"Saya pernah lihat kamu di rumah Fernando. Kamu bekerja di sana kan?" tanya Yosi. Yang tak lain adalah suami Farida."Benar, A–" Shanaz ingin menjawabnya. Namun kalimatnya langsung dipotong oleh Farida. Wanita paruh baya itu malah menyuruh Shanaz untuk segera pergi. "Sudah. Kamu segera pergi saja, Nabila. Nanti biar saya jelaskan kepada suami saja," suruhnya.Shanaz mengangguk setuju. "Kalau begitu saya pamit pulang dahulu. Bapak, Ibu," pamitnya. Segera Shanaz menyetop taksi yang kebetulan lewat. Lalu masuk ke dalam.Farida sengaja menyembunyikan identitas Shanaz dari suaminya. Paling tidak sampai mereka nanti dalam perjalanan menuju ke Bandung. Tempat tubuh Shanaz dirawat. Yosi menatap wajah istrinya dengan tatapan penuh penasaran. "Wajah kamu kenapa terlihat cemas seperti itu?" tanyanya."Tidak apa-apa. Kamu tunggu di sini ya Yah. Ibu mau siap-siap. Kita pergi ke Bandung sekarang," jawab Farida terburu-buru.Yosi tambah bingung. Ia memiringkan kepalanya. Tidak ada angin tidak ada
Shanaz terharu. Air mata kebahagiaan tak sanggup dia tahan lebih lama. Dan kini berhasil lolos membuat pipinya basah. Ia bahagia karena ibunya Nabila berkata Shanaz telah berhasil mendapatkan pendonor darah. Tami : Ibu hanya ingin memberitahu kamu kalau keponakan Tante Virna sudah dapat mendonor darah. Kata dokter kondisinya semakin baik.Dengan senyuman yang masih melekat, Shanaz mengetikan pesan balasan untuk ibunya Nabila. Shanaz : Syukurlah Bu. Nabila ikut senang. Ibunya Nabila juga memberitahu jika pendonor darah tersebut berasal dari dirinya. Tami : Tante Virna bilang kamu yang mencarikannya ya? Dia sangat bersyukur dan menitip ucapan terimakasih katanya.Shanaz : Sama-sama Bu. Nabila senang jika dapat menyelamatkan nyawa keponakan Tante Virna.Tentu saja. Tanpa ucapan terimakasih sekalipun dia akan mengusahakannya. Karena masih ingin hidup di dunia ini.Tami : Tante Virna juga bilang nanti kalau keponakannya sudah semakin membaik akan dirujuk ke rumah sakit pusat yang ada d
Lita mengerutkan keningnya. "Kenapa memangnya?" tanya Lita tak mengerti. Seharusnya Shanaz senang kan diberi fasilitas seperti ini?"Itu karena minimarketnya dekat Nyonya. Dan saya hanya sebentar saja," jawab Shanaz.Tak ada gunanya sepertinya. Memaksa wanita keras kepala seperti Shanaz. Lita menyerah dan tidak memaksanya lagi. Toh di sana sudah ada Yuni yang membantunya mengurus Kenny."Ya sudah. Tapi jangan lama-lama ya," pesan Lita."Iya Nyonya. Saya akan segera kembali," sahut Shanaz. Lalu ia berpamitan kepada Lita. "Kalau begitu saya pergi dulu, Nyonya Lita.""Iya," sahut Shanaz. Ia kemudian pergi meninggalkan kamar Kenny dan keluar dari rumah Fernando.Tempat yang dituju oleh Shanaz pertama adalah rumah sakit yang tertera di buku catatan kelahiran Kenny. Shanaz berjalan masuk, melewati pintu masuk rumah sakit dan bertanya kepada perawat yang sedang berjaga di poli kandungan. "Ada yang bisa saya bantu Mbak?" tanya perawat rumah sakit."Saya mau bertanya tentang bayi bernama Kenn
Tak hanya bentakan yang Kenny terima. Yuni bahkan merasakan sakit luar biasa hingga menusuk ke dalam hatinya. Saat Lita menatap wajah Kenny dengan kilatan tajam dan penuh kebencian.Dia membawa Kenny dalam pelukannya untuk menyelamatkan anak itu. Sebelum Lita berbuat lebih jauh kepada bocah malang tersebut. Padahal harusnya jika Felicia benar anak kandungnya. Pasti hal yang membuat Yuni lebih hancur adalah melihat kondisi Felicia saat ini. Tak hanya 2 orang Ibu tersebut yang mengantar Felicia ke rumah sakit. Namun Fernando juga mengajak Shanaz untuk ikut mereka. Karena 2 orang ibu itu pasti dalam keadaan kalut. Jadi Shanaz bisa berguna untuk membantu Fernando nanti."Nabila. Kamu ikut kami ke rumah sakit.""Baik, Tuan Fernando," sahut Fernando. Tanpa pikir panjang dia langsung masuk ke dalam mobil.Pagi yang cerah itu berubah menjadi hari yang kelabu untuk keluarga Fernando. Karena tragedi yang terjadi saat ini. Seakan mentari kehilangan sinarnya. "Kamu harus bertahan ya nak. Jangan
Selepas mengurus administrasi, Shanaz pergi ke apotik yang ada di rumah sakit. Dia tidak menunggu sampai nomor antriannya dipanggil. Shanaz meninggalkannya sementara waktu untuk pergi ke kamar perawatan seorang pasien. Seorang wanita paruh baya bangkit dari tempat duduknya. Saat Shanaz membuka pintu ruang perawatan wanita yang Virna katakan namanya Lisa. Padahal wanita yang terbaring sakit itu adalah dirinya sendiri."Senang bertemu denganmu Nabila," sapa Virna. Dia menyambut Shanaz dengan senyum penuh keramahan. Karena menganggap bahwa Shanaz layaknya dewa penyelamat untuk wanita yang diakui sebagai keponakannya. Hal itu yang menjadi tanda tanya besar bagi Shanaz."Nabila juga senang bertemu dengan Tante," sahut Shanaz tersenyum balik.Shanaz mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada siapapun di ruang perawatan itu selain Virna. Penasaran lalu Shanaz bertanya kepada Virna. "Tante sendirian di sini?" Virna mengangguk. "Tadinya dengan Dafa. Tapi sekarang dia sedang di apotik un
"Ada apa Mbak?" tanya supir taksi. Saat melihat ekspresi wajah Shanaz yang mencurigakan."Dompet saya tidak ada Pak," jawab Shanaz dengan jujur.Supir taksi tak percaya. Dia menatap Shanaz dengan tatapan penuh kecurigaan. Mengira Shanaz hanya akan menipunya. "Halah Mbak. Jangan berbohong kepada saya," tuduhnya.Shanaz menggelengkan kepalanya dengan cepat, ekspresi wajahnya panik. "Tidak, tidak. Bukan seperti itu Pak. Saya tidak berbohong. Yang di depan ini adalah rumah majikan saya kok," jelasnya."Saya tidak percaya. Bisa saja kamu mengaku-ngaku." Supir taksi kembali menuduhnya. "Kalau tidak percaya. Izinkan saya turun dan berbicara dengan satpam di depan Pak," pinta Shanaz yang hampir kehabisan cara untuk menjelaskan."Nanti malah Mbak kabur lagi," sahut supir taksi.Shanaz yang buntu lalu menurunkan kaca jendela mobil lalu berteriak untuk memanggil satpam. "Pak Satpam. Pak! Tolong keluar sebentar Pak," teriak Shanaz."Jangan teriak-teriak seperti itu dong Mbak. Nanti saya dikira m
Mata Yuni membelalak. Raut wajahnya panik. Dia menoleh ke arah Shanaz dan satpam secara bergantian dengan tersenyum canggung. "Maafkan atas kekacauan ini ya Nabila, Pak Satpam," ucap Yuni.Yuni yang kepalang malu kemudian menarik mertuanya ke tempat yang lebih tenang, di mana tidak akan ada orang yang mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya yang mengamuk seperti orang yang tidak waras itu. "Ayo Bu. Kita bicara baik-baik di sana. Jangan marah-marah seperti ini, Yuni malu.""Kalau kamu tahu malu harusnya kamu bebaskan suamimu. Bukan memilih anak itu!" sungut mertua Yuni. Yuni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, Bu. Iya," sahut Yuni berusaha menenangkan ibu mertuanya. Shanaz mempunyai ide lain. Dia memutuskan untuk bersembunyi di balik semak-semak untuk mengawasi keberadaan mertua Yuni. Menunggu sampai pembicaraan mereka berakhir. Setelah itu baru nanti mengorek informasi dari wanita berusia lanjut itu.Shanaz tak begitu jelas mendengar pembicaraan mereka. Namun yang bisa dia
Fernando yang melihat darah yang mengalir dari jemari Shanaz, langsung menyahutnya. Mata Shanaz membulat, dia melupakan rasa sakitnya. Matanya sibuk mengamati sekitar, takut Lita marah. Atau akan ada seseorang yang akan mengadu kepadanya.Shanaz melepaskan tangannya dari genggaman Fernando. "Ja–jangan Tuan. Nanti kalau ada yang melihat bisa salah paham," cegahnya terbata.Fernando lalu menarik tangannya. "Maafkan aku. Aku tak bermaksud–" Fernando sendiri bingung bagaimana harus menjelaskannya, hingga kalimatnya terpotong begitu saja.Fernando diliputi oleh rasa canggung. Namun tidak dengan Shanaz. Dia sebenarnya mampu mengendalikan diri, akan tetapi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik perhatian lelaki itu. Shanaz berpikir akan dengan mudah memperdayai Fernando jika mantan suaminya itu jatuh hati kepadanya."Tidak apa-apa Tuan," sahut Shanaz."Ambil kotak p3k dan segera obati lukamu," suruh Fernando. "Baik, Tuan," sahut Shanaz. "Aku pulang untuk makan siang. Jadi kalau semu