Tania terkejut sejenak, tapi tidak menolak. Perlahan, dia membalas ciuman Juned, seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata. Setelah beberapa saat, mereka melepaskan diri, menatap satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna.Tania kemudian menarik napas dalam dan menggenggam tangan Juned erat. “Juned, pulanglah denganku,” pintanya dengan suara pelan namun penuh harap. “Aku nggak mau kamu terus seperti ini. Kamu bilang mau berubah, kan? Pulanglah denganku… biar kita hadapi semuanya bersama.”Juned terdiam. Dalam hatinya, dia tahu ini adalah keputusan besar. Jika dia pergi dengan Tania sekarang, itu berarti dia benar-benar harus meninggalkan kehidupannya yang lama. Tidak ada lagi pijat bonus, tidak ada lagi wanita-wanita yang datang dan pergi.Namun, ketika melihat wajah Tania yang penuh ketulusan, Juned merasa inilah saatnya. Dia menggenggam tangan Tania lebih erat dan mengangguk. “Baiklah, aku ikut denganmu.”Tania tersenyum lega, lalu menarik Juned untuk pergi dari hotel itu
Tania menggigit bibirnya sebelum menjawab, “Selama ini, tak ada satu pun yang pernah melihat langsung pemimpin dari perusahaan Cakra Buana. Semua transaksi, semua keputusan besar, selalu dilakukan oleh orang-orang di bawahnya. Bahkan dalam pertemuan bisnis, yang muncul hanya perwakilan mereka. Orang itu seperti hantu, Juned.”Juned menyipitkan mata, mencoba mengingat sesuatu. “Tapi nama pemimpinnya pasti pernah disebutkan, kan?”Tania mengangguk pelan. “Ya, beberapa kali aku mendengar namanya disebut, tapi tidak pernah ada yang tahu wajahnya. Beberapa orang bahkan mengira dia sudah mati sejak lama, sementara yang lain percaya dia hanya sebuah nama yang dibuat-buat untuk menutupi dalang sebenarnya.”Juned menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, kita akan mulai dari sini. Dari hotel ini. Jika benar mereka akan mengadakan pertemuan, mungkin kita bisa mendapatkan sesuatu.”Tania berdiri dari sofa kemudian mengajak Juned segera meninggalkan hotel tersebut.“Mun
Setelah beberapa saat berkendara dalam keheningan, Juned tiba-tiba berkata, “Kita ke kos dulu, aku mau pamit sama pemilik kos.”Tania meliriknya sekilas sebelum mengangguk. “Baiklah.”Mobil pun berbelok ke arah jalan yang lebih sempit, menuju kos-kosan sederhana tempat Juned tinggal selama ini. Sesampainya di sana, Juned turun lebih dulu, diikuti oleh Tania yang hanya berdiri di dekat mobil, mengamati lingkungan sekitar.Juned mengetuk pintu rumah Mbak Yuni. Tidak butuh waktu lama sebelum seorang wanita paruh baya dengan wajah keibuan membukakan pintu.“Juned?” Mbak Yuni tampak terkejut. “Tumben datang ke sini jam segini.”Juned tersenyum kecil. “Mbak, saya mau pamit.”Mbak Yuni terdiam sejenak, lalu melipat tangan di dada. “Pamit? Mau ke mana?”“Saya mau memulai hidup baru, Mbak,” jawab Juned. “Mungkin nggak bisa tinggal lagi di sini.”Mbak Yuni menatapnya dengan sorot mata penuh arti. Sejak awal, dia tahu kalau Juned bukan pria biasa. Ada sesuatu yang selalu membuat pria itu menarik
Juned terkejut. “Apa?! Siapa pelakunya?”Tania menggeleng pelan, masih dengan ekspresi serius. “Aku nggak tahu. Mereka orang yang nggak dikenal. Tapi untungnya aku sempat datang buat jemput Alisa, jadi penculikan itu gagal. Aku langsung menangkap salah satu pelakunya, tapi yang lain berhasil kabur.”Juned mengepalkan tangan. “Bangsat! Kamu yakin ini bukan ulah Anton?”Tania menggigit bibirnya. “Aku nggak bisa bilang pasti. Tapi setelah kejadian itu, aku nggak mau ambil risiko. Aku sudah memindahkan Alisa dan Ayah ke luar kota. Sekarang mereka ada di tempat yang aman.”Juned terdiam. Ia bisa merasakan betapa berat keputusan itu bagi Tania. Meninggalkan keluarganya demi keselamatan mereka bukanlah hal yang mudah.“Kamu baik-baik aja?” tanya Juned pelan.Tania tersenyum tipis, tapi ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya. “Aku nggak punya pilihan lain. Aku harus memastikan mereka selamat.”Juned menatapnya lama sebelum berkata dengan suara serius, “Aku janji, kita bakal car
Tania terengah-engah setelah pergulatan dahsyat di atas ranjang untuk pertama kalinya. Pipinya merona, napasnya tak beraturan, dan matanya sedikit berkabut. Dia tidak menyangka akan seintens itu.Juned menatapnya dalam diam, melihat bagaimana Tania bersandar di bahunya dengan mata setengah tertutup. “Apa kamu menyukainya?” tanyanya pelan, masih bisa merasakan sisa hangat dari keringat mereka.Tania mengangguk lemah, tapi dia tidak bisa menyembunyikan kelelahan di wajahnya. “Aku… aku nggak menyangka bisa se… melelahkan ini.”Juned tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai meragukan semuanya. Dia mengalihkan pandangan, menatap ke arah jendela yang basah oleh hujan yang mulai reda. Dalam pikirannya, bayangan masa lalunya kembali berkelebat—hidupnya yang penuh kekacauan, dendam yang belum selesai, dan masa lalu yang kelam.“Tania…” suara Juned terdengar lebih serius kali ini.Tania menoleh, melihat ekspresi pria di sampingnya yang tiba-tiba berubah muram. “Kenapa?”Jun
Tak berselang lama, Tania muncul dari dapur dengan sepiring nasi goreng di tangannya. Aroma gurih langsung menyebar ke seluruh ruangan, membuat perut Juned yang sebelumnya belum merasa lapar tiba-tiba berbunyi pelan.Tania meletakkan piring itu di meja kecil di depan Juned, lalu berkacak pinggang sambil menatapnya penuh percaya diri. “Silakan, Tuan. Ini sarapan spesial buatmu,” ujarnya dengan nada puas.Juned melirik nasi goreng di hadapannya, lalu mengangkat sebelah alis. “Cuma nasi goreng?” tanyanya dengan nada menggoda. “Kupikir kau akan membuat sesuatu yang lebih... istimewa.”Tania menyipitkan mata, lalu menyilangkan tangan di dada. “Hei, jangan meremehkan nasi goreng buatanku! Ini bukan sembarang nasi goreng. Aku pakai bumbu rahasia.”Juned terkekeh pelan. “Bumbu rahasia? Jangan-jangan Cuma kecap lebih banyak?”Tania langsung mendengus, lalu dengan cepat menyendokkan sedikit nasi goreng ke dalam mulut Juned sebelum dia bisa menghindar. Juned terpaksa mengunyah, lalu terdiam sesa
Tania langsung mendengus pelan dan melirik ke sekeliling. “Kita di luar, Juned. Kalau ada yang lihat, gimana?” bisiknya tegas.Juned terkekeh. “Ah, tak masalah jika mereka lihat. Bukankah kemarin kamu bilang kita akan menikah? Apa karena kau takut ketahuan punya tunangan tampan sepertiku?” godanya lagi.Tania melipat tangan di dadanya, pura-pura tidak terpengaruh. Tapi wajahnya jelas sedikit memerah. “Dasar menyebalkan,” gumamnya.Juned semakin mendekat, membuat Tania gelisah. “Ayolah, hanya sebentar. Anggap saja ini keberuntungan sebelum berangkat kerja,” ucapnya dengan nada menggoda.Tania menghela napas panjang, lalu dengan cepat menarik kerah baju Juned dan menciumnya sekilas. Begitu cepat hingga Juned hampir tidak sempat menikmatinya.“Selesai!” ujar Tania cepat, lalu segera berbalik dan melangkah pergi sebelum Juned bisa meminta lebih.Juned tertawa kecil sambil menyentuh bibirnya. “Hahaha, curang sekali. Tapi lumayanlah!” teriaknya.Tania tidak menoleh, tapi Juned bisa melihat
Hening sejenak, lalu Tania terkekeh kecil. “Jangan terlalu serius. Aku sudah tahu soal itu. Itu Cuma ulah anak-anak kecil yang iseng.”Juned melirik wanita di depannya yang masih terlihat cemas. “Serius? Aku kira ini sesuatu yang besar.”“Nggak, itu Cuma kejadian kecil. Beberapa warga juga dapat surat serupa. Anak-anak di kompleks suka main-main kayak gitu. Aku sudah dapat laporan dari Pak RT kemarin.”Juned menghela napas dan mengusap tengkuknya. “Baiklah. Aku kasih tahu orangnya biar nggak terlalu panik.”“Iya, bilang saja nggak perlu khawatir. Aku akan mampir ke rumahnya nanti sepulang kerja buat menjelaskan padanya.”Setelah telepon ditutup, Juned menoleh ke arah wanita itu. “Bu, ini bukan ancaman serius. Tania bilang ini Cuma ulah anak-anak yang iseng.”Wanita itu tampak terkejut. “Jadi… ini Cuma mainan mereka?”Juned mengangguk. “Iya, nggak usah terlalu dipikirkan. Tania nanti mampir ke rumah untuk menjelaskan lebih lanjut.”Wanita itu mengembuskan napas lega. “Ya ampun, saya sa
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj