Beberapa saat kemudian, pandanganku kembali normal. Tak lagi kudapati sosok mengerikan Kak Airin, malah kini aku dibuat terheran-heran kala melihat keadaan sekeliling rumah. Interior dalam rumah benar-benar berbeda dengan beberapa saat lalu. Kenapa tiba-tiba bisa begini?
Atensiku pada ruangan pecah saat mendengar suara perdebatan Ibu dan Ayah dari kamar mereka. Gegas aku berlari untuk melihat apa yang terjadi.Sampai di depan kamar, ternyata pintu kamar tak tertutup rapat hingga aku dapat melihat jelas ke dalam. Di mana Ibu tengah menangis sembari marah-marah pada Ayah."Bu ...." Aku memanggil Ibu karena tak tega melihat ia yang menangis pilu.Namun anehnya lagi, Ibu dan Ayah seolah tak mendengar panggilanku dan tak menyadari keberadaanku."Ini semua gara-gara Ayah! Kalau saja Ayah tak mengajak Sutar ikut serta, mungkin keadaan kita sekarang masih tenang-tenang saja!" Sentak Ibu di antara isak tangisnya."Maaf, Bu. Ayah memang sa"Ternyata kau datang juga," desis sosok tua yang waktu itu memperkenalkan diri sebagai Mbah Sedan.Ayah masih terus duduk bersimpuh di hadapannya dengan kepala tertunduk seolah begitu takut untuk menatap matanya."Iya, Mbah.""Apa kau yakin tak akan menyesal dengan keputusanmu ini?"Ayah diam tak menyahut pertanyaan Mbah Sedan. Aku tahu, kini batinnya tengah berperang hebat, antara menyelamatkan diri dan keluarga atau merelakan darah dagingnya."Kalau kau tak yakin, lebih baik kau bawa kembali putrimu itu.""Tidak, Mbah. Saya yakin, seyakin-yakinnya!" Sahut Ayah cepat."Baiklah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, kau membawa siapa bersamamu?"Jantungku mencelos saat tatapan Mbah Sedan beralih padaku sembari tersenyum miring. Secepat kilat aku berbalik badan hendak melarikan diri. Tak kusangka Mbah Sedan bisa melihat sukmaku yang kini sedang berkelana. Tapi wajar saja, ia kan makhluk halus juga.
Seolah sengaja mengelak dariku, Ayah cepat-cepat keluar dari kamar, untuk melihat keadaan di luar. Terlihat sebelum ia benar-benar keluar ia menata ekspresi wajahnya sesedih mungkin. Ibu pun kembali menangis tergugu di depan jasad Kak Airin. Benar-benar patut diacungi jempol akting kedua orang tuaku itu.Aku yang merasa benar-benar kecewa memilih masuk ke kamarku, hendak menjernihkan pikiran. Kira-kira bagaimana aku akan bersikap pada kedua orang tuaku setelah ini? Rasa sedih karena meninggalnya Kak Airin lebih terkalahkan oleh rasa kecewa pada Ayah dan Ibu.Beberapa saat aku di kamar, terdengar riuh beberapa orang masuk ke dalam rumah. Mungkin Ayah sudah memberitahukan perihal Kak Airin. Yang masih jadi pertanyaanku kini, kalau memang Kak Airin sudah mereka tumbalkan kenapa sekarang ia masih ada bersama kami? Atau itu hanya jasadnya saja? Ah, entahlah ....Teka-teki di keluargaku masih benar-benar terlihat rumit dan belum sepenuhnya te
Mendengar teriakan histeris dari orang-orang yang ada di belakang, secepat kilat aku berlari ke sana. Namun ternyata area belakang dan depan pintu dapur sudah dipenuhi oleh para pelayat yang lain hingga untuk melihat keadaan di belakang aku pun tak bisa."Itu beneran Karin masih hidup? Tapi kenapa raut wajahnya begitu?" Para pelayat perempuan yang ada di depanku terdengar saling berbisik."Iya. Seperti bukan Karin, Mbak.""Ehem!" Aku berdehem sengaja memberi kode kepada kedua orang itu bahwa ada aku di belakangnya. Mereka lantas terdiam saat menoleh dan melihatku."Eh, Satria ... Mau lewat ya? Silahkan lewat sini." Seperti merasa tak enak, mereka langsung memberi jalan hingga aku bisa lewat dan keluar dari pintu dapur.Hampir saja aku terjungkal ke belakang saat mataku bersirobok dengan Kak Airin yang kini tengah terduduk di tanah dengan dililit kain jarik. Wajahnya begitu pucat dengan mata melotot tajam menatapi setiap orang. Y
Aku yang tadinya begitu bersemangat ingin ikut mengantarkan kakak satu-satunya ke peristirahatan terakhir langsung kecewa. Ingin membantah tapi takut malah menjadi keributan di tengah malam.Dengan berlagak cuek, aku pun terpaksa menuruti saja semua titah Ayah, lalu memilih masuk kembali ke dalam rumah.Dari ambang pintu terlihat rombongan pengantar jenazah berjalan menjauh, namun kembali kecurigaanku muncul saat tak ada satu pun dari mereka yang melafalkan kalimat tahlil seperti pada umumnya. Apa Ayah juga yang melarangnya?Malas memikirkan hal-hal yang makin membuat kepala penat, aku langsung mengunci pintu hendak mengistirahatkan tubuh. Namun saat langkahku sampai ke ruang keluarga, aku terkejut saat melihat pintu belakang ternyata masih terbuka lebar. Para pelayat yang sudah dibayar Ayah ternyata lupa menutupnya kembali.Bulu kudukku sontak meremang saat melihat kegelapan di belakang sana. Dengan sedikit ragu aku mendekati pintu bela
POV Aswin (Ayah Satria)Tepat pukul setengah dua belas malam, jenazah Airin telah selesai dimakamkan. Kini berganti Hanin yang memainkan perannya.Ia duduk bersimpuh di sisi makam putri kami itu sembari terus menangis pilu. Para lelaki itu menatapnya dengan iba, namun penuh kegalauan."Pak Aswin, jenazahnya sudah selesai dimakamkan. Lalu sekarang kita harus bagaimana lagi? Di antara kami tak ada yang pandai memimpin do'a," ujar salah satu dari mereka."Tak apa, Pak. Yang penting kita do'akan saja Airin di dalam hati kita masing-masing," sahutku dengan bijak.Mereka hanya manggut-manggut saja, namun masih penuh kegalauan di raut wajah mereka."Kalian kalau mau pulang duluan tak apa kok.""Tapi, Bapak--.""Tak apa. Ini kan sudah malam. Saya juga akan segera pulang jika Hanin sudah tenang," lanjutku lagi.Dengan sedikit sungkan mereka pun segera berpamitan padaku. Aku tahu itulah yang jadi kegalauan di hat
Masih POV AswinAku berbalik badan untuk melihat wanita yang paling kubenci itu. Senyum sinis tersungging saat melihat wanita berpenampilan lusuh itu kini berdiri di hadapanku dengan membawa sebuah piring berisi bubur."Tumben makan bubur nasi, biasanya makan bubur singkong. Dapat beras dari mana kalian? Atau jangan-jangan kalian mencuri di warungku ya?"Wanita dengan wajah datar itu sama sekali tak menggubris perkataanku. Ia terus berjalan melewatiku menuju ranjang."Sampai mati pun kami tak sudi makan makanan dari hasil perbuatanmu yang haram itu," sahutnya sembari meletakkan piring tadi di atas meja kecil usang yang ada di sisi ranjang.Harga diriku terluka mendengar hinaan wanita ini. Dasar munafik! Tak ingatkah dia dulu juga pernah merasakan uang dari hasil pesugihan juga?Sreett!Dengan geram aku menarik rambut panjangnya yang terlihat berantakan itu. Namun aku malah dibuat terkejut saat tiba-tiba tangannya dengan cepat menarik dan memelintir tanganku dengan keras."Aaaargh! Lep
"Hei, heiii!"Aku makin keras mengguncang tubuh istriku itu, hingga akhirnya matanya terbuka dengan terpaksa."Maaaass!" Seolah begitu ketakutan ia langsung melompat memelukku yang ada di hadapannya."Aku takut, Mas. Aku takut ...." Ia terus menceracau tak karuan membuat aku merasa tak enak hati karena ada Seno di dekat kami.Jangan sampai Hanin berbicara yang tidak-tidak di dekat Seno, bisa gawat. Apalagi selama ini Seno sama sekali tak tahu tentang rahasia kami."Ini, minumlah dulu, supaya tenang." Aku menyodorkan segelas air yang ada di meja, yang langsung diteguk Hanin hingga tandas."Sudah tenang?" Tanyaku kembali."Mas, aku--."Belum sempat Hanin melanjutkan ucapannya, aku sudah lebih dulu meremas tangannya memberi kode supaya ia tak bercerita macam-macam dulu karena masih ada Seno."Kamu istirahat dulu saja di kamar ya? Aku tahu kamu pasti masih terpukul dengan kepergian Airin. Ayo, aku antar!" Tukasku sembari membantunya berdiri.seolah mengerti dengan kode yang kuberikan, Ha
POV SutarAku menatap tajam tepat di bola mata Aswin. Tak kupedulikan orang-orang yang menatap kami dengan heran. Rasanya kekesalanku begitu memuncak. Aku benci lelaki munafik yang kini ada di hadapanku. Walaupun karena dirinya lah aku jadi kaya, tapi aku tahu dibalik sikap baik-baiknya padaku ia sebenarnya begitu busuk. Apalagi setelah kehilangan anak perempuannya itu.Usai berkata demikian, aku kembali melanjutkan perjalanan. Malas membuang-buang waktu untuk orang munafik itu. Kulanjutkan langkah dengan menggandeng lengan Sutini yang terus saja menangis. Kami benar-benar terpukul karena harus kehilangan anak kami. Padahal aku sudah mati-matian untuk mencari tumbal agar anakku tak berakhir sama seperti anak Aswin.Namun sialnya, bencana malah datang dari orang yang tak kami sangka-sangka. Mengingat itu, hatiku menjadi geram. Padahal aku sudah berusaha menyelamatkan Karin dengan meminta pertolongan Mbah Sedan, tapi kenapa hasilnya malah begini?
"Sudah-sudah! Dari pada bergunjing seperti itu, lebih baik kita bantu sekalian untuk menguburkan jasad Airin ini," ujar Ustadz Arif yang akhirnya bisa menenangkan para warga itu.Jadilah kini dua jasad diurus sekaligus dalam rumah Satria itu.Hanin yang tadinya begitu sedih, langsung berubah sikap dan raut wajahnya.Air matanya berhenti seketika. Matanya nanar melihat ke jasad anaknya tersebut. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar.Satria yang melihat perubahan pada sikap ibunya itu lantas langsung mengejarnya.Walau dalam hati ia sudah bisa menebak, bahwa ibunya turut andil dengan masalah Airin ini. Tapi setidaknya ibunya sudah mau berubah dan menyesali perbuatannya."Bu ...." Satria ikut masuk ke kamar ibunya dan mengunci pintunya rapat-rapat."A--aku jahat! Aku orang yang jahat!" Kembali ibunya terlihat kacau dan frustasi, ia melepas kerudung yang sejak tadi digunakannya dan mengacak rambutnya kasar."Bu, suda
POV Author"Seorang mayat pria ditemukan mengambang di sebuah parit besar di desa Tandan Hilir ....""Sat! Satriaa! Sini!" Hanin yang baru saja mendengar berita yang dibawakan oleh seorang Reporter di TV itu langsung berteriak memanggil anaknya.Ia tak tahu, padahal sejak tadi Satria sudah memandanginya dengan gelisah di balik pintu kamar. Beberapa saat lalu, Satria baru saja menerima telepon dari Seno. Ia juga bertanya-tanya, bagaimana Seno bisa memiliki nomor teleponnya yang baru. Namun, setelah ia tanya lebih lanjut, ternyata nomor tersebut didapat Seno dari Aini--bibinya.Seno menghubunginya untuk memberi kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Aswin ditemukan mengambang tak bernyawa di sebuah parit besar. Ada dugaan Aswin bunuh diri karena begitu frustasi melihat warung keduanya terbakar. Remuk hati Satria mendengar kabar itu. Walaupun ayahnya sudah begitu jahat karena sudah menumbalkan kakaknya, namun tetap saja ia masi
Mataku nanar melihat lembaran uang dalam genggaman. "Iya, Pak. Kan sudah beberapa hari ini Bapak gak belanja ke pasar, jadi pemasukan benar-benar berkurang, Pak," ujar Seno sembari tertunduk dalam. Mungkin ia takut aku menuduhnya macam-macam. Apalagi aku juga baru saja ditipu oleh karyawanku yang lain."Tapi kan, No--."Ucapanku terhenti saat sadar siapa yang sedang aku ajak bicara. Mana Seno tahu menahu soal uang pesugihan yang selalu lancar kuterima setiap hari."Kenapa, Pak?""Em, tak. Tak apa. Ya sudahlah kalau gitu kamu tutup saja warungnya. Besok saya belanja," ujarku gusar lalu berlalu hendak masuk ke rumah.Lagi-lagi keganjilan muncul. Kenapa uang hasil pesugihan tak datang kepadaku? Sebenarnya apa yang terjadi? Mbah Sedan pun ikut menghilang.Saat langkah ini baru akan melangkah keluar warung, terdengar suara pembeli datang.Sontak aku menghentikan langkah karena merasa asing dengan suara yang tak kuke
Belum sempat aku membalas pesan yang dikirim bodyguard tersebut. Pesan dari nomor misterius yang menerorku kembali muncul.[Bukannya aku sudah bilang jangan macam-macam denganku? Sekarang kau tanggung akibatnya!]Sial! Seolah tahu aku tengah galau soal kematian bodyguard tersebut, wanita itu malah kembali mengancamku.Tak kusangka, ternyata wanita tersebut bukanlah orang sembarangan. Aku telah menganggapnya terlalu remeh.Setelah memberi instruksi pada bodyguard yang kukirim terakhir, aku memilih menutup warung lebih awal. Sungguh, suasana hatiku kacau balau kini.Aku tak mau percaya karma, bagiku karma itu bisa dilawan jika kita berusaha. Tapi kenapa sekarang aku malah tertimpa masalah bertubi-tubi.Langit sudah mulai meremang. Matahari perlahan pun mulai kembali ke peraduannya. Gegas kulajukan kuda besi hendak pulang ke rumah. Namun, entah karena masalah yang sedang menimpaku, aku memilih membelokkan motor ke jalan setapak di samping kebun tebu yang biasanya menjadi akses aku untuk
Tok! Tok!"Pak! Bapak di dalam?" Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara Seno dari luar.Dengan penuh semangat aku bangkit setelah sedari tadi lunglai di atas lantai."Iya, No. Saya di sini. Tolong bukakan pintu ini, No," teriakku menyahuti."Tapi pintu ini tergembok, Pak. Kuncinya tak ada. Coba biar saya dobrak ya, Pak?""Iya, No. Terserah kamu saja. Yang terpenting pintu bisa terbuka. Saya harus ke bank pagi ini," ujarku kalut.Bukan tanpa alasan perasaanku kalut. Karena baru saja aku kembali menerima sebuah pesan dari orang misterius yang memerasku itu. Lebih terkejut lagi kala yang ia kirim kali ini adalah videoku tadi malam menyiksa Aini. Kali ini ia mengancam, jika aku tak menemuinya hari ini dan tak memberikan uang, maka video aku menyiksa Aini akan sampai ke tangan polisi dan aku akan terkena pasal berlapis, karena sudah mengurung dan menyiksanya.Benar-benar aku dibuat penasaran, bagaimana bisa orang tersebut merekam kejadian malam tadi. Atau bisa jadi oran
Masih POV AswinHatiku makin gusar menatapi layar ponsel. Hariku sudah kacau karena Satria dan Hanin kabur, ditambah lagi karyawanku sendiri menusuk dari belakang. Dan sekarang ... Masuk pesan ancaman entah dari siapa.Jemariku lekas menekan nomor tak tak dikenal tersebut, bermaksud untuk menghubungi. Namun sial, sepertinya orang tersebut memang sengaja ingin bermain-main denganku, panggilanku ditolaknya.Tlung!Dering pesan masuk kembali bergema dari ponsel. Begitu dibuka ternyata ada pesan masuk lagi dari orang tersebut.[Jangan coba-coba menghubungi atau mencari tau soal aku. Kalau tak, bukti-bukti ini akan kusebarkan.][Lalu apa maumu?] Balasku tak senang.[Sudah pasti yang kuinginkan pertama kali adalah uang.] Jawabnya cepat.Aku mendengus kesal begitu mengetahui keinginannya tak jauh-jauh dari materi semata.***Aku mengacak rambut frustasi saat melihat keadaan warung di Desa sebelah yang porak-poranda. Pelanggan yang biasa berbelanja di warungku manyampaikan simpatinya dengan m
POV Aswin (Ayah Satria)Aku tergeragap saat mendengar suara gedoran pintu dari luar. Makin terkejut saat melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka lima lewat tiga puluh menit.Gawat! Bagaimana aku bisa sampai kesiangan. Seharusnya jam segini aku sudah pulang belanja keperluan warung dan sudah mulai membuka warung.Cepat aku bangkit hendak membuka pintu saat mendengar Seno yang terus-menerus memanggil sembari menggedor pintu."Bapak kesiangan?" Tanya Seno begitu aku membuka pintu."Iya, No. Entah kenapa saya kok bisa tertidur sampai tak sadar apapun."Firasat tak enak mulai melintas di kepalaku. Apalagi aku belum pernah tidur senyenyak itu."Jadi sekarang bagaimana, Pak? Di luar sudah ramai orang mau belanja," tanya Seno saat melihat aku hanya tercenung."Kamu buka saja dulu warungnya. Tak apa kita tak belanja hari ini. Yang penting warung tetap buka."Seno mengangguk patuh, lalu berbalik hendak menuju warung. Tapi aku kembali menahannya."Sekalian telponkan Iwan, suruh ambil kunci kem
Walau tak paham apa rencana makhluk itu, aku tetap menurutinya.Berusaha terlihat sesantai mungkin, aku keluar dari kamar.Melihat pintu kamarku terbuka, Ayah yang sedang duduk di sofa ruang tamu menoleh. Namun, aku berusaha mengacuhkannya dan menuju ke arah belakang.Sampai di dapur, terlihat asisten tadi tengah membuat kopi untuk Ayah. Terlihat pula sosok Kak Airin sudah berdiri di dekat wastafel yang sedikit berjarak dari wanita itu.Dengan bahasa isyarat, sosok Kak Airin tersebut menyuruhku masuk ke kamar mandi. Aku pun lantas menurutinya.Penasaran aku mengintip keluar, namun sudah tak ada sosok Kak Airin. Kini hanya tinggal Asisten tersebut, ia tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Sembari berjalan menjauhi meja dapur, menuju pintu belakang."Cepaat masukkan obatnya!" Aku kembali terkejut saat sosok Kak Airin sudah ada di dalam kamar mandi bersamaku.Dengan mengendap-endap aku berjalan mendekati cangk
"Aku tak meminta yang macam-macam. Aku hanya ingin, jika semua ini berakhir, tolong kuburkan jasadku dengan layak."Aku terenyuh mendengar permintaan jin qorin Kak Airin itu. Rasa geram seketika menyeruak pada Ayah. Tak hanya tega membunuh, ia pun sampai hati melihat jasad anaknya digunakan oleh jin jahat.Aku pun menyetujui persyaratan darinya. Kami segera mengatur siasat bagaimana supaya bisa kabur dari rumah Ayah dan membawa Ibu kepada Kyai teman Ustadz Arif.Dari hasil pembicaraanku tadi malam bersama Bi Aini, ia ingin membawaku kabur dari tembok belakang. Ia punya pintu rahasia yang selama ini selalu menjadi aksesnya keluar masuk. Tadi malam ia hendak membawa kami kabur dari sana, tapi akhirnya harus gagal karena kemunculan Nyai Surti.Setelah mengatur siasat, sosok jin qorin Kak Airin itu pun bercerita bahwa sebenarnya Ibu berhalusinasi seperti itu bukan karena gangguan darinya atau korban-korban tumbal yang lain. Memang benar setelah meninggal jin-jin qorin korban tumbal Ayah b