POV SutarAku menatap tajam tepat di bola mata Aswin. Tak kupedulikan orang-orang yang menatap kami dengan heran. Rasanya kekesalanku begitu memuncak. Aku benci lelaki munafik yang kini ada di hadapanku. Walaupun karena dirinya lah aku jadi kaya, tapi aku tahu dibalik sikap baik-baiknya padaku ia sebenarnya begitu busuk. Apalagi setelah kehilangan anak perempuannya itu.Usai berkata demikian, aku kembali melanjutkan perjalanan. Malas membuang-buang waktu untuk orang munafik itu. Kulanjutkan langkah dengan menggandeng lengan Sutini yang terus saja menangis. Kami benar-benar terpukul karena harus kehilangan anak kami. Padahal aku sudah mati-matian untuk mencari tumbal agar anakku tak berakhir sama seperti anak Aswin.Namun sialnya, bencana malah datang dari orang yang tak kami sangka-sangka. Mengingat itu, hatiku menjadi geram. Padahal aku sudah berusaha menyelamatkan Karin dengan meminta pertolongan Mbah Sedan, tapi kenapa hasilnya malah begini?
Entah pukul berapa, aku yang tadi sempat pingsan lagi tiba-tiba tersadar saat mendengar suara orang memanggil-manggilku.Kuperjelas pendengaran untuk memastikan aku tak salah dengar. Tapi semakin kudengarkan, ternyata itu memang suara warga yang sedang mencariku.Aku baru sadar, pasti Sutini yang mengabarkan pada mereka soal aku yang hilang."To--long ... Aku di sini," rintihku berusaha sekeras mungkin. Namun tetap saja tak terdengar oleh mereka.Aku makin putus asa saat mendengar suara mereka menjauh perlahan. Sepertinya memang aku akan berakhir di tempat ini.***"Astaghfirullah ... Toloong! Ada orang di sini."Hari sepertinya sudah berganti. Aku mengucap syukur dalam hati saat mendengar suara orang yang sepertinya menemukanku. Aku mendengarnya. Hanya tak sanggup lagi rasanya untuk membuka mata. Badanku terasa remuk redam menahan berbagai rasa. Bahkan saat beberapa orang berusaha mengeluarkanku dari lubang te
Masih POV SutarMobil berhenti tepat di pelataran warung yang tertutup rapat. Dengan dibantu Dasiman dan Sutini aku pun turun. Saat melihat ke sekeliling rumah, aku heran mendapati keadaan rumah begitu kotor. Padahal biasanya ada pekerja yang membersihkannya."Kenapa rumah seperti tak berpenghuni begini?" Tanyaku pada mereka."Aku juga tak tahu, Bang. Selama di rumah sakit, aku sama sekali tak bisa menghubungi siapapun. Termasuk Imah," sahut Sutini.Dengan sedikit kesal, aku bergegas masuk ke rumah. Keadaan dalam rumah lebih parah berantakannya. Apalagi sewaktu ditinggal, kami baru saja menghadapi kemalangan."Imah benar-benar tak membereskan rumah sepertinya," ujar Sutini sembari mendengus kesal melihat keadaan rumah yang porak poranda."Coba kamu telepon dia. Suruh dia datang sekarang. Aku tak bisa istirahat jika keadaan rumah seperti ini," titahku bak seorang raja.Tanpa perlu kuperintah dua kali, Sutini langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi wanita yang biasa bekerja memb
Malam merangkak naik, aku yang terus merasakan sakit pada sekujur tubuh sama sekali tak bisa memejamkan mata. Hanya bisa terbaring gelisah di atas ranjang empuk kami.Tepat jarum jam menunjukkan tengah malam, terdengar suara ketukan dari luar. Entah dari pintu yang mana, aku pun tak tahu.Aku masih bisa berpikir waras, tak mungkin ada manusia waras yang mengetuk pintu rumah orang malam-malam buta begini.Berusaha mengabaikan ketukan tersebut, aku pun kembali memejamkan mata, walau tetap saja tak dapat terlelap juga.Semakin aku memejamkan mata, suara ketukan itu makin keras terdengar, sungguh mengganggu sekali.Saat hendak menutup telinga dengan bantal, tiba-tiba terdengar suara Ibu memanggil namaku. Sontak aku terhenyak. Berpikir bisa saja itu memang Ibu yang sedang mengetuk. Sebab Ibu selama ini tinggal sendiri di belakang rumah kami. Apa jangan-jangan Ibu sakit sampai harus mendatangiku malam-malam begini?"Tin, Tini ...." Aku mengguncang tubuh Tini yang tengah terlelap di sebelahk
Hingga pagi harinya Tini masih terus mendiamkan aku. Aku tahu, ia pasti terkejut sekali karena tiba-tiba aku meninju wajahnya dengan keras.Aku pun sampai kini masih heran, kenapa dari kemarin terus saja berhalusinasi yang aneh-aneh. Apa ini memang efek dari sakit yang tengah kurasakan.Aku terus terkapar di atas ranjang, karena tak sanggup rasanya beraktivitas dengan keadaan tubuh yang begitu sakit. Ditambah tadi malam aku tak bisa beristirahat dengan normal.Tok! Tok! Tok!Aku yang baru akan kembali memejamkan mata langsung terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu kamar. Lagi-lagi aku merasa dejavu dengan kejadian tadi malam saat Ibu datang.Tapi ngomong-ngomong, siapa yang mengetuk pintu itu? Kalau Sutini sudah pasti ia langsung masuk saja tanpa mengetuknya."Siapa?" Tanyaku dengan perasaan mulai was-was."Imah, Pak."Aku menghela napas lega mendengar suara ART mudaku itu. Ternyata Imah sudah pulang. Pasti bapaknya malu sekali saat ini karena sudah menuduhku menculik Imah."M
Tubuhku membeku seketika saat hawa dingin dari tangan tersebut menjalar ke seluruh kulit tubuhku. Jangankan untuk berlari, untuk bergerak atau berteriak saja pun lidahku terasa kelu.Tubuhku langsung gemetaran hebat saat wajah Karin yang begitu pucat ikut muncul dari balik jendela. Wajahnya yang pucat terlihat begitu sendu."Kenapa Ibu tega sekali padaku, Yah?" Sosok Karin berucap begitu lirih penuh dengan kesedihan.Aku yang masih begitu syok dengan kehadirannya sama sekali tak bisa berkata apa-apa."Apa Ayah pun akan berpikir untuk mengorbankan aku jika tak dapat tumbal?" Tanya sosok Karin tersebut dengan nada begitu dingin.Aku langsung menggeleng keras karena masih tak mampu menjawab apapun."Dasar munafik!"Braaakk!Tangan pucat Karin yang tadi memegang lenganku kini beralih mendorong tubuhku dengan keras hingga aku terpental ke belakang menghantam tempat tidurnya.Bibirku melenguh merasakan sakit di tubuh yang kena hantaman. Aku yang jatuh tertelungkup di lantai dekat tempat tid
Aku dan Sutini sontak terkejut mendengar laporan dari Dasiman.Mayat? Mayat siapa pula yang ada di halaman rumah kami?Dengan perasaan yang mulai tak nyaman, aku bangkit mengikuti langkah Dasiman yang terlihat sedikit gemetaran itu. Sepertinya ia begitu syok.Bertiga kami keluar melalui pintu dapur hendak menuju halaman samping. Sebelum sampai di halaman samping terlihat ibuku sedang duduk di teras rumahnya sembari menjahit. Ia acuh saja melihat kami yang berjalan tergesa menuju halaman samping.Sampai di sana, terlihat begitu banyak dedaunan kering menumpuk menutupi permukaan tanah. Dasiman langsung membimbing kami menuju tempat ia menemukan mayat tadi."Itu, Bos." Dasiman menghentikan langkahnya lalu menunjuk ke arah sebuah semak.Sedikit ragu aku maju beberapa langkah untuk melihat dengan jelas mayat tersebut, Sutini mengikuti di belakangku dengan takut-takut."Astaga!"Aku refleks memalingkan wajah saat melihat kondisi mayat tersebut. Dari rambut sepertinya mayat itu adalah mayat
Berusaha memperjelas pendengaran, sepertinya itu memang suara garukan di jendela.Aku kembali memejamkan mata di dalam selimut. Tubuh kaku tak ingin bergerak sedikitpun, supaya teror itu cepat pergi."Di--ngiin ...."Entah dari mana datang angin yang bertiup kencang, membawa lirih suara seorang wanita."Aku mau pulang, Pak ...."Mata yang sedari tadi terus kukatupkan kembali membuka lebar saat menyadari bahwa itu adalah suara Imah.Namun detik berikutnya, suara di jendela maupun suara tersebut menghilang. Berganti suara ketukan yang kembali terdengar di pintu belakang.Kali ini aku tak akan percaya pada siapapun yang mengetuk pintu tersebut, karena tadi siang Ibu sama sekali tak mengakui telah mendatangiku malam kemarin. Bisa jadi itu pun bukan Ibu.Namun keraguanku seketika runtuh kala mendengar suara panggilan Ibu. Kali ini dengan menjerit histeris."Sutaaar! Tolong Ibu, Sutaaar! Aaargh ...!"Hatiku begitu kalut kini. Antara ingin percaya dan tidak. Walau aku ini suka menumbalkan or