Aku tahu sulit rasanya meminta keadilan kepada manusia karena Tuhan juga sudah bilang lewat kalamnya kalau hanya Dia-lah yang Maha Adil. Namun, sebagai manusia yang punya sifat kecewa sudah sepantasnya aku mencari makna adil menurutku sendiri. Aku bukanlah orang lemah yang mau terus-menerus dianiaya. Aku juga punya batasnya dan ingin bahagia. Aku masih ingat dulu sewaktu umurku 19 tahun, suatu saat aku sempat mau kabur dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan Teh Tari dan Mamak. Aku merasa dunia hanya adil bagi sebagian orang, aku tak pantas berada di lingkaran Teh Tari dan Mamak. Namun, ketika aku mulai marah pada keadaan dan bersiap pergi mencari kebahagiaanku sendiri tetiba malamnya aku bermimpi almarhum bapak menemuiku. Bapak bilang. "Neng, yang sabar ya? Kalau Neng pergi, siapa yang jaga rumah Bapak? Kalau Neng pergi, siapa yang sayang sama desa ini? Kalau Neng pergi, siapa yang jaga Mamak?" Oh Tuhan! Di dalam mimpi itu, aku merasa bapak seolah benar-benar berbicara pada
Pak Candra : Halo, Hana, apa kabar? Minggu ini kamu masuk kuliah, kan? Me : Masuk Pak, insya Allah kalau Allah menghendaki. Emang kenapa, Pak?Pak Candra : Enggak. Saya takut kamu masih di kampung. Me : Oh, aman Pak. Suami saya sudah balikin saya ke Bandung.Pak Candra : Syukurlah. See you on saturday night, Hana.Ceilah! Gayanya saturday night. Berasa banget aku lagi malam mingguan sama dosen padahal aku ada kuliah karyawan.Aku menggeleng pelan melihat chat dari Candra. Heran sama dosen satu itu, semenjak Mamak meninggal dia lebih sering memperhatikanku dan hal itu membuat aku jadi gak enak hati. Bukan apa-apa, masalahnya Tsabit gak suka kalau ada cowok yang menghubungiku. Terutama Surya dan Candra, sekali pun Candra sahabatnya, Tsabit teramat posesif.Heran. Apa dia cemburu? Masa sih? Agh, kuharap sih begitu. Ge-Er!"Howaaah!" Aku menguap pelan seraya meletakkan ponsel di atas nakas. Entah mengapa, malam ini aku merasa sangat lelah dan mengantuk tapi anehnya aku gak berani untuk
Mataku terbuka saat suara dengkuran paling halus menyapa telinga. Perlahan memicing mencoba mengenali sekitar, baiklah aku masih ada di bumi, lebih tepatnya di kamar hotel yang mewah bukan di khayangan.Perlahan tapi pasti, kugerakan kepala ke kiri karena dari sanalah suara dengkuran halus itu berasal. Alangkah terkejutnya aku tatkala mataku menangkap sosok tak asing yang begitu menawan."Ceileh, ini dia suami ganteng tuh?" Aku memekik pelan seraya menutup mulut yang menganga.Melihat Tsabit yang tengah tertidur layaknya bayi aku jadi teringat kejadian tadi malam. Aku yang sudah bersemangat ngajak kawin nyatanya malah ditinggal tidur. Bener-bener terlalu dia Ferguso! Alhasil karena ngerasa malu, aku pun menenggelamkan diri di bantal dan membuat pulau kenangan daripada menunggu Tsabit mau kawin. Lagi pula sejujurnya aku tak berharap banyak. Sudah kuduga, hati Tsabit itu gak bisa ditebak keinginannya, entah dia masih suka sama Jingga atau tidak karena dia gak pernah bilang.Namun, mes
Salah ini benar-benar salah!Aku harus tidur, tidak boleh ngeronda seperti ini. Sebenarnya, setelah mendengar kalau ponsel Tsabit dipegang Teh Tari, otak dan hatiku seolah berdebat. Satu sisiku mengatakan kalau itu hanyalah kebetulan, lagi pula kakak tiriku itu sekretarisnya. Sudah sepantasnya Tsabit meminta bantuan sama Teh Tari atau meminta keputusannya. Namun, sialnya di satu sisi lain setan mulai membisiku kalau hal itu bisa saja berlanjut menjadi hubungan yang serius. Bukankah begitu banyak novel, film sampai drama yang mengangkat kisah tentang skretaris yang dicintai bosnya?"Huh!" Aku menghembuskan napas kesal. Malam ini, di kamar milik Tsabit yang ada di rumah Bu Zela, entah berapa kali aku sudah membolak-balikan badan, mencari posisi yang pas untuk tidur tapi anehnya mataku tidak mau terpejam. Hah! Tidak! Tidak aku harus mengenyahkan perasaan galau ini. Segera, aku melangkah keluar kamar Tsabit. Beberapa ruangan di rumah mertuaku sudah gelap. Mungkin semua orang sudah tidu
Aku tahu kalau bersembunyi itu tindakan pengecut. Seharusnya aku tidak bersembunyi seperti ini. Sejak kapan aku jadi penakut seperti ini, ya?Oh, shit! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kedatangan Tsabit ke kantin benar-benar di luar dugaan. Perasaan dia gak bilang akan pulang di chat, makanya aku berani mengabaikannya. Siapa sangka, dia malah udah nyampe Bandung aja. Aku yakin jika dia melihatku, Tsabit akan marah. Dia akan bertanya banyak hal tentang ini dan itu.Ah, aku tidak bisa menemuinya sekarang karena belum siap. Tidak! Melihat kondisi yang tidak mendukung, tanpa ba-bi-bu aku ngacir ke kolong meja yang kebetulan diberi hordeng kolongnya tersebut.Aku memutuskan sembunyi di antara kaki-kaki meja yang tingginya lumayan setinggi orang dewasa kalau lagi jongkok. Beruntung, aku memilih meja paling pojok sehingga tertutupi oleh orang-orang yang sibuk cari muka dengan Tsabit. Keadaan yang berubah jadi hectic ini membuatku bisa leluasa ngumpet. "Ya ampun, ini ganteng banget sih
Aku ingat awal kegilaan ini dimulai, yakni kesepakatan untuk menjadi istri bayaran senilai 500 juta rupiah. Mulai dari sanalah, kehidupanku seolah jungkir balik. Membuatku menjadi wanita yang mulai punya obsesi dan mengingkari janjiku sendiri. Namun, tak kusangka semua keputusanku itu semakin membawaku ke dalam perangkap seorang Tsabit. Oh, Tuhan! Aku tidak bisa terus-terusan digoda seperti ini. Dia menatapku dalam membuat pipiku memerah. Aku mencoba membalas tatapannya tapi yang ada malah jantungku berdebar sangat brutal. "Pak! Tolong jangan begini ini kantor!" Aku mendorong tubuh Tsabit supaya sedikit menjauh tapi tampaknya nggak berarti apa-apa karena tubuhnya besar.Aku kira dia mengajakku untuk meminta penjelasan tentang aku yang ketahuan bersembunyi di kolong meja.Ternyata, eh ternyata! Dia malah menerkamku bak singa lapar."Stop panggil saya 'Pak'! Sudah saya bilang kan saya suami kamu, Hana! Saya suamimu. Saya benci kamu panggil Pak. Kamu paham itu, kan?" Kalimat itu diucap
"Seksi." Dia bergumam sambil tersenyum. "Gak nyangka kamu cocok juga."Dahiku sontak berkerut, berusaha menstabilkan debaran jantung yang menggila karena melihat suamiku tiba-tiba masuk ke kamar pas. Yaelah, kenapa di ada di sini pas aku lagi baju seksi lagi? Kan aku jadi malu. Aku merasa aku lebih mirip lemper dipitain kalau pakai lingeri dibanding wanita seksi."Mas? Mas kenapa bisa masuk ke sini? Ke mana Tsania? Tsan! Tsan!" Aku berteriak panik sambil membuka pintu kamar pas sedikit sekalian mengecek di luar sana apakah ada orang atau tidak tapi sialnya tak ada satu pun yang menjawab. Toko lingerie bermerek itu seakan sengaja dikosongkan. Menyadari kalau aku terjebak, langkahku otomatis mundur beberapa langkah dari badan Tsabit. Sumpah ya, lelaki satu ini selalu hobi membuat istrinya jantungan. Di kantor dia seenaknya menciumku paksa dan di mall dia seenaknya masuk ke kamar pas di mana di dalamnya ada aku yang lagi pakai baju saringan tahu. Tsabit memang selalu out of mind. Dia
Sekali lagi. Aku menghela napas pelan. Malam ini aku memilih duduk di taman rumah sakit sendirian sambil merenung. Selepas menguping pembicaraan Tsabit dan Bu Zela, aku menjadi hilang semangat untuk terus berada di sana. Aku khawatir jika terus menguping, Candra akan tahu perasaanku yang gamang gara-gara mendengar ucapan mertuaku sendiri. Entah mengapa perasaanku mendadak kecewa ketika mengetahui Tsabit meminta kami memiliki bayi bukan karena keinginan sendiri tapi karena permintaan ibunya.Jujur, aku sempat berharap dia mengatakan itu karena dia mencintaiku dan ingin menghamiliku atas keinginannya sendiri bukan paksaan tapi rupanya itu mustahil. Sampai sekarang pun ternyata Tsabit hanya terpaksa, dia belum bisa menerimaku seutuhnya sebagai istri.Bodoh! Ya, aku sangat bodoh.Sungguh, terlepas dari kekecewaanku pada keadaan, nyatanya aku lebih marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada hubungan ini. Seharusnya sejak awal aku tidak pernah menyimpan hati. Seharusnya sejak aw
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia