Tarik napas! Keluarkan! Tarik napas! Keluarkan!Aku terus mengamalkan latihan olah napas selama duduk di samping Tsabit yang kini sedang fokus menyetir dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Malam ini pria itu sekali lagi telah mematikan potensi nge-reogku yang sudah terendap lama. Arrrh! Kenapa sih, dia? Ada masalah apa sebenarnya dengan otak si bos? Kenapa dia selalu menggangguku? Padahal sedikit lagi aku bisa memberi pelajaran pada Teh Tari. "Shit! Kampret!"Aku memberengut kesal sepanjang perjalanan menuju rumah Mamak. Tadi kata Tsabit, aku tidak usah dulu menunggu Mamak di rumah sakit karena takut bertemu dengan Teh Tari dan bertengkar lagi."Hey language Hana, kenapa kamu ngumpat lagi, sih? Apa kamu marah karena saya tarik keluar dari UGD?" tegur Tsabit telak ketika mobil yang kami tumpangi mulai berbelok ke jalan yang menuju ke dusun kenyot. Sepertinya lelaki ini paham betul kalau istri bar-barnya ini memang sedang sebal akibat kejadian tadi. Aku mendesis kecil. "Ya iy
POV AuthorTsabit tahu kalau Hana itu memang bukan gadis yang lembut, sering berkelahi, kasar, suka mengumpat dan mantan tukang malak. Namun, entah mengapa kian hari Tsabit mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Hana. Hatinya yang semula abai kini mulai menerima Hana apa adanya, dia tak masalah Hana membuat keributan selama itu adalah Hana. Ya, Hana-nya.Honestly, Tsabit juga merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Selama ini, Tsabit merasa dia hanya bisa menyukai Jingga karena hanya kakak iparnya itu yang mampu mendebarkan dada Tsabit.Tetapi, seakan mematahkan asumsi semakin hari terjadi keanehan di dalam hidup Tsabit. Semenjak bertemu Hana, dadanya ternyata lebih sering berdebar dibanding ketika dia bersama Jingga. Hana telah membuat Tsabit gelisah, galau dan merana dalam satu waktu seperti malam ini. Lebih tepatnya beberapa saat yang lalu, Tsabit tak menduga bahwa dia akan begitu bergairah hanya karena melihat punggung polos Hana. Sungguh, dia sangat merutuk imannya yang lemah
POV Author "Lo tenang aja Bit, gue gak akan ganggu dia selama kalian nikah kontrak. Hanya gue minta, tolong tepati janji Lo buat lepasin Hana pas perjanjian kalian selesai." Perkataan Candra di UGD kembali terngiang di telinga Tsabit bagaikan kaset kusut yang terus terputar. Konsentrasinya jadi terpecah gara-gara terus teringat percakapan dia dan sahabatnya tersebut padahal saat ini dia sedang berada di perjalanan pulang menuju rumah Hana. Malam tadi, sehabis membayar administrasi rumah sakit, Tsabit memilih tidak pulang, lelaki itu terpaksa beristirahat di hotel Asri yang ada di jantung kota Sumedang karena tubuhnya sangat lelah dan kepalanya pusing. Walau hatinya ingin segera bertemu Hana karena cemas meninggalkan istri yang sakit, tetap saja tubuhnya gak sanggup berkompromi terlebih kondisinya saat itu sudah hampir tengah malam. Kata Hana, jalan ke sana banyak begal lebih baik Tsabit menunggu saja. Di tengah kegelisahannya menyetir sebuah pesan dari Candra tetiba masuk lagi.
Di sini sempit, kotor dan banyak sarang laba-labanya. Aku menangis seraya memeluk lutut yang gemetar. Suara Mamak di luar sana yang tertawa dengan teman-temannya sangat membuatku penasaran tapi aku gak boleh terlihat tamu-tamu Mamak. Kata Mamak, cukup Teh Tari saja yang harus dikenal sebagai anak Mamak karena aku ini memalukan. Wajahku jelek dan penuh luka lebam tak pantas diperkenalkan menjadi anak Mamak akan tetapi jika terlalu lama aku juga sesak. Kapan Mamak akan membuka kamar gudang ini? Aku kedinginan dan ketakutan tapi jika aku berteriak Mamak pasti akan memukulku. Mamak bilang, aku anak nakal dan gak pantas jadi saudaranya Teh Tari. Perlahan, kudengar suara-suara itu mulai menghilang itu tandanya teman-teman Mamak udah pergi. Namun, Mamak tak kunjung membuka pintu gudang. Aku menunggu sambil memeluk lutut yang terasa gemetar, sejam, dua jam, tiga jam sampai beberapa jam aku terus menunggu sambil menahan tangis. Hingga di luar kamar gudang semakin gelap dan kudengar suara huj
POV TsabitSaat pemakaman Mamak, banyak sekali pelayat yang datang termasuk keluargaku. Mereka bergantian menyampaikan bela sungkawa juga doa pada keluarga Hana yang tengah berduka. Anehnya, di antara semua yang hadir Tari yang merupakan anak emas sang Ibu sama sekali tak terlihat. Katanya, setelah kejadian pertengkaran Hana dan Tari di UGD, kata Bang Zian dia sempat melihat Tari mengunjungi ibunya tapi setelah itu gak tahu ke mana. Aku tahu, kematian bukan hal baru bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia medis. Namun, kami juga tahu pasti, bahwa kehilangan adalah episode paling menyakitkan dalam hidup siapa pun dan hal yang mengerikan untuk dihadapi. Apalagi kini yang mengalaminya adalah istriku sendiri. Masih terekam jelas, bagaimana gemetarnya badan Hana selama prosesi pemakaman Mamak digelar. Gadis itu seolah kehilangan separuh dunianya, dia tampak hancur dan menyedihkan, meski Mamak bukanlah ibu yang baik untuk Hana tapi kulihat Hana sangat menyayanginya. Dia pernah bilang
Entah sudah berapa lama--detik, menit atau jam yang kuhabiskan menangis di depan Tsabit. Sungguh, aku ini tidak tahu malu, sudah besar masih saja cengeng. Malam kian larut, Tsabit menyampirkan jaket hitamnya di bahuku, lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu mengusap punggung ini seolah ingin mentransfer kekuatan agar aku tidak terus terisak layaknya anak kecil.Jika dipikir-pikir Tsabit itu bagaikan lelaki pengganti bapak yang sebenarnya. Dia selalu ada di saat aku membutuhkan, sejak datang ke Sumedang Tsabit sama sekali gak mengeluh meski kelelahan tampak di wajahnya. Dia terus mengerjakan pekerjaan tanpa mengenal kompromi, aku sempat berpikir anak sultan sepertinya malas untuk beres-beres ternyata dia beda.Aku benar-benar merasa bersalah, hanya saja aku masih bingung bagaimana mengekspresikannya. Pelan, aku hirup udara untuk mengisi rongga dada yang terasa sesak, tak ada lagi percakapan di antara kami yang ada hanya aroma maskulin dari jaket seorang Tsabit yang kurasakan menenan
Pipi ini masih terasa panas dan telingaku rasanya berdenging karena saking kuatnya tamparan Teh Tari. Meski agak terhuyung aku mencoba menegarkan diri, seorang Hana tidak bisa diremehkan seperti ini.Sungguh, aku tidak percaya, kakak tiriku berani menamparku tepat di hari Mamak meninggal. Bahkan kuburannya saja belum mengering.Bagus! Bagus! Kini kakak tiriku menunjukkan taringnya, dia memang jahat. Dia tak pantas disebut manusia karena telah menghinakan saudaranya sendiri."Teh Tari, apa yang kamu lakukan? Apa maksudmu menyebutku pembunuh?" teriakku emosi. Sumpah, saat ini aku sangat ingin menonjoknya tapi aku terpaksa harus mengendalikan diri demi menghormati mertuaku. Aku tidak ingin Bu Zela dan adik iparku terbangun gara-gara aku nge-reog tidak pada waktunya. Cukuplah, keributan ini terjadi sampai di ambang pintu, aku pun gak sudi mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Bagiku Teh Tari tak ubahnya sebagai benalu, dia gak berhak jadi kakakku."Karena kamu pantas disebut demikian!
"Han, Teteh tunggu jawaban kamu, ya? Teteh harap kamu menepati janji kamu. Oh ya, Teteh sekarang sudah jadi sekretaris Tsabit loh. Kamu tahu, kan? Jadi kapan kamu siap melepaskan Tsabit?"Tepat tiga hari setelah hari pemakaman Mamak berlalu sebuah pesan datang ke ponselku. Sebenarnya aku sudah menduga dan tidak merasa aneh lagi dengan pertanyaan itu tapi tetap saja pesan itu terus terngiang di telingaku. Bagaikan kaset rusak yang terus terekam dan tidak mungkin terenyahkan. Entah mengapa, sampai saat ini aku masih merasa berat untuk menyanggupi pesan dalam surat wasiat Mamak. Mungkinkah aku memang telah jatuh cinta dan tak mau kehilangan? Bagaimana bisa aku seberat ini melepaskan Tsabit? Dan sialnya aku semakin menyesal ketika tahu kalau Teh Tari ternyata menjadi sekretaris Tsabit.Hal ini kuketahui dari Tsania waktu kemarin kami bertukar pesan. Katanya, di saat Tsabit gencar memintaku menjadi sekretaris ternyata Teh Tari telah mendekati mantan sekretaris Tsabit sebelumnya yang bern