Jika boleh aku meminta bagaimana bentuk jodohku mungkin aku ingin meminta seperti Kim Namjoon, Kim Taehyung atau Kim Soekjin juga boleh pokoknya selama itu BTS bisa dimusyawarahkan. Tak perduli meski sikapnya dingin, menyebalkan dan datar kayak papan cucian tetap saja aku akan mencoba bersabar.Namun, sayangnya jodohku bukan mereka. Jodohku ya Mas Aksa yang kata orang ganteng, cool dan kaya tapi tetap saja bagiku dia hanya bisa menyakiti karena di hatinya sekarang cuman ada ... Nadia.Ya, Nadia. Seorang janda yang punya segudang multitalenta, dia juga katanya bidan di salah satu rumah sakit swasta. Gak heran pembawaannya yang keibuan membuat dia terlihat bersahaja, berbeda denganku yang hanya tamatan SMA dan gak punya skil apa-apa.Dan sialnya, setelah aku cukup merasa minder dengan semua keahlian Nadia, takdir malah mempertemukanku dengannya di depan lift hotel di saat aku dan Mas Aksa mau pergi ke kamar kami.Entah mengapa, dari gelagatnya aku merasa sekarang perempuan itu menjadik
Kupandangi wajahku di cermin dengan pasrah. Masih tak menyangka, bahwa dalam waktu secepat kilat, Mas Aksa berhasil melihat diriku yang bisa dikatakan setengah t*lanjang.Amsyong, sungguh amsyong! Padahal dulu aku begitu menjaga, tak pernah sekalipun badanku ini ditunjukan kepada lelaki mana pun. Namun, sekarang? Akibat kebodohanku yang tak tahu situasi aku malah ... ah! Aku bahkan terlalu malu untuk mengingatnya. Walau kami suami istri, entah kenapa rasa canggung masih menyelimuti.Oh ya Allah, mau ditaruh di mana coba mukaku ini?Jujur saja, akibat tragedi nahas bin memalukan tadi pikiranku serasa terkotori.Setiap mau melakukan sesuatu, anehnya benakku selalu saja teringat pada adegan di mana aku melihat Mas Aksa berdiri dengan hanya menggunakan kolor Calvin Klein miliknya yang membuatnya semakin seksi.Oh Tuhan! Entah apa yang merasukiku, hingga gara-gara itu di setiap sudut kamar ini aku hanya terbayang kolor, kolor dan kolor.Aku tidak tahu harus bagaimana sikapku jika Mas Aks
Sebagai wanita yang dinikahi bukan karena cinta, sudah sepatutnya aku sadar kalau keberadaanku di sisi Mas Aksa mungkin tak diinginkan. Walau akhir-akhir ini sikapnya sudah mulai membaik gak sekejam sebelumnya, akan tetapi tetap saja kurasa Mas Aksa belum bisa membuka perasaannya untukku. Mas Aksa tetaplah Mas Aksa. Bagiku, dia akan menjadi pria yang paling sulit dijangkau karena di matanya bisa jadi aku hanyalah mantan pembantu yang dia tolong. Terlebih jika kami bertemu dengan Nadia, sudah dipastikan aku akan diabaikan dan akan menjadi pihak yang sangat-sangat dirugikan seperti sekarang.Siapa sangka, di saat aku dan Mas Aksa sedang asyik dinner eh si Nadia sama Joan tiba-tiba datang mau ikutan makan.Ya Allah, apakah takdir sedang mempermainkanku? Kenapa juga kami harus bertemu dengan Sundel Bolong itu?"Gimana? Kita boleh duduk bareng? Kebetulan di bagian sana udah penuh maklum ini weekend," bujuk Joan menambahkan ketika kami hanya diam tatkala dia meminta ijin untuk gabung alia
Bangun di pagi hari, rasanya semua penat dan kelelahan di tubuh ini mendadak hilang. Badan kembali segar dan siap berpelesiran di pulau Dewata--Bali. Usai peregangan versi kucing beranak, kutengokkan kepalaku ke kanan dan ke kiri dan tiba-tiba aku tersadar kalau Mas Aksa tidak ada di sofa. He, kemana dia? Jam berapa dia bangun? Perasaan semalam dia masih ada di sana. Padahal ini masih jam setengah lima pagi. Tumben!Halah, bodo amatlah. Bukan urusanku ini. Lagipula aku senang tidak perlu bersembunyi dari Mak Aksa usai fenomena kentut yang memalukan semalam. Ya Allah. Kalau ingat itu, ingin rasanya aku menggali sumurku sendiri. Bisa-bisanya aku kentut di kamar tanpa perhitungan, harusnya aku bisa menahan itu. Untungnya Mas Aksa hanya berkomentar singkat, padat dan gak jelas coba kalau dia menceramahiku bisa-bisa pagi ini telingaku sudah pengang."Dasar Jingga bodoh!" rutukku pada diri sendiri. Setelah merapikan rambut sekenanya, secara setengah sadar aku memutuskan untuk beranjak dar
Mungkin ini yang dinamakan kemarahan seorang suami yang hampir dipermalukan istri. Marahnya itu benar-benar mengerikan bak singa yang diganggu tidurnya.Lihat saja, meski aku berlari dan menghindar tetap saja Mas Aksa dapat mengejarku. Matanya yang menyorotkan sinar kegarangan membuatku tak bisa ke mana-mana dan mendadak kelimpungan."Maaf, Mas! Gak sengaja! Maaf!" teriakku panik seraya terus memaksa kaki berlari ke arah samping kiri tapi sayangnya Mas Aksa malah kian mendekat. "Jingga! Siniin ponselnya! Hapus videonya!" pinta Mas Aksa memaksa tapi aku gak mau langsung menyerah, bagaimana pun ini tayangan yang sangat langka.Kapan lagi aku bisa melihat suamiku push-up dengan celana yang ketat?Aku menggeleng kuat. "Nggak Mas, gak mau! Jingga janji gak akan nyebarin tapi tolong jangan dihapus!""Jingga hapus!""Enggak Mas!"Aku terus mengelak saat Mas Aksa terus mencoba menggapaiku dengan membabi buta. Hingga beberapa orang memperhatikan kami yang saling mengejar kaya artis India yang
"Maaf, Nad. Saya paham kamu sedang bersedih tapi tolong jangan begini. Tolong kendalikan diri kamu."Di luar dugaan, Mas Aksa melepaskan pelan pelukan Nadia lalu melirikku yang berdiri syok di sampingnya.Namun, tak lama perhatian Mas Aksa dengan cepat kembali kepada Nadia. Tanpa sadar aku menghela napas pelan. Aku tahu saat ini Mas Aksa lebih tertarik pada Nadia dibanding kepadaku, meski mulutnya menolak untuk dipeluk tapi kekhawatiran jelas terlihat di matanya. "Tapi Sa, aku gak tahu ke siapa lagi minta tolong. Kamu mau ngantar aku pulang kan? Setidaknya tolong beri aku tumpangan ke bandara," pinta Nadia, masih dengan uraian air mata.Sebagai kaum wanita, aku tahu betul kebiasaan para pelakor seperti ini. Dia sengaja menunjukan sisi lemahnya agar lelaki iba dan lalu mengikuti semua keinginannya.Dasar rubah licik! Kenapa coba harus Mas Aksa yang dia ganggu? Ya Allah, dosakah aku jika marah pada Nadia? Dosakah aku jika ingin menarik rambutnya padahal dia sedang berduka?Mas Aksa meng
Jangan disangka aku akan tega meninggalkan Jingga sendirian di kamar hotel. Meski pun aku merasa menjadi suami yang cukup buruk tapi tetap saja aku masih punya hati nurani untuk tak menjadikan Jingga kesepian. Makanya, setelah Nadia akhirnya sadar dan saudara Nadia yang kuhubungi datang tanpa buang waktu aku langsung kembali ke hotel dengan secepat kilat. Saat itu tak kuperdulikan lagi raungan Nadia ketika berusaha menahanku untuk pergi karena otakku hanya diliputi satu nama yaitu Jingga.Nahas, begitu langkah kaki ini hampir sampai ke depan kamar hotel, mataku tetiba disuguhi pemandangan yang memedihkan mata.Dahiku reflek mengernyit ketika menemukan Jingga sedang dipegang tangannya oleh Joan, mereka tampak mengobrol di depan kamar hotel. Perasaanku yang semula khawatir kontan berubah, dadaku bergemuruh panas seakan tak ikhlas Jingga terlihat dekat dengan Joan.Sejujurnya, beberapa kali aku sudah curiga pada Joan karena memergokinya sering mencuri pandang ke arah Jingga. Bahkan Joan
Aku terbangun dari lena, menggeliat dan mengganti posisi menghadap ke samping. Namun, ada yang aneh sepertinya bau yang kucium kali ini berbeda dengan bantalku yang biasanya. Kali ini wanginya lebih maskulin dan menenangkan. Lalu, uniknya ketika kuraba rasanya agak empuk-empuk enak gitu.Ini apa sih? Kok bantalnya berubah?Penasaran, perlahan aku membuka mata dan seketika pupil mataku melebar tatkala menangkap lengan Mas Aksa yang berotot dan gelayut-able itu sedang kucium. "Astaghfirullah! Mas, Aksa?" tanyaku terperanjat seraya melepaskan tangan Mas Aksa. Bak ketemu hantu, aku langsung menutup setengah muka dengan perasaan malu.Bagaimana bisa aku menjadikan lengan Mas Aksa ini bantal? Duh, ketahuan sekali kalau aku sedang terbawa mimpi. Jujur, sebelum bangun tadi aku sempat bermimpi yang iya-iya, masa aku melihat Mas Aksa menciumku? Ya Allah! Otakku ini kayaknya butuh diruqyah! Gak nyangka efek demam bisa segininya. Mas Aksa tersenyum lembut sambil menatapku. "Hai Jingga, gimana
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia