"Anjing!" Adam memukul kemudi berkali-kali. Di belakang kursi sudah ada berbagai kamera yang hancur berantakan. Sehingga tak ada sekalipun staf yang tahu, bagaimana kemarahan seorang Adam Prakarsa sebenarnya. Adam merasa harga dirinya terluka. Nina, memilih Bagas dengan lantang bahkan tanpa berpikir panjang didepan semua orang. Sepele, tapi Adam anggap sebagai sebuah peringatan bahwa Nina tidak lagi tergila-gila padanya, perasaannya mulai berubah. Bukan lagi sekedar terbawa suasana, Nina hampir menyerahkan separuh hatinya pada Bagas. Ini pertama kalinya Adam merasa frustasi masalah cinta. Perasaannya benar-benar campur aduk selama tinggal di asrama. Biasanya ia tidak akan peduli akan hal-hal seperti ini. Tapi, Adam rasanya hampir gila. Gila karena ditampar kenyataan bahwa Bagas dalam kurun waktu sepekan sudah berhasil mengubah haluan seorang Nina. Adam mencintai pekerjaannya, lebih dari apapun. Tapi untuk pertama kalinya ia tidak bersemangat datang ke kantor. Bahkan ia sampai meluap
DAY 23'Ayo bergegas! Kalian akan liburan ke Bali selama 7 hari. Tentukan dengan siapa kamu mau melakukan perjalanan yang menyenangkan ini! Buat kamu yang nggak dapat pasangan, harus berangkat bareng dengan yang tidak punya pasangan juga secara berkelompok. Have fun!'"Yuhuu!!!""Asik, Bali coyy!""Wah, liburan gratis? Beneran full dibiayain ini?""Jangan lupa bikininya girls!" Adam, Ezra, dan Bagas sontak melotot pada celetukan Nadya. Lalu ketiganya memandang para gadis dengan tajam, memperingatkan agar tidak menggunakan pakaian tidak senonoh itu selama di Bali.Sementara Ikbal dan Sean kegirangan. Kapan lagi disuguhkan pemandangan indah secara gratis dan legal."Awas aja kalau kamu pakai bikini. Saya blender jadi jus alpukat," Peringat Bagas."Saya bakalan kurung kamu beneran kalau sampai itu terjadi," Adam menimpali."Serem amat sih kalian berdua. Lagian aku juga nggak punya bikini. Biasanya kalau renang juga pakai legging sama kaos oblong," Sahut Nina."Ka, aku nggak akan blender
Makanan yang awalnya tersaji dan menggugah selera kini terasa tak menarik lagi. Para pria berfokus pada gawainya untuk memilih orang yang diinginkan untuk pergi bersama ke Bali. Sedangkan para perempuan menunggu sambil mengobrol santai meskipun diam-diam ingin sekali melirik ke sebelah untuk melihat siapa yang mereka pilih."Aku nggak pernah ke Bali," Ujar Kesha."Serius? Nanti deh gue jadi tour guide lo. Bali itu rumah kedua gue," Kata Nadya."Pantesan kulit lo gelap ya, Kak. Sering tanning disana?""Yeuuu, emang udah gennya gue begini. Masa gue gelapin badan mesti ke Bali dulu. Nggak ada duit shayyy," Balas Nadya."Done," Kata Ikbal. Menutup gawainya diikuti oleh para pria lainnya."Yaudah, makan aja yuk," Ajak Kanaya."Eh, nggak mau nunggu dulu? Gue penasaran banget nih," Kata Nadya."Sambil makan aja. Cacing peliharaan gue kelaperan nih," Nina memegang perut rampingnya.Mereka pun makan sambil berbincang biasa. Hari ini tidak ada yang ingin memasak sehingga mereka memesan banyak s
"Kamu nggak siap-siap?"Rame banget di kamar. Mana ada Mas Bagas. Males aku," Kata Chelsea."Ngapain Bagas di kamar kalian?" Tanya Adam. Ada sedikit anda tak suka disana."Biasalah, ngapel Nina. Kamu nggak kesana juga?" Tanya Chelsea."Nggak lah. Lagi nggak mood.""Baru ditolak sekali udah cemberut aja," Cibir Chelsea."Dua kali," Ralat Adam."Iya itu.""Aku kan mau pergi sama kamu. Yaudah aku lebih fokus aja ke kamu," Kata Adam. Lalu menghisap rokoknya."Dan Nadya.""Anggap aja dia obat nyamuk," Celetuk Adam membuat Chelsea terkikik geli. Kepalanya lalu bersandar pada bahu Adam. Seperti biasa pria itu tidak menolak, Adam juga menikmati sikap manja yang Chelsea tunjukkan. tangan kirinya lalu mengusap pipi Chelsea pelan."Aku kira tadi kamu bakalan obrak-abrik meja, Mas," Kata Chelsea."Kok gitu?" Tanya Adam."Habis, biasanya kamu nggak bisa kontrol emosi. Pas aku lihat kita bakalan berangkat bareng aku kaget lho. Aku kira Nina bakalan pilih kamu. Makanya pas tahu yang sebenarnya, aku
"Yaudah buruan milih! Yeu, lama banget sih inces!" Nadya kesal. Ia belum makan sejak masih di Jakarta. Tapi lihatlah dua sejoli yang membuatnya naik darah. Terutama gadis yang mengaku dirinya princess. Lama sekali memilih makanan. Harus estetik lah, harus indah lah, harus mendukung konten foto lah. Nadya jadi ingin sekali mencakar mulutnya."Sabar dong! Aduh, aku kebelet pipis. Tunggu ya! Chelsea ke toilet dulu!" Nadya menggeram kesal. Jika harusnya pelayan yang merasa kesal karena harus berdiri menunggu lama, malah Nadya yang kini punggungnya tengah diusap untuk ditenangkan. Adam baru saja kembali dari aktifitas merokoknya. Tak ayal berbagai pasang mata tertuju pada pria yang mengenakan kemeja biru dongker dengan kain lengan terlipat sampai siku dan kancing atas yang terbuka. Kacamata hitam yang semakin menambah kesan maskulin pun membuat Nadya yang katanya tergila-gila kepada Bagas kini meneguk ludah kasar dengan tatapan laparnya. "Chelsea mana?" Tanya Adam sambil membuka buku men
Semilir angin menerbangkan rambut panjang Nina yang terurai. Pada dasarnya Bagas punya bibit buaya dalam tubuhnya. Ia sering sekali membantu menyelipkan rambut Nina ke belakang telinga. Alasannya sih supaya tidak menghalangi Nina untuk menikmati keindahan Pantai Kelingking. Setelah makan, Nina meminta untuk mampir sebentar ke pantai. Mumpung hari masih panjang, tidak ada salahnya kan menikmati alam sejenak? "Indah," Gumam Bagas. Nina mengangguk lalu menoleh, ternyata Bagas sedang memperhatikannya. Lalu keduanya terpaku untuk sesaat. Ada rona merah alami yang muncul perlahan. Nina memutuskan lebih dulu pandangan itu, ia malu dan gugup disaat bersamaan. "Apaan sih?" Nina tersipu malu lalu tangannya digunakan untuk menutupi wajahnya. "Lho? Apa, itu tebing di belakang kamu indah," Canda Bagas. "Nyebelin," Nina mencebik. Bagas lalu tertawa, "Iya, cuman kamu yang paling indah. Bahkan birunya lautan aja kalah sama keindahan kamu." "Halah, mulaiiii." "Serba salah deh. Nggak dipuji sal
DAY 24Sudah berapa lama, rasanya Bagas tidak pernah lagi merasakan hari sesantai ini. Ternyata cuti 7 hari benar-benar nikmat. Bagas mengeratkan selimut yang tergulung dalam dekapannya. Matanya semakin berat, padahal matahari sudah tepat di atas kepala. Ia lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak tanpa panggilan mendadak. Tanpa harus jaga malam sampai subuh. Benar-benar tidur seperti manusia normal."Gas, bangun, pacar lo diembat orang," Suara Sean, iseng. Bagas menyeringai, "Gue nggak punya pacar," lalu melanjutkan mimpi indah yang tertunda. Ia harus segera menyelesaikan, sebab dalam mimpinya Bagas belum mengucap ijab kabul. Tolong lah, Bagas ingin segera meresmikan Nina. Tolong jangan ganggu.Tak habis ide, Sean kembali berkata, "Gebetan lo diambil orang. Berenang berdua mesra banget. Nina pakai bikini lagi. Beuhh! Mantulity!"Tunggu, "Nina? Adam?" Bagas langsung terduduk cepat. Matanya terbuka lebar, kini tak terasa kantuk lagi. Otaknya dipaksa bekerja cepat. Nina berenang ber
'Para pria silahkan ambil kertas undi dari bowl yang berisikan nama-nama para wanita. Kalian silahkan memilihkan pasangan kencan untuk mereka.'"Gue duluan ya," Sesuai kesepakatan, Ikbal lebih dulu mengambil undian. Diikuti oleh Sean, lalu Ezra, dan terakhir Adam. Pastinya mereka semua sudah merencanakan banyak hal selama di Bali kemungkinan terburuknya adalah pergi bersama orang yang tidak diinginkan."Wow," Ikbal melebarkan kertas dan terpampanglah nama Nina. Mampus, ia sudah tidak berharap apa-apa lagi. Badannya semakin lemas pada sofa. Ikbal sengaja menggodanya. Seolah mati dan hidup Nina berada di tangan pria itu. Sean mendapatkan nama Kanaya, Ezra mengambil nama Kesha, lalu Bagas mengambil nama Chelsea dan terakhir Adam mengambil nama Nadya.Waktunya bagi para pria memilih. Kali ini bukan dengan mengirim pesan, tapi mereka langsung mengatakan dengan lantang di depan semua orang."Karena udah semuanya ngambil, gimana kalau kita mulai milih siapa yang jadi pasangan kalian?" Tany
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila