Yang namanya kakak tiri emang gak bisa ditebak apa modusnya. Namun, setelah dia terang-terangan mengibarkan bendera peperangan sekarang aku tahu alasan Teh Tari yang mulai ingin merebut Tsabit dari sisiku yaitu dia terlalu tersepona dengan kekayaan Tsabit.Aku tahu Teh Tari itu sangat mencintai uang. Dia mungkin agak membenciku, tapi dia lebih benci lagi kalau gak dapat uang. Sejak tahu kalau Tsabit anak orang kaya entah mengapa sikapnya langsung berubah. Dia yang semula kabur-kaburan sekarang kembali hanya untuk merebut posisinya yang katanya sudah kuambil. Astaga naga Bonar! Teh Tari emang aneh. Dia yang kabur aku yang disalahin.Namun, sekali pun aku kesal tetap saja aku gak bisa apa-apa. Termasuk saat dia sekonyong-konyong datang ke rumah keluarga Prawira. Sebagai preman yang garang tapi peka perasaannya, aku cukup bisa memahami modus Teh Tari datang ke sini.Teh Tari sengaja berpura-pura numpang di rumah mertuaku demi menjadi sekretaris Tsabit hingga dia bisa dengan mudah mende
Kata orang menghadapi musuh itu harus penuh strategi. Aku pikir begitu juga yang harus kulakukan sekarang agar Teh Tari percaya. Malam ini sesuai dugaan, kakak tiriku itu diam-diam sedang menguping di balik dinding yang memisahkan kamar kami dan kamar tamu yang sedang Teh Tari huni. Berhubung tidak kedap suara aku yakin sedikit apa pun pergerakan kami bisa terdengar.Aku tidak tahu apa niat Teh Tari melakukan itu tapi mungkin dia tidak percaya kalau aku si buruk rupa bisa sayang-sayangan dengan Tsabit dan menyangka hubungan kami sandiwara. Walau pun aslinya itu benar, tentu saja aku gak mau mengaku. Jadi, sesuai rencana Tsabit yang dadakan alhasil kami sepakat makan samyang agar suara 'ah ih uh' terdengar alami dan Teh Tari berhasil terkelabui."Ih, kok punya saya lebih sedikit dibanding punya Mas? Kenapa?" bisikku ketika Tsabit membawa dua mangkok mie dengan toping sosis di atasnya, aku mengerutkan dahi ketika porsiku gak jumbo. Ini gak adil. "Bukannya tadi kamu sudah makan banyak
"Han, Mamak minta tolong mengalahlah pada kakakmu. Kamu tahu kan bagaimana sikap Kakakmu kalau keinginannya tidak dipenuhi? Mamak tahu salah menempatkanmu dalam posisi sulit. Tapi, kalau kamu bercerai dengan Tsabit, kemungkinan kakakmu berpeluang besar menggantikanmu. Lagi pula kamu akan diuntungkan, pertama kamu akan bebas dan Tari pun akan mendapatkan keinginannya. Dia mencintai Tsabit Han, sementara kamu tidak. Kalau kamu gak mau mundur, Mamak khawatir akan terjadi hal buruk."Astaga, Mamak! Aku memejamkan mata yang terasa panas akibat terngiang ucapan terakhir Mamak tadi malam sebelum menutup telepon. Gara-gara ucapan itu aku jadi terserang insomnia dan perutku mendadak melilit. Jujur, dari mulai malam sampai pagi ini aku masih tidak menyangka, di saat aku sedang sibuk-sibuknya menata masa depan alias menjadi istri 500 juta dolar dan menantu selama enam bulan tiba-tiba desakan absurd kembali menimpa.Tak puas dengan menjadikanku tumbal, sekarang Mamak malah memintaku mengorban
POV AUTHORTsabit sejujurnya tidak terlalu mengenal silsilah keluarga Hana. Hanya yang ia tahu gadis itu merupakan anak dari suami kedua dari Mamak dan terkadang dianak tirikan oleh ibunya sendiri. Setidaknya itulah yang ia dengar dari ibunya yaitu Zela. Namun, semakin ke sini entah mengapa Tsabit semakin perduli tentang Hana.Gadis yang semula dia anggap bar-bar sudah mulai memasuki hatinya.Meski terlihat cuek, Tsabit seringkali penasaran apa yang terjadi pada keluarga itu.Apa salah Hana? Dan kenapa dia dibedakan dari Tari? Sebenarnya alasan apa yang membuat mertuanya membedakan mereka?Tsabit sangat ingin tahu tapi tetap saja dia tidak menemukan jawaban yang diinginkan. Bagi Tsabit, menikahi Hana sama saja masuk ke labirin yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Namun, ternyata gak selamanya Mamak memperlakukan berbeda karena hari ini Tsabit melihat sisi lain dari Mamak. Tsabit yang semula menyangka Mamak tak percaya pada Hana jadi berpikir terbalik. Siapa sangka saat dia di kanto
Entah berapa kali aku sudah menghela napas pelan semenjak duduk di sini. Selepas berbicara panjang dengan Mamak di ruangannya, aku memutuskan untuk langsung solat dan menenangkan diri di taman yang letaknya bersampingan dengan mushola. Kata orang, jika kita banyak pikiran, lebih baik menjauh dulu dari pusat peradaban dan kini di sinilah aku berada.Menyepi dan kesepian. Aku hanya bisa merasakan sakit yang sejak tadi menggerogoti dikarenakan permintaan Mamak yang membuatku seolah memakan buah simalakama. Aku bimbang dan berat memutuskan mau menceraikan Tsabit atau tidak demi keluargaku sebab hati ini masih belum ikhlas. Sebenarnya sebagai anak Mamak harusnya aku gak terlalu terkejut tentang permintaan Mamak yang di luar nalar ibu normal. Toh lagi pula dari aku kecil, seorang Hana sudah bisa menerima status yang berbeda. Jadi, jika harus mengalah sekali lagi semestinya itu mudah tapi anehnya untuk masalah Tsabit, hatiku berbalik gamang. Dulu aku sempat berpikir Teh Tari akan menjadi ka
POV Author. Sebenarnya Tsabit itu paling gak suka menggendong wanita yang bukan mahramnya. Meski dia tidak terlalu religius kayak Aksa tetap saja hatinya menolak hal itu. Apalagi kejadian Tari pingsan adalah di waktu dia sedang melakukan pedekate dengan wanita bar-bar yang kini sedang bersedih, siapa lagi kalau bukan istrinya--Hana. Namun, dikarenakan Tsabit tidak mau istrinya khawatir alhasil dia pasrah. Dia yang gak mau sok baik terpaksa membantu membawa Tari ke UGD padahal badannya sudah sangat penat dan lelah. Dia butuh istirahat dan bercengkrama dengan Hana yang sekarang lagi menunggu di luar UGD. "Bang, tolong periksa dia ya, dia kakak ipar gue," kata Tsabit pada Doni yang kebetulan saat itu adalah dokter jaga yang dikenalnya.Sebagai pengusaha obat, Tsabit sudah tidak ragu-ragu panggil Bang sama dokter-dokter karena dia sering kali keluar masuk rumah sakit untuk bekerja sama, apalagi selain orang yang terkenal di kalangan farmasi Tsabit juga merupakan salah satu anggota kelu
Tarik napas! Keluarkan! Tarik napas! Keluarkan!Aku terus mengamalkan latihan olah napas selama duduk di samping Tsabit yang kini sedang fokus menyetir dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Malam ini pria itu sekali lagi telah mematikan potensi nge-reogku yang sudah terendap lama. Arrrh! Kenapa sih, dia? Ada masalah apa sebenarnya dengan otak si bos? Kenapa dia selalu menggangguku? Padahal sedikit lagi aku bisa memberi pelajaran pada Teh Tari. "Shit! Kampret!"Aku memberengut kesal sepanjang perjalanan menuju rumah Mamak. Tadi kata Tsabit, aku tidak usah dulu menunggu Mamak di rumah sakit karena takut bertemu dengan Teh Tari dan bertengkar lagi."Hey language Hana, kenapa kamu ngumpat lagi, sih? Apa kamu marah karena saya tarik keluar dari UGD?" tegur Tsabit telak ketika mobil yang kami tumpangi mulai berbelok ke jalan yang menuju ke dusun kenyot. Sepertinya lelaki ini paham betul kalau istri bar-barnya ini memang sedang sebal akibat kejadian tadi. Aku mendesis kecil. "Ya iy
POV AuthorTsabit tahu kalau Hana itu memang bukan gadis yang lembut, sering berkelahi, kasar, suka mengumpat dan mantan tukang malak. Namun, entah mengapa kian hari Tsabit mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Hana. Hatinya yang semula abai kini mulai menerima Hana apa adanya, dia tak masalah Hana membuat keributan selama itu adalah Hana. Ya, Hana-nya.Honestly, Tsabit juga merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Selama ini, Tsabit merasa dia hanya bisa menyukai Jingga karena hanya kakak iparnya itu yang mampu mendebarkan dada Tsabit.Tetapi, seakan mematahkan asumsi semakin hari terjadi keanehan di dalam hidup Tsabit. Semenjak bertemu Hana, dadanya ternyata lebih sering berdebar dibanding ketika dia bersama Jingga. Hana telah membuat Tsabit gelisah, galau dan merana dalam satu waktu seperti malam ini. Lebih tepatnya beberapa saat yang lalu, Tsabit tak menduga bahwa dia akan begitu bergairah hanya karena melihat punggung polos Hana. Sungguh, dia sangat merutuk imannya yang lemah
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia