'Para pria silahkan ambil kertas undi dari bowl yang berisikan nama-nama para wanita. Kalian silahkan memilihkan pasangan kencan untuk mereka.'"Gue duluan ya," Sesuai kesepakatan, Ikbal lebih dulu mengambil undian. Diikuti oleh Sean, lalu Ezra, dan terakhir Adam. Pastinya mereka semua sudah merencanakan banyak hal selama di Bali kemungkinan terburuknya adalah pergi bersama orang yang tidak diinginkan."Wow," Ikbal melebarkan kertas dan terpampanglah nama Nina. Mampus, ia sudah tidak berharap apa-apa lagi. Badannya semakin lemas pada sofa. Ikbal sengaja menggodanya. Seolah mati dan hidup Nina berada di tangan pria itu. Sean mendapatkan nama Kanaya, Ezra mengambil nama Kesha, lalu Bagas mengambil nama Chelsea dan terakhir Adam mengambil nama Nadya.Waktunya bagi para pria memilih. Kali ini bukan dengan mengirim pesan, tapi mereka langsung mengatakan dengan lantang di depan semua orang."Karena udah semuanya ngambil, gimana kalau kita mulai milih siapa yang jadi pasangan kalian?" Tany
"Melukis?" Tanya Nina. Ia tak menyangka Bagas akan mengajaknya melukis. Ia pikir mereka akan pergi snorkling seperti permintaan Bagas kemarin. Makanya Nina memakai celana santai. Tapi, melukis juga menyenangkan. Hm, sudah berapa lama ya dia tidak melukis lagi? Bagas dan Nina ditinggalkan berdua. Studio lukis ini sepi. Nina jadi lebih percaya diri melukis apapun yang ia mau. Keduanya duduk berseberangan. Nina ingin melukis wajah Bagas. Pasti jika menjadi karakter kartun, Bagas tidak kalah tampan. "Kamu lukis apa?" Tanya Bagas. Nina tidak mau ketahuan. Ia ingin membuat sebuah kejutan, "Ada deh." "Saya nggak akan nyontek," Kata Bagas. Matanya sedikit mengintip ke sketsa yang Nina buat. Nina memang terlahir sebagai seorang seniman. Bahkan dari jauh, goresan pensilnya terlihat bagus. "Nanti aku kasih tahu kalau udah selesai," Jawab Nina. "Kamu nggak nanyain saya bikin apa?" Tanya Bagas. Namun, Nina sudah terlalu fokus dengan canvas di depannya. Bagas meletakkan kuasnya lalu memand
DAY 25Nina duduk bersama Ikbal, Sean, dan Kanaya untuk menikmati sarapan kecil. Sementara Chelsea sedang berenang di kolam renang. Jus jeruk memang paling segar diminum pagi hari. Wajah semua orang terlihat lebih cerah semenjak sampai di Bali. Seakan mereka sudah tidak peduli lagi dengan keputusan akhir yang akan terlaksana 5 hari lagi. Yang penting mereka bisa menikmati liburan di Bali sepuasnya dengan gratis."Nggak kerasa waktu kita tinggal sedikit. Gue pasti bakalan kangen banget sama kalian," Kata Ikbal mendadak melankolis."Mulai deh, kita kan masih bisa hangout sesekali. Kaya pada tinggal di ujung dunia aja," Sahut Kanaya."Tapi kan beda suasananya. Meskipun kalian nyebelin, tapi kalian udah kayak keluarga buat gue. Gue kan anak yatim, tunggal lagi, tinggal sendiri doang di rumah. Gue pasti kangen suasana tinggal sama kalian," Kata Ikbal.Hm, Nina juga pasti akan merindukan mereka. Awalnya memang berat sih, untuk Nina yang seumur hidupnya bergantung dengan orang tua, mendadak
Chelsea ingat bagaimana Adam dulu memperlakukannya dengan sangat baik di awal. Saat itu, Chelsea merasa diperlakukan layaknya ratu. Awalnya tertarik pada Ezra, ia langsung jatuh hati saat itu juga dengan Adam.Kalimat-kalimat manis yang dilontarkan pria itu juga ikut andil. Kala Chelsea bertanya siapa yang pria itu sukai, ia bilang saat itu...."Saya lebih suka sama kamu. Kencan hari ini paling berarti buat saya."Siapa yang tidak luluh mendengarnya?Ah, tapi ternyata perjalanannya tidak semulus itu. Mulus di awal, tapi sekarang, semenjak kedatangan Bagas, Adam benar-benar mengabaikannya. Melepeh seperti sampah. Karena rasa cemburu.Chelsea sadar, sejak awal, Adam tidak punya perasaan seperti itu. Adam hanya merasa Chelsea membayar ekspetasinya persis seperti gadis impiannya. Karena itu lah Chelsea memanfaatkan itu, dengan menambahkan bumbu-bumbu manis agar Adam berpikir Nina tidak pantas bersanding dengannya meskipun pria itu menyukainya.Chelsea tidak mampu menahan amarah kepada Bag
DAY 26"Street food? Tiba-tiba?""Ah, udah dari kemarin mau ajak tapi belum ada kesempatan. Hari ini kamu ada kesibukan?" Tanya Adam."Aku..." Bagas melewati keduanya begitu saja lalu turun dan menghilang dari tangga. Tanpa sikap jahil seperti biasa, barang sekedar menyapa pun tidak. Sikapnya mendingin sejak kemarin. Nina ingin sekali berpikir positif. Tidak mungkin Bagas cemburu hanya masalah baju. Tapi...yah, apalagi yang bisa membuat Bagas bersikap demikian? Nina tidak merasa melakukan kesalahan apapun selain itu. Nina juga tidak sempat memberikan penjelasan. Bagas menghindarinya, sulit sekali mencari waktu berduaan dengan pria itu. Belum lagi Adam yang mendadak selalu mendekatinya terus. "Jadi?" Adam menyadarkan lamunan Nina. Kalau Nina berbohong ia sibuk hari ini, pasti ketahuan. Adam pasti akan sadar Nina di penginapan seharian."Ah, oke. Aku ganti baju dulu."****"Wah, enak laklaknya," Nina terus memakan tanpa henti. Tapi perutnya sudah terasa kenyang. Padahal belum setenga
DAY 27Nina merasa mengantuk. Tadi malam, setelah pulang ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Adam. Walaupun sudah berusaha terlihat biasa saja saat kencan, tidak bisa dipungkiri bahwa Nina merasa sepercik debaran yang muncul kembali. Adam kembali seperti saat awal mereka saling mengenal. Belum lagi pria itu juga telah mendeklarasikan akan mengejarnya sampai akhir. Ini lah kenapa Nina tidak ingin terburu-buru memberi Bagas kepastian. Ia takut akan menyakitinya, buktinya sekarang Nina malah terbuai setelah jalan satu hari dengan Adam. Meskipun, Nina lebih condong ke Bagas, tapi merasa terbuai dengan kehadiran Adam pun juga berbahaya.Nina belum berbicara lagi dengan Bagas. Biasanya pria itu akan datang lebih dulu. Tapi, hari ini Bagas hanya diam seakan menunggu. Nina kebingungan sebab tidak terbiasa mendatangi Bagas lebih dulu. Yah, apa boleh buat. Keputusan tinggal 3 hari lagi. Ia harus bergegas memantapkan hatinya.Setelah selesai mandi, Nina memutuskan untuk mendatangi kam
"Mana mungkin saya marah sama kamu," Kata Bagas.Alah! Dalam hati Nina berseru. Sudah jelas kalau Bagas sendiri mengacuhkannya kemarin seharian. Nina ingin sekali bersuara seperti itu, tapi diurungkannya. Ia hendak melihat sejauh mana Bagas akan menghindar dari cercaannya. Lagipula, Nina tidak bisa tenang kalau Bagas terus bersikap demikian. Meskipun, Bagas sudah mulai melunak, tetap saja masalah kemarin tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja."Tapi, Mas Bagas nyuekin aku setelah pulang dari pantai. Terus nggak ada lagi negur kaya biasanya. Kayak bukan Mas Bagas yang aku kenal," Sanggah Nina.Bagas lalu menghela napas, "Hm, gimana ya jelasin ya?" Bagas menggaruk-garuk kepalanya.Lalu ia mengusap jambang tipisnya, "Saya cuman...perlu waktu menenangkan diri.""Menenangkan diri? Kamu marah?""Nggak sih," Gumam Bagas. Lalu kembali berujar, "Jujur, saya cemburu pas kamu pilih pakai bajunya Adam daripada saya. Dari situ saya mikir, apa jangan-jangan kamu sebenarnya masih sesuka itu sama
DAY 28'Silahkan masuk ke dalam ruangan kejujuran dan bicara lah sepuasnya dengan orang yang kamu mau. Obrolan ini bersifat anonim. Suara akan disamarkan.'"Halo?" Adam menyapa. Seseorang yang tidak ia ketahui siapa, meminta obrolan empat mata dengannya. Ia bisa mendengar bunyi gemerisik terdengar dari ruangan sebelah. Staf benar-benar detail, ia bahkan bisa mencium aroma pengharum ruangan yang sangat menyengat sehingga ia tidak bisa menerka siapa lawan bicaranya."Hai," Sapa orang itu. Lalu ia tertawa kecil dan bergumam, "Astaga, suaranya jadi lucu banget ya."Adam mengernyit pelan, "Jadi...kamu mau ngomong apa sama saya?"Sang lawan bicara lalu terdiam sejenak. Sepertinya sedang memikirkan pertanyaan yang akan dilontarkannya kepada Adam."Dari skala 1-10, seberapa suka kamu sama Nina?"Adam sontak menyeringai. To the point, eh? Sepertinya ia tahu dengan siapa ia bicara. Kebetulan, orang ini juga adalah orang yang ia tulis namanya untuk diajak bicara empat mata."10," Jawab Adam. Sen
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila