"Udah H-2 aja. Kalian udah pada ambil keputusan belum?" Tanya Ikbal."Jujur gue masih bingung," Kata Sean sembari menghembuskan asap rokok yang barusan dihirupnya.Kelima pria itu duduk santai di rooftop penginapan yang sebelumnya disinggung oleh Nadya setelah gadis itu melakukan tour singkat. Benar saja, pemandangan dari atas sangatlah indah. Rooftopnya pun di hias khusus untuk tempat bersantai. "Gue kira lo cuman suka sama Kanaya," Sahut Adam.Sean lalu menggeleng, "Akhir-akhir ini, Kesha lucu juga," Pria itu menatap langit sambil tersenyum malu. Seolah di atas sana terpampang wajah Kesha yang lugu. Membuat para bujangan lainnya meringis geli."Lo cringe kalau lagi bucin," Ejek Ezra."Harusnya lo bersyukur, Za. Saingan lo berkurang," Sahut Ikbal."Kalau lo sendiri gimana, Bal?" Tanya Bagas."Hm, susah nih. Kayaknya dia suka sama lo, Bang," Keluh Ikbal."Nina?" Celetuk Sean."Nadya." Ikbal menyeruput kopinya lalu berujar, "Dia nggak pernah anggap gue lebih dari teman. Kasihan banget
"Jadi, gimana?" Tanya Chelsea."Aku nggak nyangka dia akan jawab kayak gitu. Aku bingung harus senang atau sedih. Tapi setelah selesai, aku langsung nangis sesegukan. Entahlah, aku merasa harga diriku terluka. Aku merasa cuman dianggap objek sama dia," Nina berterus terang.Nina adalah orang yang mengajak Adam bicara di ruang rahasia. Hal ini karena Nina merasa masih ragu dengan perasaan Adam yang sering berubah-ubah. Kata-katanya manis kepada Nina, tapi tindakannya menunjukkan ketertarikan juga dengan Chelsea. Baru akhir-akhir ini lah Adam menunjukkan sepenuhnya perasaan hanya kepada Nina. Tapi tetap saja Nina masih meragu.Nina takut Adam mudah terbuai. Kalau pun mereka nanti jadian, tidak menutup kemungkinan kesempatan Adam berselingkuh lebih besar. Jadi Nina ingin memastikan sesuatu.Dan jawaban Adam membuatnya tidak puas.Nina merasa diremehkan. Adam menganggap Nina sebagai sebuah objek. Itu bukan cinta...menurutnya. Adam hanya ingin memuaskan ego dan harga dirinya. Adam mungkin
DAY 29Pagi-pagi sekali Bagas telah menemui Nina di kamarnya. Ketika ia menerobos masuk setelah mendapat izin dari Kanaya, ia melihat gadisnya sedang tergeletak mengenaskan di atas kasur. Posisi kepala di bawah dengan kaki yang menjulang ke tepi dinding. Rambut acak-acakan dan mulut yang menganga lebar. Celana motif beruang dan kaos oblong bertuliskan 'I Love Jogja'Kurang cantik apa wanita ini?"Maaf ya, Gas. Nina kondisinya lagi nggak bener," Kata Kanaya sungkan. Sebetulnya ia merasa tak enak membiarkan aib Nina tersebar. Tapi, Bagas bersikeras masuk ke kamar mereka untuk bertemu sang pujaan hati, sebelum pesaing lebih dulu menemui.Bibir Bagas berkedut kecil. Ia tidak merasa ilfeel, malah menurutnya Nina sangat lucu dan apa adanya. Benar kata orang-orang, cinta bisa membuat sang empunya buta. "Nggak apa-apa. Boleh saya bangunin?" Tanya Bagas yang dibalas anggukan oleh Kanaya.Bagas duduk di lantai dengan kepala menghadap badan kasur, tempat kepala Nina bersemayam dengan posisi ter
"Mas, dapet pesannya nggak?""Iya, Nin.""Kesana sekarang?" Tanya Nina yang diangguki oleh Bagas. Keduanya memasuki mobil lalu menuju ke tempat tujuan yang dikirim melalui pesan oleh staf. Sepertinya orang-orang telah berkumpul disana. Nina merasa deg-degan, kejutan apalagi yang akan ia dapat hari ini."Ngomong-ngomong, Mas kenapa tiba-tiba ngajak jalan hari ini? Padahal, biasanya Mas selalu buat janji dulu sama aku," Nina membuka suara."Habisnya, Adam tadi malam mau ajak kamu jalan. Jadi sebelum dia duluan datang, aku subuh-subuh udah siap," Jawab Bagas."Tapi, aku kan udah nolak dia," Kata Nina."Terus emangnya kenapa? Kamu nggak mau jalan sama aku?""Ck, bukan gitu," Sanggah Nina, "Masalahnya aib aku udah ketahuan sama kamu. Tidur kaya kera lagi gelantungan di pohon. Nggak ada anggun-anggunnya.""Mana ada orang tidur kayak Princess Snow White? Nanti deh kalau kita udah nikah. Kamu bakalan tahu gaya tidur aku kayak gimana. Mirip kapal tebalik," Sahut Bagas."Kapal tebalik gimana k
Bagas merasa terganggu sejak tadi. Hal ini karena dirinya penasaran tentang pembicaraan rahasia Nina dan Adam di mobil. Apalagi saat membicarakan hal itu, Adam terlihat tak gentar walaupun Nina telah memberikan tanda penolakan secara perlahan.Setidaknya didepan Bagas.Sejujurnya, pria itu pun tak tahu, saat di belakangnya, bagaimana interaksi Adam dan Nina. Apakah gadis itu juga menolak Adam secara terang-terangan? Atau justru malah bermesraan bersama?Ia harus bersabar, sekarang giliran Kanaya untuk bertanya."Nadya, dari semua laki-laki disini. Sebutkan orang yang paling kamu suka sampai ke orang yang nggak kamu suka.""Hm, pertama pastinya Mas Bagas ya," Jawab Nadya. Nina yang awalnya bersandar langsung menegakkan badan. Tanpa sadar menggigiti jari jemarinya sebagai tanda gelisah. Meskipun Bagas tidak terlihat tertarik dengan Nadya, siapa yang akan tahu saat hari terakhir esok ia bisa membolak balik hati seorang Bagas dengan satu jentikan jari."Lalu kedua mungkin Sean, ketiga Ik
D-DAYKepalan tangannya semakin erat kala melihat Bagas bersenda gurau dengan Nadya. Selayaknya pasutri yang memiliki dunia. Seolah yang lain hanya menumpang lewat. Bagas terhitung sudah tiga kali mengabaikannya. Pertama saat berselisih di lorong kamar, di dapur, lalu di ruang santai. Entah apa yang dilihat keduanya di layar ponsel. Bahkan saat Kanaya telah memanggil keduanya untuk sarapan bersama pun terabaikan. Nina hanya diam, sambil menscroll ponselnya ke atas dan ke bawah secara teratur seperti orang kurang kerjaan. Tanpa ada yang tahu, seluruh inderanya menjadi tajam untuk mendengar dan melihat apa yang dilakukan Nadya dan Bagas.Nadya berbisik kepada Bagas sembari tangannya yang bergelayut manja pada lengan pria itu lalu beranjak dari duduknya sambil mengedipkan mata. Bagas menyunggingkan senyum tipis, lalu mengikuti Nadya menuju lorong-lorong kamar."Stts! Kemana tuh?" Bisik Ikbal. Lalu dengan santai duduk di sebelah Nina sambil tangan kirinya menyender pada punggung gadis it
'Brak!' "Kambing!" "Kamu kenapa sih cuekin aku dari semenjak games tadi malam? Kalau aku punya salah aku minta maaf. Tapi kasih tahu dong letak kesalahanku dimana, jangan main kabur-kaburan begini. Aku kan bukan cenayang!" Nina berusaha mengatur napasnya yang tersengal pun dengan Bagas yang masih mengatur detak jantungnya akibat kebar-baran Nina saat membuka pintu. "Sabar. Kita selesaikan secara kekeluargaan." "Aku udah sabar tapi kamunya nggak peka. Pakai sok-sokan nempel sama Nadya. Padahal sehari sebelumnya baru aja gombalin aku. Kamu mau cosplay jadi Mas Adam kah?!" Jawab Nina dengan menggebu. "Pfft! Bhahahahahhaa!" Kening gadis itu mengernyit bingung, "Kok ketawa? Kesurupan?" Kedua tangannya terlipat depan dada sambil tubuh bersandar pada daun pintu. Bagas yang masih menyisakan tawa kecil pun menuntun Nina masuk dan menutup pintu kamarnya. "Habisnya muka kamu lucu banget kalau lagi marah." "Oh, yaudah berarti kamu mau aku marah setiap hari?" Nadanya malah semakin naik.
Lelucon macam apa ini?Ada Bagas tengah berdiri di atas jalan bebatuan yang menuju bibir pantai. Ketika mobil memasuki jalan bebatuan, ekspresi Bagas langsung berubah tegang. Nina merasa tidak nyaman. Jadi ia harus menjadi orang yang memilih?Perasaannya semakin kalut. Bagaimana caranya memilih satu pria lalu setelahnya menolak pria lain? Nina akan terlihat sangat kejam."Nina..." Panggil Adam. Sementara Nina hanya diam sambil memainkan jemarinya dengan gelisah."Sebelum kamu mungkin...akan keluar dari mobil ini. Aku mau ngomong sesuatu," Adam menarik napasnya dalam-dalam, kegundahannya--tidak berhasil tertutupi dengan baik, "Maaf, karena selama ini aku mempermainkan hati kamu, maaf udah bikin kamu kesal, sedih, dan kecewa. Maaf juga atas perasaanku yang sempat berubah. Aku suka sama kamu. Perasaanku mungkin belum terlalu dalam, karena itu aku ingin lebih mengenal kamu, aku mau tahu lebih dalam tentang kamu dan semua hal tentang kamu. Aku yakin bisa bikin kamu bahagia. Kalau kamu pil
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila