Nama: Karenina Subagyo
TTL: Jakarta, 15 Desember 1993
Hobi: Memasak
Tinggi Badan: 161 cm
Berat Badan: 47 kg
Pekerjaan: Manajer Restaurant Nusantara
Kelebihan: Cerdas
Kekurangan: Pendek
Tipe ideal: Lelaki normal
Nina sudah selesai mengisi formulir untuk tahap pertama audisi acara pencarian jodoh "Find Your Love". Saking sibuknya Nina selama beberapa hari terakhir, Ia pun melupakan formulir yang telah dicetaknya setelah berhasil mendaftarkan diri secara online. Alhasil, Nina akhirnya dikejar deadline untuk menyelesaikan pengisian formulir karena terakhir pengumpulan adalah jam 12 malam ini. Itu pun karena Sasa yang terus mengingatkannya dari semalam.
Baru sampai tahap administrasi ternyata membuat Nina merasa lelah. Formulir 4 halaman ini memiliki pertanyaan yang sangat tidak penting dan tidak berguna bagi Nina. Ia lebih baik membaca ratusan lembar administrasi calon pegawai daripada harus mengisi formulir bodoh ini. Nina tidak punya kelebihan, tapi dia juga tidak tahu apa kelemahannya. Nina tidak punya tipe ideal, tapi dia tahu kalau dia mudah jatuh cinta.
Kalau saja tidak karena diburu oleh orang tuanya yang menginginkan cucu, mungkin Nina tidak akan peduli jika harus melajang seumur hidup, walaupun Nina akan kesepian sih, tapi dia belum siap untuk memiliki anak. Belum lagi ancaman orang tuanya yang tidak akan mewariskan restaurant keluarga ke tangannya. Restaurant yang sudah menjadi darah dagingnya yang dia kelola sepenuh hati. Karena orang tuanya takut, jika Nina tidak memiliki anak, maka restaurant pun akan terkubur bersama Nina di dalam tanah saat tua nanti.
"Tok! Tok! Tok!" Sebuah ketukan di pintu berhasil mengagetkannya. Nina buru-buru menyembunyikan formulir di dalam laci mejanya. Jangan sampai ada yang tau kalau Nina akan mengikuti audisi acara bodoh ini. Hari dimana dia menyetujui saran Sasa saja rasanya sudah cukup memalukan. Seakan Nina tidak selaku itu sampai harus mengikuti acara ini. Sejauh ini hanya Nina dan Sasa yang tahu dan akan menjadi rahasia mereka berdua saja. Jika seluruh pegawai tahu maka habislah dia akan dijadikan bahan ejekan terutama oleh makhluk yang kini tengah mengetuk pintu ruangan kerja Nina.
"M-masuk!"
"Pagi-pagi udah stress aja lo. Nih, daftar menu baru buat bulan depan. Lo pilihin deh yang mana baiknya. Soalnya gue pusing, ide anak-anak makin aneh aja." Andre sang koki eksekutif membawa papan daftar menu yang akan di launching bulan depan. Meskipun Andre adalah koki eksekutifnya, restaurant nusantara keluarga Nina mengutamakan musyawarah mufakat. Karena menurut prinsip orang tuanya, semakin banyak suara maka semakin valid sebuah keputusan.
"Maksudnya?"
"Mereka mau bikin terobosan baru. Kaya masakan nusantara di kolaborasi sama masakan western gitu lah. Maksud gue-- itukan melanggar prinsip kita yang sudah berpuluh tahun ya. Tapi di satu sisi, gue rasa itu juga ide yang bagus sih. Karena restaurant ini udah terlalu tua dan jadul. Pelanggan kita makin sepi. Kebanyakan yang makan juga pelanggan tetap udah dari jaman bokap nyokap lo yang alhamdulillahnya masih hidup. Ada kali yang udah meninggal saking lamanya rumah makan ini."
Restaurant Nusantara merupakan warisan turun temurun keluarga Nina yang mulai dibangun oleh kakeknya Yusuf Subagyo pada tahun 1980-an. Saking terkenalnya, restaurant ini telah memiliki cabang dimana-mana karena dianggap sebagai rumah makan dengan aksen tradisional yang khas dan tetap konsisten mempertahankan cita rasa yang sudah berpuluh tahun lamanya. Kantor utama sendiri merupakan tempat Nina bekerja saat ini yang khusus menyediakan menu-menu spesial yang tidak akan didapat di kantor cabang lainnya. Kesannya pun lebih mewah dan memang biasa digunakan oleh para orang penting saat dine in. Berbeda dengan restaurant makanan khas Indonesia lain yang pada akhirnya mengikuti perkembangan zaman terutama selera Gen Z, Restaurant Nusantara tetap bersikukuh mempertahankan mottonya. Namun, pada akhirnya selera masyarakat tetaplah yang utama. Cabang yang tadinya tersebar di seluruh Indonesia harus rela tutup satu persatu karena kalah saing dengan restaurant kekinian yang mulai muncul di kalangan Millenial dan Gen Z.
"Gue sih setuju aja asalkan konsep yang paling dominan ya tetap nusantara. Hari gini masih sok idealis, yang ada kita bangkrut, Ndre." Nina sebenarnya sudah menyarankan ide ini sejak lama. Tetapi ayahnya tetap bersikukuh untuk tidak mengubah apapun sampai akhir masa kepemilikannya. Salah satu hal yang juga membuat sang ayah meragu untuk segera memberikan tanggung jawab penuh kepada Nina atas kepemilikan restaurant ini adalah karena menurut sang ayah Nina terlalu terpapar dengan budaya barat sehingga ingin mulai merubah semua yang berhubungan dengan restaurant. Karena Nina lebih mementingkan profit, sedangkan sang ayah lebih mementingkan sejarah.
"Tapi mending lo tanya bokap lo deh soalnya kan dia yang punya."
"Nggak usahlah. Meskipun gue cuman manajer, cepat atau lambat restaurant ini bakalan jadi milik gue. Mau sampai kapan coba gue berdiri dibawah kakinya bokap. Kapan gue bisa ambil keputusan kalau gitu."
Andre kemudian mengangguk setuju, "Yah, setidaknya lo bilang lah sama Pak Subagyo. Hitung-hitung menghargainya sebagai pemilik. Pak Subagyo tetap harus tau sih kalau menurut gue tentang hal ini. Apalagi ini terobosan yang bakal merubah sedikiiitt daripada prinsip kita."
Nina kemudian mengangguk setuju, "Ada lagi?"
Andre tampak berpikir keras. Nina bisa melihat keraguan dari mata Andre. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya tetapi masih tertahan di lidah.
"Itu aja deh. Yaudah gue balik kerja lagi." Baru saja Andre berbalik menuju pintu, tiba-tiba dia berbalik dengan mata melotot, "Oh iya, lo ikut acara Find Your Love ya?"
****
"Lo masih marah sama gue?" Tanya Sasa begitu mereka masuk ke dalam mobil. Sasa menghadap Nina sembari menyandarkan kepalanya di pintu mobil. Aneh, harusnya kan Nina yang marah karena Sasa sudah berani membocorkan rahasia penting diantara mereka. Kenapa malah Sasa yang berbalik hendak memarahinya ya.
"Lo tuh lemes banget jadi orang ya. Perlu banget apa ngumumin ke semua orang kalau gue mau ikut Find Your Love? Gue malu!" Nina memekik. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Apaan sih malu-malu. Nggak usah sok jaim gitulah. Kita semua udah tahu irama kentut lo kali. Kita udah jadi rekan kerja dari jaman kapan lo masih aja malu. Tai lah."
"Masalahnya gue ngerasa kayak.....kesannya hopeless gitu sampai harus ikutan audisi acara beginian. Kayak nggak laku banget gitu."
"Heh, lo tuh bukannya nggak laku. Tapi lo tuh spesial. Banyak diluaran sana yang ngantre buat ikut acara ini. Makanya gue nyuruh lo tonton acaranya yang pertama. Biar lo tuh tahu orang macam apa yang jadi finalis acara ini. Bukan kaleng-kaleng, Nin."
"Ah nggak tahu lah. Kayaknya juga gue nggak bakalan lolos." Nina mulai mengeluarkan mobil dari parkiran. Saat ini mereka sedang menuju salah satu Mall untuk membeli perlengkapan bayi. Sebagai hadiah atas kelahiran istri Andre 3 hari yang lalu.
Sasa menyipit curiga, "Mana sini gue liat formulir lo isinya apaan."
"Ambil aja tuh." Sasa mengambil tas Nina yang tergeletak sembarangan di belakang. Sasa menggelengkan kepala dengan heran. Sebenarnya Sasa sendiri ketar ketir kalau seandainya Nina lolos menjadi finalis Find Your Love. Karena Nina Subagyo merupakan manusia terjorok yang pernah Sasa kenal. Dia tidak bisa memasak, tidak bisa bersih-bersih rumah, tidak bisa cuci piring, pokoknya sangat jauh dari kriteria mantu idaman. Kelebihannya hanya satu.
Dia cantik.
Tuhan! Semoga nggak ada mantan Miss Indonesia yang ikut acara ini! Kalau Nin kalah cantik dia sudah tidak punya apa apa lagi Tuhan! Batin Sasa
Semoga saja Nina bisa survive di asrama nanti. Jangan sampai temannya ini kena hujat netizen.
"Astaga, Ninaaaa! Jawaban lo malu-maluin banget. Tidak mencerminkan manusia berkualitas." Sasa melotot melihat isi formulir. Wajahnya tercengang melihat jawaban-jawaban absurd yang sudah pasti tidak akan mengantarnya menuju kelolosan. Nina pun segera mengambil Tip X dan menghapusi seluruh jawaban Nina.
"Heh! Mau ngapain lo?!"
"Udah lo percaya aja sama gue. Di jamin lo akan menjadi manusia yang paling berkualitas diantara finalis lainnya." Sasa mulai menulis dengan fokus seolah-olah formulir di tangannya adalah soal Ujian Nasional. Sesekali bibirnya tersungging licik dan bersorak seakan menemukan duit 1 miliar.
Sasa pun segera memasukkan formulir ke dalam tas Nina dan melipatnya dengan rapi, "Pokoknya lo nggak usah buka-buka lagi. Malam ini tinggal lo kirim aja ke adminnya. Gue jamin, jawaban gue bakalan bikin lo lolos tahap adminstrasi." Sasa meyakinkannya.
"Awas aja ya lo nulis yang aneh-aneh. Lo harus ingat, setelah gue lolos tahap 1 gue bakalan dipanggil untuk interview. Gue nggak mau kalau misalkan gue di ketawain satu ruangan."
"Percaya deh sama gue. Gue nggak akan menjerumuskan teman gue sendiri." Nina tersenyum bangga.
"Harusnya tuh lo yang ikut. Lo kelihatan suka banget sama acaranya."
"Iya kan? Sayang banget gue udah keburu kawin. Kenapa juga sih acaranya harus tayang sebulan setelah gue nikah. Gue tuh udah siap banget bersaing sama perempuan-perempuan itu untuk mendapatkan cinta sejati gue."
"Dih, gue bilangin Rama loh ya."
"Eh! Jangan dong, entar duit bulanan gue dipangkas. Gue nggak bisa nyalon lagi." Balas Sasa galau.
****
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Makan dulu, Nak." Ibundanya, Viviana Subagyo tengah menyiapkan makanan bersama dengan ART barunya, Aziza. Tentu saja, tidak ada makanan western ala Italia atau Perancis. Lidah ayah dan ibunya tidak semodern itu. Makanan yang tersedia di meja makan adalah makanan nusantara. Jika Nina dan adiknya sedang ini makan pasta, maka Ia diam-diam akan memesan Gofood dan memakannya di dalam kamar. Walaupun tidak ada larangan di rumahnya untuk makan-makanan barat, tapi Nina sangat paham dengan watak orang tuanya itu. Apalagi ayahnya yang pasti akan menyindirnya selama berhari-hari sampai Nina hapal dengan setiap kalimatnya.
Makanan kayak gitu nggak sehat. Nggak ada sayurnya.
Kayaknya ada yang mau mati muda. Makannya fast food terus.
Lebih enak rendang buatan ibu. Kaya akan rempah.
Makanan apa itu? Seperti makanan kucing.
Kira-kira begitulah sindiran ayahnya selama ini. Sehingga Nina memilih buta dan tuli.
"Mana Bapak?"
"Masih di ruang kerja tuh. Panggilin sana. Sekalian panggilkan adikmu ya. Gara-gara UTS dia belajar mulu. Kasihan lihatnya sering telat makan."
Nina pun menaiki tangga menuju ruangan kerja ayahnya dan menuju kamar Gilang adiknya. Namun, belum sempat diketuk, pintu ruang kerja ayahnya telah terbuka. Menampilkan sosok yang tampak lelah namun berusaha tersenyum, "Eh, udah pulang, Nak."
"Iya. Bapak makan dulu sana, aku mau ke Gilang."
"Gue udah disini."
"Eh! Monyong!" Nina terlonjak kaget hingga punggungnya membentur dinding. Ia terkejut melihat sosok jangkung adiknya tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Sejak kapan dia dibelakang gue? Kok nggak kedengeran langkah kakinya sih? Batinnya. Nina melirik pada telapak kaki adiknya. Alhamdulillah masih menapak tanah.
"Kenapa lo? Mau ngecek gue hantu atau manusia?" Tebakan adiknya tepat sasaran. Seperti biasa dengan wajah dingin dan datarnya yang kayak batu.
"Iya. Muka lo serem soalnya. Kayak mayat hidup. Udah berapa lama lo belajar? Kantung mata sampai hitam begitu." Nina menggelengkan kepalanya. Nina dan Gilang memang saudara kandung. Tapi kepribadiannya sangatlah bertolak belakang. Nina lebih mewarisi sifat ibunya yang ceria dan cerewet. Sedangkan Gilang mewarisi sifat sayng ayah yang kalem dan cenderung pendiam tetapi Gilang lebih dingin jika dibandingkan bapak. Jika Gilang rajin, maka Nina pemalas. Jika otak Gilang cerdas, maka Nina memiliki otak pas-pasan. Wow, ternyata Nina memiliki banyak sekali kekurangan. Seharusnya dia menulis itu di formulir tadi.
"Lo jangan terlalu keras belajarnya. Nyantai aja lah. Nilai lo udah bagus kok." Nina berujar. Kini mereka tengah menuju ruang makan keluarga bersama. Meskipun mereka sangat bertolak belakang, Nina dan Gilang sangat dekat sebagai saudara.
"Nggak bisa Mbak, semester kemarin IPK gue 3,91, harusnya bisa A itu. Gara-gara ada matkul yang dapat A-. Nggak puas gue." Keluh Gilang.
"Ya ampun, Lang. Kesuksesan itu tidak dinilai dari IPK. Tapi dari garis pantat. Lihat nih gue, lulus IPK 2,95 tapi berhasil tuh mengelola restaurant bapak."
"Ah, kalau nggak ada restaurant bapak lo mau kerja apa emang dengan IPK segitu? Makanya gue nggak mau bersaing sama lo buat nerusin restaurant bapak. Lo tuh--" Gilang meliriknya from head to toe, "Nggak selevel sama gue." Lanjutnya. Nina sontak memukul kepala adiknya dengan keras hingga adiknya mengaduh kesakitan. Alih-alih minta maaf, Nina malah segera kabur menuju ruang makan untuk berlindung dibalik punggung ibunya. Begini-begini, Nina juga takut kepada adiknya. Setelah beranjak dewasa, entah kenapa Gilang yang dulu hanya sebahu Nina saat SMP berubah menjadi sanggat tinggi. Bahkan tinggi Nina pun tidak mencapai bahunya. Belum lagi Gilang sangat rajin berolahraga sehingga tubuhnya terlihat atletis.
"Aduh, Nina! Suka deh iseng sama adiknya sendiri. Ayo cepat makan!" Seru ibunya.
Nina pun segera mengambil lauk pauk dengan brutal. Perutnya kosong sedari sore tadi membuat perutnya keroncongan. Belum lagi karena habis dari mall dengan Sasa di ratu belanja, Nina harus rela dibawa kesana kemari untuk melihat-lihat barang yang bahkan tidak Ia beli.
"Nina, besok ikut ibu arisan ya. Besok kan weekend sekalian ketemu sama Mas Lingga."
Aduh! Siapa pula itu Mas Lingga? Nina menggeleng pelan sebagai tanda penolakan. Lagipula, endingnya pasti akan selalu sama. Lelaki itu akan mundur setelah tahu kebiasaan hidup Nina yang katanya tidak wife material. Nina sih tidak peduli, Nina ingin dijadikan istri bukannya babu. Tetapi tentu saja hal itu membuat ibunya semakin gencar menjodohkannya. Sudah lelaki dengan berbagai jenis profesi dikenalkan kepada Nina. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil.
"Lho kenapa toh? Daripada kamu di rumah main Hp, golar goler di kasur nggak jelas. Mending ikut ibu kegiatan yang bermanfaat."
"Ngapain sih, Bu? Nina males kalau ujung-ujungnya dijodohin." Mendadak Nina tidak nafsu makan. Padahal isi piringnya belum habis separo. Tapi kalau makanannya terbuang pun sayang.
"Suatu keajaiban si Lingga setuju untuk pertemuan kedua kalian. Jarang-jarang lho anak bapak akhirnya laku. Bapak kira kamu bakal jadi perawan tua."
"Kayak dia masih perawan aja." Celetukan asal Gilang berhasil membuat kedua orang tuanya melotot. Sang ibunda langsung beristigfar dan memukul kepala anak bungsunya itu.
"Gilang kalau ngomong suka sembarangan. Lagian siapa yang mau bobol Mbakmu yang belum laku ini."
Nina tersenyum masam. Nina kira ibunya akan berada di kubunya. Namun, mulutnya sama saja seperti ayah dan adiknya, sama-sama tidak berperasaan.
"Lagian ibu mau juga nimang cucu, Nin. Teman-teman ibu kalau arisan suka pada bawa cucu ihhh lucu dan gemes banget. Nggak kasihan sama ibu, Nin cuman bisa nguyel adonan kue."
"Ibu mah masa mau punya cucu cuman buat ajang pamer sih? Kaya mainan aja. Minta cucu sama Gilang gih!" Usul Nina.
"Eh, gue tuh laki-laki masih harus cari duit buat nafkah anak bini gue. Lo kan perempuan Mbak, nanti ujung-ujungnya juga di dapur."
"Udahlah, Nin ikuti aja kata ibu. Bener, setidaknya kamu ada kegiatan weekend ini. Soalnya kamu kalau di rumah juga nggak mau bantuin Bapak mangkas rumput belakang. Disuruh ngasih makan Joni juga nggak mau." Joni adalah Burung Beo peliharaaan kesayangan Bapak.
"Nina kan perempuan, Pak. Masa disuruh mangkas rumput. Memangnya Nina anak jantan." Kilahnya.
"Begini aja baru ngaku anak perempuan. Tapi disuruh cuci piring nggak mau." Dumel ibunya ikut-ikutan memojokkan Nina.
"Pokoknya besok ikut ibu aja ya, Nin." Sambung Bapaknya lagi tak ingin dibantah.
"Kata siapa aku besok nggak ada acara."
"Lho emang kamu mau kemana toh?"
"Hehe, audisi."
"Lo kok pakai baju kayak begini?" Sasa mengernyit tidak suka sembari membolak balikkan tubuh Nina untuk memastikan kedua bola matanya tidak salah lihat. Khusus di weekend yang cerah ini Sasa merelakan quality time bersama suami dan anaknya demi mendampingi Nina interview di tahap ke 2. Suprisingly, berkat Sasa akhirnya Nina lolos seleksi administrasi yang diumumkan tadi pagi dan siangnya langsung pergi bersiap untuk interview.Nina memperhatikan penampilannya sekali lagi melalui kaca mobil. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Blouse putih dipadukan dengan rok span di bawah lututnya. Rambut dikuncir satu dengan rapi dan flat shoes hak 5 cm menghias kakinya. Dalam formulir, Nina digambarkan sebagai sosok yang rapi dan cinta kebersihan. Jadi, Nina berusaha mengambarkan image tersebut lewat penampilannya hari ini."Lo mau interview acara dating bukan magang.""Ya terus gue harus pake baju apa?""Apa kek yang lebih attractive gitu misalnya baju seksi kek."Nina mendengus, "Gue itu m
Nina harus rela terjaga pukul 5 pagi karena Sasa menelepon pagi buta demi memberitahukan bahwa Nina lolos menjadi salah satu finalis Find Your Love. Nina hanya punya waktu 3 hari untuk packing seluruh keperluannya selama di asrama dan teken kontrak dengan agensi. Jika ditanya bagaimana perasaan Nina, maka Ia akan menjawab biasa saja. Ia mengikuti acara itu hanya demi uang. Sebut saja Nina matre, tetapi siapa manusia yang tidak suka uang di dunia ini?Nina memutuskan untuk bangun setelah terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawanya. Ia memutuskan untuk membereskan tempat tidurnya sendiri hari ini. Hitung-hitung sebagai latihan karena tidak mungkin Nina membawa ART ke asrama. Nina ingin applause dengan dirinya sendiri karena berhasil merapikan tempat tidurnya, walaupun tidak serapih jika Aziza yang merapikannya. Sekarang, Nina tinggal memikirkan cara agar ayahnya setuju dengan keputusan Nina. Bagaimana pun Nina tidak mungkin bisa membatalkan kontraknya. Nasi sudah menjadi bubur, tinggal
"Baju sudah, dalaman sudah, catokan...eh nanti aja pas h-1 deh," Gumam Nina. Ia kini tengah menyicil barang yang harus dibawa untuk 30 hari ke depan. Setelah kongkalikong yang cukup alot dengan Bapak tadi pagi. Akhirnya Bapak mengizinkan Nina untuk ke asrama dengan syarat harus mengirimkan kabar setiap hari ke rumah. Tentu saja hal tersebut juga disambut baik oleh ibunya. Ibunya akan memanfaatkan Nina sebaik mungkin untuk mendapatkan spoiler tentang pasangan-pasangan disana. Tanpa memikirkan anaknya akan mendapatkan jodoh atau tidak."Udah kamu berangkat kantor sana. Biar ibu yang beresin nanti." Ibunya datang menyeret koper Nina ke samping. Kemudian mulai menggeledah isi lemari Nina yang berisikan banyak sekali baju. Bahkan Bapak sampai harus membuatkannya walk in closet agar baju-baju Nina mendapatkan kesempatan muat ke dalam lemari."Kalau baju jangan ibu deh. Nanti Nina malah dipilihkan baju gamis lagi. Nina bukannya mau qasidahan ya, Bu," Protes Nina. Nina masih ingat ketika per
"Bisa tanda tangan disini ya." Anggit mengarahkan Map merah jambu ke arah Nina. Tentu saja tidak langsung disetujui oleh Nina. Ia memilih untuk membaca terlebih dahulu isi kontrak yang tertera. Jaga-jaga kalau saja ada poin yang merugikan Nina."Tidak boleh membawa handphone...." Gumam Nina. Kemudian Ia mengangkat wajahnya untuk melihat Anggit yang masih setia tersenyum manis dihadapannya, "Kalau nggak boleh bawa handphone, gimana nanti saya mau hubungi keluarga? Atau kalau ada telepon penting dari kantor? Saya kan bukan pengangguran Mbak." Mungkin Nina terdengar agak sewot. Tapi sebenarnya Nina berbicara dengan nada yang sangat santai. Bagaimana pun juga kekhawatirannya tidak bisa menghubungi Bapak selama acara menjadi faktor utama kegelisahannya. Nina lebih takut jika Bapak akan benar-benar datang untuk mengobrak abrik agensi.Anggit tersenyum tenang, "Nanti kami akan berikan handphone khusus yang akan digunakan ketika di dalam asrama. Soalnya nanti setiap malam pihak staf akan meng
Day 1Nina bersusah bayah menggeret koper besarnya menuju asrama. Jalanan yang menanjak membuat Nina menyesali keputusannya menggunakan heels. Kurang ajar! Baru hari pertama Nina merasa sudah dianak tirikan saja oleh pihak staf. Bagaimana tidak, pihak staf tiba-tiba saja membatalkan perjanjiannya secara sepihak. Harusnya kemarin Nina akan merekam video singkat tentang kesehariannya di kantor. Tapi karena alasan harus merekam terlebih dahulu 'A day in my life' dari salah satu peserta lainnya, akhirnya Nina harus merekam videonya hari ini, tepat dimana hari shooting dimulai. Merekam video memerlukan beberapa kali take sehingga memakan waktu hampir 5 jam hanya untuk Nina saja. Harusnya dari jam 9 Nina sudah berangkat menuju asrama, namun karena rekaman sialan itu Nina baru sampai saat matahari tepat di atas kepalanya.Nina sampai di depan pintu sambil mengaduh pelan. Mulutnya tak berhenti mengumpat-ngumpat sejak turun dari mobil. Ia pun menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya dan menge
Setelah perkenalan singkat Adam, mereka memutuskan untuk melakukan tur singkat di asrama yang sebenarnya lebih pantas disebut guest house. Rumah berlantai 1 itu memiliki ruang tamu yang cukup luas dan langsung bertemu dengan dapur. Sedangkan diseberang bangunannya terdapat 4 kamar yang akan mereka tinggali. Dua gedung ini dipisahkan oleh taman dan kolam renang dengan meja makan besar di depannya. Nina sampai berpikir, apakah pihak produksi tidak akan rugi menyediakan fasilitas segini banyaknya kepada mereka.Setelah diskusi singkat, Nina akhirnya sekamar dengan Chelsea. Tentu saja Nina dengan senang hati menerimanya. Nina pikir kepribadian mereka cukup mirip. Nina juga selalu mengidam-ngidamkan sosok adik perempuan. Jujur saja, memiliki Gilang sebagai adiknya tidaklah menyenangkan.Nina dan Chelsea pun menyusun koper mereka ke dalam walk in closet yang menyatu dengan kamar mandi. Seperti dugaan Nina, Chelsea membawa lebih banyak barang darinya. Bahkan
Ezra memutuskan untuk membuat Aglio E Olio, Mac n Cheese, dan Taco sebab Ilham terus mengeluh kelaparan. Jadi Ia akan membuat sesuatu yang kemungkinan tidak memakan banyak waktu. Nina sendiri berniat untuk menolongnya sekaligus ingin menunjukkan pesonanya melalui masak. Tapi sudah beberapa kali Nina menawarkan bantuan, Ezra tidak menggubrisnya dan malah sibuk sendiri dengan dunianya. "Ada yang bisa gue bantu nggak?" Tanya Nina untuk yang ketiga kalinya. Dirasa tidak mendapatkan jawaban, Nina memilih untuk inisiatif mengambil pisau dan memotong daging untuk isian Taco. Keduanya bekerja dalam diam, mungkin Ezra bahkan tidak menyadari kalau ada Nina di sisinya. Kemudian Kanaya datang setelah berganti dengan baju santai. Barefacenya justru malah membuatnya terlihat semakin cantik. Nina yang masih menggunakan make up saja merasa jauh lebih kucel. "Aku bisa bantu apa nih?" Tawarnya. "Potongin bawang bombay sama tomat." Sahut Ezra cepat, bahkan
Day 2Nina rencananya akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengecek keadaan restaurant sebentar. Tetapi mau dikata apalagi, nyatanya Ia malah terbangun pukul 11 siang gara-gara sibuk begadang sampai jam 3 pagi.Nina melihat kasur disebelahnya, Chelsea ternyata lebih parah darinya. Gadis itu masih terlelap, sibuk mengarungi alam mimpi. Ia pun merenggangkan tubuh sejenak sebelum kemudian menuju dapur. Ia harus membuat sesuatu karena perutnya meraung-raung minta diisi.Suasana asrama terlihat sepi. Mungkin beberapa orang sudah pergi bekerja sejak pagi tadi. Jadi, Nina memutuskan untuk membuat jus dan toast saja pagi ini. Karena jika memasak makanan berat akan memakan waktu terlalu lama."Wah, masak apa nih?" Nina terkesiap saat mendengar suara berat di telinganya. Entah sejak kapan Ikbal sudah berada di dapur, Nina pun tidak tahu."Eh? Sejak kapan lo disitu?" Tanya Nina dengan canggung sambil menggaruk pelipisnya yang tidak
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila