Setelah mengganti pakaian basah dengan yang kering. Kalina dan Reza duduk santai di sebuah sofa panjang, di kantor kepala sekolah yang sunyi tersebut. Tidak berapa lama kepala sekolah yang tampan rupawan, calon suami idaman masa depan, meski menggunakan mantel tidur. Rambut acak-acakan mirip sarang burung, pertanda baru bangun tidur, ketika dipanggil satpam sekolah, belum disisir lantaran langsung ke ruangan tersebut. 'Tuhan, mengapa banyak sekali lelaki tampan di sini?' Kalina tercengang melihat sebagian tubuh kotak di bagian dada si kepala sekolah tampan itu. Reza melihat wajah Kalina dengan cemburu, ingin rasanya dia mengacak-acak si kepala sekolah yang sungguh percaya diri sekali sesantai itu memamerkan bagian tubuhnya, walau yah, hanya bagian atas. "Secara garis besar tadi saya sudah mendengar dari Bang Satria. Masa muda memang paling menyenangkan ya." Kepala sekolah tersenyum. "Ada yang ingin kalian katakan?" lanjutnya. "Tidak Pak, saya tahu saya bersalah tapi
Samar-samar aura hitam pekat kembali muncul mengelilingi ruangan tersebut menghampiri Kalina. Ketika aura hitam itu hampir mendekat ke arahnya dengan sigap kepala sekolah mencengkeram aura hitam tersebut dengan kedua tangan. "Kalian pikir aku tidak bisa melihat kehadiran kalian?" geram kepala sekolah. Phesh! Aura hitam itu kemudian lenyap. "Hanya para kroco-kroco kecil, hei tampakkan dirimu yang sesungguhnya jangan jadi pengecut dengan menyuruh anak buahmu yang lemah itu!" cibir kepala sekolah. Dengan perasaan bimbang kepala sekolah keluar ruangan tersebut. "Hah ... bikin cemas saja." Kepala sekolah memutuskan kembali ke dalam ruangan, dia duduk di kursi tempatnya bekerja. Kedua matanya kembali menatap Kalina yang dengan nyenyak tidur nyaman di seberang sana. "Astaga, aku bisa gila!" umpatnya mengacak-acak rambut frustrasi. Bagaimana dia bisa tidur nyenyak dalam satu ruangan bersama gadis tanpa dosa ceroboh itu. Malam semakin larut, dengan susah payah lelaki itu ber
Kalina sedang merapikan buku bacaan yang baru saja dia baca. "Ceritanya romantis sekali," ujar Kalina yang hendak meraih satu buku lagi. Saat ini gadis itu tengah berada di perpustakaan. Gadis tersebut berjinjit sedikit untuk meraih buku di rak atas. Tidak sampai. Hingga sebuah tangan berjas meraihnya. Kalina menoleh ke arah samping, seorang pria gagah bertubuh tinggi berdiri menjulang. Kalina terlihat hilang jika dilihat dari belakang si pria. Kedua netra mereka saling bertemu pandang. Kalina yang selalu tidak tahan godaan akan ketampanan lelaki pun mengerjap-ngerjapkan mata seraya menetralkan jantung yang sedari tadi bergemuruh. 'Luar biasa tampan,' cicitnya. "Kau mau buku ini?" tanya sang lelaki. "Ah, Pak Kepala Sekolah, iya," jawab Kalina hendak meraih buku yang dipegang lelaki gagah tersebut. Namun, sang lelaki menarik tangannya hingga Kalina juga menarik kembali ulurannya. Lelaki itu mencondongkan tubuh, sontak Kalina bergerak refleks meleba
'Kenapa kamu tidak berusaha menahanku Kalina. Atau memang orang yang kamu cintai itu bukanlah aku melainkan orang lain,' protes Elang dalam hati. "Kenapa, kamu tak rela aku pergi, naksir aku ya?" seloroh Elang berusaha bercanda dengan mengedip-kedipkan mata sok imut. "Apaan sih, pd banget. Kamu ngapain itu ngedip-ngedipin mata, cacingan ya?" celetuk Kalina. "Gak, bukan cacingan tapi lagi wasir," jawab Elang sekenanya. "Oh itu gampang, minum saja obat nyamuk, pasti cepat," celoteh Kalina. "Cepat melayang maksudnya, sungguh jahat dikau Kalina," timpal Elang dengan candaan. Keduanya tertawa cekikikan. Rasa bahagia hanya hinggap sesaat, tidak dapat terlukis dengan kata, dan rasa sedih yang datang bersamaan. Bergelayut penuh sesak di dalam dada. Sebuah perpisahan yang tak terbayangkan sebelumnya. Waktu terasa berjalan begitu cepat, hingga tanpa sadar keduanya telah sampai di depan pintu asrama Kalina. Selama berjalan-jalan tadi, Kalina juga sempat menceritakan peri
Sayup angin berembus menerpa, menerbangkan rambut. Atma dipenuhi kecemasan, tatapan sayu dan ragu. Raut wajah tidak mengenakkan. Tidak pernah Elang merasakan gundah gulana seperti ini sebelumnya. Kecuali beberapa ratus tahun lalu ketika sang cinta pertama pergi jauh meninggalkannya. Rasa sesak bergemuruh bergejolak memenuhi sukma. Awalnya Elang berpikir hati gundah lantaran menanti jawaban dari pernyataan cinta untuk Kalina tadi. Namun, saat ini ia merasa lebih cemas, wajah gadis itu muncul dalam benak, ketika gadis itu menangis, rasanya hati ikut teriris sedih. Atau ketika gadis itu tertawa lepas, hatinya jauh lebih bahagia melebihi apa pun. "Hah, kenapa aku jadi seperti remaja yang menanti jawaban cinta begini?" Elang menertawakan diri sendiri. Pemuda itu duduk di kursi yang berada di bawah lampu penerangan taman sekolah. "Elang!" teriakan Reza membuyarkan wajah Kalina dalam lamunan Elang. Begitu menggelegar mengusik pendengaran. Dia menoleh ke arah suara, Reza terlihat be
Mereka berjalan menuju ke kamar asrama, dengan cekatan Reza membuka pintu kamar, tetapi tidak didapati Kalina di sana. Mereka celingukan kebingungan. Alinsia mencoba menghubungi Kalina. Namun, tidak tersambung, hanya layanan mailbox dari operator yang terdengar. "Sekarang kita harus bagaimana?" tanya Alinsia, mereka menampakkan wajah kekhawatiran yang sama. "Kita berpencar mencari Kalina, pastikan ponsel kalian aktif agar kita dapat saling bertukar kabar," usul Rando. "Tumben otakmu encer," celetuk Reza. "Maaf keceplosan," lanjut Reza. Elang tidak tinggal diam, dia yang merasa semakin khawatir mengeluarkan sayapnya bercahaya putih kebiruan menyilaukan mata. Reza, Alinsi dan Rando sekejap berhenti berdebat. Mulut mereka menganga lebar, terkagum-kagum tidak percaya. Semua terlihat seperti mimpi menakjubkan, membuat ketiganya bengong berjamaah. "Rasanya mirip mimpi yang tidak nyata," ucap Rando masih melongo. Plak! Tanpa aba-aba dan basa-basi Alinsia menampar
Kalina digiring ke sebuah tempat luas, di mana di tengah ada batu besar panjang, dan disetiap sudut terdapat obor mengelilingi tempat itu tampak seperti altar. Dan Kalina adalah tumbal persembahan tersebut. Tubuh Kalina dibaringkan di atas batu yang tingginya hanya selutut itu. Kakek tua menyalakan lilin yang berjajar di seluruh pinggiran batu, jika bergerak sedikit saja, tubuhnya pasti akan terbakar api. Mulut kakek tua itu komat kamit, entar apa yang ia rapalkan sembari membakar kemenyan berjalan memutari tubuh Kalina. Diletakkan kemenyan itu di bawah kaki Kalina, diambil bunga tujuh rupa yang ada di samping kemenyan, ditaburkan bunga basah itu di sekujur tubuh Kalina. "Tidak kusangka permata bangsa siluman itu benar-benar bersemayam di dalam tubuhmu. Kekuatan besar yang menyeret dan membawaku sampai kemari. Tidak akan aku biarkan begitu saja. Lama kami telah menantikan dan mencari permata yang dulu kami kira hilang dan lenyap, tapi sekarang ada di depan mata." Suara lelaki tua
Angin yang berembus kencang perlahan kembali normal. Suara binatang malam penunggu hutan kembali nyaring terdengar. Kakek tua itu mengeluarkan sebilah keris dari saku jubahnya. Dia kembali komat-kamit membaca mantra dengan mata tertutup. Aki Harsa membuka mata, mengarahkan keris tersebut tepat ke dada Kalina, yang terbaring tidak berdaya. Tiba-tiba sebuah cahaya terang menyilaukan muncul mengagetkan. Aki tua tersebut menyipitkan mata dan menutup dengan lengan tangan demi menghindari pantulan cahaya menyilaukan. Cahaya terang itu kembali terbang melesat ke atas langit, kembali gelap bersamaan dengan permata dan tubuh Kalina yang ikut lenyap dari pandangan. "Sial!" pekik kakek tua tersebut geram. "Tumbal pengantin iblisku, kembalikan!" Ki Harsa semakin meradang, kepala mendongak melihat kanan kiri. Gerakan cahaya tadi begitu cepat, dia tidak sempat melihat sosok yang membawa tubuh Kalina dan Permata Aurora. "Kalian bertiga, ayo pergi kejar dia!" suruhnya pada Natalia dan ka
Zaman now.Seorang wanita cantik berada di perpustakaan sebuah castle kuno yang masih terjaga sampai sekarang. Di ditemani seorang lelaki paruh baya bersama sang istri. Mereka tengah berbincang dengan serius. Perpustakaan bak lautan buku di mana banyak sekali rak-rak terisi penuh hingga menjulang tinggi hampir ke langit-langit. Lantai marmer nan bersih dan buku tanpa debu menandakan tempat tersebut terawat dengan baik.“Saya menyukai tempat ini, ini sangat luar biasa dan sangat bersih.” Suara melantun merdu dari wanita berambut panjang tergerai indah.“Nyonya Anantari terlalu memuji,” balas seorang wanita yang kemudian duduk di kursi kayu berseberangan lawan bicaranya.Anantari tersenyum kemudian kembali berkutat pada buku bacaan yang sudah dia ambil.“Aku sangat terkejut ketika Nyonya Anantari memberi kabar terkait kalung peninggalan teman Anda.” Kali ini suara seorang lelaki terdengar.Kedua wanita elegan itu menoleh ke arah sumber suara, seorang lelaki yang masih terlihat tampan mes
“Kumpulkan para sesepuh dan para pemimpin ras, panggil juga gadis bernama Sekar!” Raja Arsen berkata seraya membalikkan badan. Dia memijat kening yang berdenyut, kaki panjang itu melangkah keluar kamar meninggalkan tiga temannya yang masih diam membisu. Mereka mencoba memposisikan diri di tempat Raja Arsen. Benar-benar situasi sulit dilalui, bukan? Anantari menoleh ke arah dua lelaki yang juga sama bingungnya. “Aku akan menyusul Sekar.” Gavin mendelik menatap Anantari yang tertunduk, “Apa yang akan kau lakukan?” “Gavin, aku tahu ini tidak benar, aku juga tidak tega melihat Kalina menderita. Namun, bagaimana jika takdir itu memang membawa Kalina datang ke mari untuk suatu hal. Tidakkah kalian pikir banyak misteri tentang Nigella yang belum terungkap dan menemui titik terang? Seolah hidup kita dikendalikan sesuatu. Tidakkah kalian curiga para sesepuh menyembunyikan sesuatu?” “Curiga, tentu aku sangat curiga lebih dari yang kalian tahu. Namun, apa yang bisa kita lakukan?” Lamont ber
Kalimat bak omong kosong terdengar dari bibir Elard hingga membuat Kalina merinding. Bukan karena tidak percaya, banyak yang tadinya dianggap diluar nalar terjadi begitu saja. Tidak ada hal mustahil seperti dia terlempar ke masa lalu. Maka tidak heran bilamana Elard beranggapan telah bereinkarnasi. Itu membuat sedikit khawatir, reinkarnasi terjadi ketika seseorang telah meninggal. “Jika memang bereinkarnasi, artinya Elard di Kerajaan Nigella mati.” Kalina menatap Elard sendu. Elard menyadari raut muka Kalina yang berubah, lelaki itu lalu berkata, “Aku rela mati untukmu.” Jawaban Elard membuat Kalina melebarkan mata. Gadis itu denial pada perasaan sendiri. Jika mengingat cerita yang pernah terlontar pada mulut Gavin saat siluman itu berada di dunianya sebagai Elang, maka kematian dan runtuhnya kerajaan Nigella terjadi. Namun, nasib membawa Kalina isekai ke dunia lain, Kerajaan Nigella yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Tidak ada catatan dalam sejarah tentang Kerajaan Ni
Kalina menggigit bibir bagian bawah menahan perasaan membuncah hingga membuat hampir gila. “Elard.” Kalina memanggil nama calon suaminya. Gadis itu melihat wajah tampan Elard dengan seksama. Mereka sama-sama telanjang, berbagi peluh untuk mengarungi samudra kenikmatan. Wajah berpeluh Elard yang terlihat dewasa dari ketika dia melihat di Kerajaan Nigella masih terlihat muda. Namun demikian, gambaran eksotis ekspresi ketegangan dan tatapan tajam masih sama membuat gelayar aneh menjalar di tubuh Kalina. Elard menggerakkan tubuhnya di atas Kalina semakin kencang. “Iya, Sayang, terus panggil namaku!” Lelaki itu mengecup telapak tangan Kalina yang menyentuh bibirnya dan menggigitnya. Kedua tangan Elard sibuk meremas dada Kalina yang terguncang-guncang. Kalina semakin berteriak lantang hingga suaranya benar-benar habis. Pertarungan panas untuk mencapai puncak kebahagiaan yang sesungguhnya dengan menyebut nama masing-masing saat ledakan dahsyat membuat lemas dan tersengal kehabisan napas.
“Mimpi ini lagi.” Suara lirih bariton terdengar. Di mana cahaya putih menyilaukan samar menghilang tergantikan tempat yang sangat asing, banyak gedung-gedung pencakar langit. Serta bunyi bising membuat lelaki itu menutup telinga beberapa kali. Alat transportasi yang belum pernah Gavin temui sebelumnya. Dia mencoba menempatkan diri dengan baik, senyuman Kalina benar-benar memabukkan hingga dirinya rela tinggal di mana saja asal dapat mendekap hangat tubuh gadis itu. Mimpi yang terasa nyata, hanya ada Gavin dan Kalina, keduanya menghabiskan waktu bersama penuh kebahagiaan, sampai kepulan asap tebal datang. Suasana berubah mencekam dan gulita, kepulan asap mengepung dan melenyapkan Kalina. Gavin mempertaruhkan hidup dengan menukar nyawa demi menyelamatkan orang yang dicinta. Saat-saat genting, seorang lelaki gagah datang menghampiri menyelamatkan Kalina, ketika Gavin terlihat sekarat rasanya ingin mengumpat bahwa lelaki yang disambut Kalina adalah Elard. Hatinya remuk bukan main, Gavin
Raja Arsen duduk di singgasana, terlihat gagah dalam balutan pakaian kerajaan dan mahkota. Tanpa rasa takut dirinya mulai memantapkan diri. Ada orang berharga yang sekarang dalam genggaman, dia tidak ingin siapa pun menyakiti atau merebutnya. Meski masa depan dari beberapa alur cerita yang pernah terjadi, tetapi hal-hal terpenting masa depan sesuai apa yang terjadi di masa lalu. Kehadiran Kalina bukan untuk mengubah masa depan, tetapi untuk mengukuhkan pondasi keberadaan Permata Aurora sebagai simbol ras siluman. “Seperti yang sudah diperintahkan, untuk sementara Elard dari ras siluman Harimau tidak diizinkan keluar rumah karena sebagai pemicu skandal. Hukuman tersebut terdengar ringan karena pada waktu itu belum disahkan secara resmi calon ratu dan pertunangan.” Gavin sebagai ketua ras siluman Elang yang baru mewakili berbicara. Alasan cukup logis, mengingat beberapa waktu lalu ada insiden tidak terduga dengan hilangnya Kalina.Tuan Fariz memperhatikan, kata mata-mata yang ditempatk
Sore itu, Kalina benar-benar langsung dijemput kereta kuda Istana, di mana Raja Arsen yang hadir langsung untuk membawa. Sebagai hukuman, Elard tidak diizinkan untuk pergi ke Istana apalagi sampai bersua dengan Kalina. Sebanyak apa pun Kalina merengek dan menangis, Raja Arsen hanya diam, lebih diam dari biasanya. Keluarga Elard mengingatkan jika dirinya harus berhati-hati dan waspada dengan para sesepuh. ‘Aku ingin pulang ke tempat asalku, aku lelah.’ Kalina mendongakkan kepala, punggungnya dia rebahkan di sandaran kursi kereta kuda. ‘Jangan pernah percaya siapa pun ketika kau di Istana,’ bisik Ibu Elard ketika mereka berpelukan tadi. Kalina ingat, perpisahan penuh tangis pun terjadi, ibu Elard pun berat untuk melepas kepergian Kalina, di mana sebenarnya dia sangat berharap Kalina yang akan menjadi menantunya. Satu masalah mengganjal adalah hukuman yang belum diputuskan untuk Elard. Hubungan terlarang terkuak menjadi aib luar biasa memalukan. Meski pada akhirnya para sesepuh dan
“Apa kepalamu terbentur ketika kakakku menggagahimu semalam?” Kalimat yang terlontar dari mulut Anantari membuat Kalina melongo mirip keledai, bagaimana mungkin Anantari mengucapkan hal yang sungguh diluar dugaan dan membuat malu. “Saya baik-baik saja, Nona Anantari. Elard memperlakukan saya dengan baik. Meski dia agak kasar dan sedikit memaksa.” Bayangan tubuh sexy menggairahkan Elard terpampang jelas. “Seperti yang Nona katakan, jika Raja Arsen dan para sesepuh mengharapkan saya kembali, maka saya akan kembali ke istana.” Kalina mendekat ke telinga Anantari, “Jika benar kedatangan saya berkaitan dengan kalung dan juga bulan, maka dalam waktu dekat saya akan kembali ke tempat asal. Segala hal terjadi mungkin akan menemui titik temu, Nona. Saya sumber masalah akan menghilang.”Anantari memeluk Kalina lalu ikut berbisik, “Jadi, kita akan berpisah?” Anantari menghela napas panjang lalu berucap dengan sedikit mengeraskan suara, “Tata kramamu semakin meningkat dalam berbicara. Aku lebih
Kalina menggeliatkan tubuhnya yang telanjang dari bali selimut, rasanya enggan untuk bangun meski sinar sang surya sudah memancar menyilaukan mata. Tubuh terasa lemas dan sakit seperti habis terlindas beban berat. “Aunch … sakit ….” “Kau sudah bangun?” Kalina melihat ke arah dekat jendela, di mana Elard sudah duduk mengenakan kemeja putih dan celana formal hitam. Aroma kopi menguar, tersaji dua cangkir masih mengepul panas di meja bersama roti dan selai. “Aku sudah membawakanmu air cuci muka.” Tangan berotot itu mengacungkan jari ke arah nakas dekat ranjang. “Bangunlah dan sarapan dahulu, pelayan sedang ke rumah utama mengambilkan pakaian untukmu! Atau kau mau aku bantu bangun?” ujar Elard melihat Kalina nyengir ketika beringsut duduk. “Aku bisa sendiri.” Gadis itu melilitkan selimut kemudian pelan bangun dari ranjang dan membasuh wajah. “Maafkan aku, itu pengalaman pertamamu, ini juga pertama kali untukku. Sepertinya aku kurang berpengalaman hingga membuatmu kesakitan. Tidak seh