-laki, Nyah. Masih muda.”Tidak salah lagi.
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund
Deg! Jantung Nayla kembali berdesir. Matanya terbelalak seketika. Ia sontak menghentikan langkahnya dan memutar badan.Dilihatnya kelopak mata Abyan masih tertutup sempurna. Dengkuran halus pun masih terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Nayla menghela napas lega. Rupanya pria itu baru saja mengigau seperti yang biasa dilakukannya.Tapi tunggu dulu! Apa dia tadi menyebut namaku? Bukan nama Mbak Aleya? Atau aku yang salah dengar?Nayla tampak berpikir. Karena penasaran, ia pun berjalan mendekati Abyan. Berharap agar pria itu mengigau sekali lagi untuk memastikan nama siapa yang disebutnya.Dari jarak yang sangat dekat, diam-diam Nayla memperhatikan wajah suaminya yang sedang terlelap. Sepasang alis hitam nan tebal bertengger rapi di atas kedua matanya yang terpejam, hidung yang super mancung bak artis India, rahang yang kuat nan tegas, serta jambang dan kumis tipis yang tumbuh di sekitar bibir, membuat pria itu terkesan macho dan berwibawa. Sungguh
“Baru saja benih-benih kebahagiaan itu tumbuh dan bersemi kembali dalam dada. Namun, begitu menapakkan kaki di rumah, kenyataan seolah menamparku dan membuatku sadar ... bahwa aku adalah seorang ibu. Bahwa aku adalah wanita yang masih terikat.”-Nayla Arinza-***Nayla bergegas menyeberangi jalan raya saat lampu lalu lintas menyala merah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah cepat menuju Resto Ayam Kampung milik kedua orang tuanya. Rasa lapar mulai menggelitik perutnya. Nasi gudeg buatan ibunya pun sudah terbayang di pelupuk mata. Betapa ia ingin segera menyantapnya.“Assalamu’alaikum,” ucap wanita itu begitu menginjakkan kaki di restoran. Senyuman indah terulas di bibirnya yang bergincu merah muda. Memancarkan aura kebahagiaan, layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta.“Wa’alaikumussalam.” Semua orang yang ada di dalam pun menjawab salamnya dan menoleh ke arah pintu masuk.
“Hadirmu laksana air hujan yang jatuh di atas tanah kering. Menghapuskan dahaga dan memberiku kesejukan ....”-Nayla Arinza-***Akhirnya setelah sekian purnama, aku bisa merasakan kembali hangatnya pelukanmu, Van. Pelukan yang nyaman dan amat menenangkan.Dengan ragu Nayla mengangkat kedua belah tangannya, lantas melingkarkannya ke pinggang Revan. Laki-laki yang hingga detik ini masih sangat ia cintai dengan segenap jiwa.Revan pun mendaratkan kecupan lembutnya di kening Nayla. Ia tidak peduli kalau wanita dalam dekapannya itu masih berstatus milik orang lain. Perasaan yang bergemuruh di dalam dada, mampu mengalahkan segalanya.Lima menit berlalu. Tangis Nayla pun mulai mereda. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Revan, lalu mendongakkan kepala. Menatap raut tampan yang terpampang di depan mata. Begitu pula dengan Revan. Manik gelapnya menyapu setiap inci wajah cantik di hadapannya.Ketika sepasang netra saling bertauta