Sebelum mulai memijat, Juned berkata, “Kalau bisa, pakai handuk supaya minyaknya bisa langsung terkena kulit saat dipijat.”Nisa mengangguk. “Iya, aku ganti dulu, tunggu sebentar.”Dia masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian, sementara Juned menyiapkan tempat di lantai dengan alas seadanya. Saat Nisa kembali, dia mengenakan bra dan celana pendek. “Maaf mas, aku gak punya handuk yang lebar. Kalau pakai begini boleh kan?” katanya sambil duduk.“Bo—Boleh.” Balas Juned terbata-bata.Juned terperanjat saat melihat Nisa seperti orang yang terlihat berbeda dengan saat dia pertama kali bertemu. Nisa yang sebelumnya menutup pakaiannya dengan hijab, kini sekarang hampir memperlihatkan seluruh bagian tubuhnya di depan Juned.Nisa mulai berbaring di atas lantai yang sudah ditutupi Juned dengan alas seadanya. “Oke mas, silahkan.”Juned mengangguk pelan, lalu menuangkan minyak pijat ke telapak tangannya. Dia mulai dengan memijat bahu dan punggung Nisa lebih dulu, mengusap dengan tekanan lem
“Menggoda sekali,” gumam Nisa pelan.Juned hanya diam, membiarkan Nisa menikmati momen itu. Dia bisa merasakan detak jantung perempuan itu yang semakin menggebu.Nisa mengendus pelan dada Juned, mencoba merasakan aroma kejantanan Juned yang memang tak bisa ditolak oleh setiap wanita.“Mas, Bisakah kamu memijat bagian sini?” Tangan Nisa menarik tangan Juned dengan perlahan mengarah ke bukit harta milik wanita itu.Juned kembali terkejut, meski dulu dia sering melakukan hal seperti itu. Namun saat ini dia yang hanya ingin fokus pada sesi pijat tak bisa menolak permintaan Nisa menuju ke sesi yang lainnya.“Biarkan aku yang membuatmu rileks, Mas.” Nisa membaringkan tubuh Juned di atas kasur.Hal itu membuat Juned tak mampu menolak dan gejolak gairah di antara mereka pun tak bisa dihindarkan.Malam itu Juned kembali ke kebiasaan lamanya, memberikan kepuasan ekstra setelah memijat pelanggan.Tanpa terasa waktu berlalu hingga setengah jam, tapi Juned membiarkan waktu berjalan tanpa men
Dinda tertawa kecil, lalu menatap Juned yang pura-pura sibuk dengan kopinya. “Wih, Juned! Baru pertama kerja sama aku udah bikin pelanggan puas. Bisa nih jadi langganan, Nis?”Nisa mengangkat bahunya sambil tersenyum tipis. “Nggak tahu, lihat nanti.”Nadhifa yang dari tadi diam akhirnya menoleh ke arah Nisa dengan tatapan menyelidik. “Seriusan? Kamu beneran dipijat sama dia?”Nisa mengangguk santai. “Iya, kenapa?”Nadhifa menghela napas dan kembali menatap laptopnya. “Nggak, Cuma heran aja.”Dinda kembali terkekeh sambil duduk di sebelah Juned. “Wah, Juned. Kayaknya kamu bakal kebanjiran pelanggan nih kalau gini caranya.”Setelah beberapa saat mengobrol, Nisa dan Nadhifa akhirnya beranjak dari warung. Mereka merapikan laptop dan buku-buku mereka, lalu membayar kopi sebelum melangkah pergi.Juned masih duduk dengan Dinda, memperhatikan kedua perempuan itu berjalan keluar. Nisa melangkah lebih dulu, sementara Nadhifa berjalan di belakangnya. Namun, baru beberapa meter meninggalkan waru
Juned mendekati Nadhifa dan mulai bersiap untuk memijatnya.“Kamu belum pernah dipijat, ya?” tanya Juned dengan nada santai, mencoba mencairkan suasana.Nadhifa mengangguk pelan, lalu mendongak sedikit. “Pernah... tapi sama perempuan. Itu pun udah lama banget,” jawabnya dengan suara lirih.Juned tersenyum kecil. “Santai aja, aku nggak bakal kasar. Kalau sakit atau nggak nyaman, bilang aja.”Nadhifa mengangguk lagi, lalu membaringkan tubuhnya perlahan dengan posisi tengkurap, seperti yang Juned arahkan. Namun, baru saja Juned menyentuh pundaknya, Nadhifa langsung mengejang dan menahan tawa kecil.“Geli,” katanya, setengah menahan diri.Juned tertawa tipis. “Baru nyentuh udah geli? Gimana aku mau mijat?”Nadhifa ikut tertawa kecil, tapi wajahnya tetap sedikit malu. “Aku emang gampang geli... makanya jarang pijat.”Juned menghela napas, mencoba mencari cara agar Nadhifa bisa lebih rileks. “Gimana kalau kamu tarik napas dalam-dalam, terus fokus aja ke rasa pegalnya. Aku bakal mulai dari p
Nadhifa tampak ragu-ragu, menunduk sambil meremas ujung handuk yang masih membalut tubuhnya. Juned melihat ekspresinya yang malu-malu, lalu berkata dengan nada menggoda, “Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Aku juga nggak memaksa.”Nadhifa tetap diam beberapa detik, hasratnya yang kian menanjak membuatnya tak bisa menolak. Hingga tanpa sadar Nadhifa mengangguk sangat pelan, hampir tak terlihat.Melihat reaksinya itu, Juned tersenyum dan perlahan mendekat, lalu merengkuh tubuh Nadhifa ke dalam pelukannya. Gadis itu sedikit kaku di awal, tetapi setelah beberapa detik, tubuhnya mulai rileks.“Gimana? Apa kamu menikmati ini?” bisik Juned dengan nada pelan.Nadhifa tak menjawab, hanya mengangguk kecil dengan wajah yang semakin merona.Nadhifa masih kaku dalam pelukan Juned, tapi perlahan dia mulai merasakan kehangatan tubuh pria itu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.Juned yang menyadari keheningan itu mulai menggoda, tangannya perlahan mengusap punggung Nadhifa d
Nadhifa berhenti di depan pagar kos, menatap Juned dengan sedikit ragu sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Hati-hati, ya,” ucapnya pelan.Juned mengangguk. “Iya, makasih.”Ia melangkah pergi, membiarkan suara langkah kakinya menyusuri jalan yang masih sepi. Angin subuh berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menyusup ke kulitnya.Saat hampir sampai di warung, telinganya menangkap suara puji-pujian dari masjid terdekat. Pertanda waktu Subuh telah tiba. Juned menghela napas panjang. Malam yang panjang akhirnya berakhir, tapi ia tahu, harinya baru saja dimulai.Sesampainya di warung yang kini sudah sangat sepi, Juned melihat Dinda masih duduk santai di kursinya. Perempuan itu menyambutnya dengan senyum jahil.“Buset, Juned. Baru semalam udah dapat dua pelanggan mahasiswi cantik,” goda Dinda sambil menyandarkan dagunya ke tangannya. “Gimana rasanya?”Juned hanya mendengus kecil, lalu duduk di kursi yang tadi ia tempati sebelum pergi bersama Nadhifa. “Biasa aja,” jawabnya santai.Dinda
Tanpa membuang waktu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dari gayung. Sensasi dingin langsung menyentuh kulitnya, membuatnya menghela napas panjang.“Ah, segarnya… kayak orang hidup lagi,” katanya pelan.Ia menggosok tubuhnya dengan sabun, memastikan semua keringat dan debu yang menempel sejak kemarin terbilas bersih. Beberapa kali ia mengucek wajahnya, berharap bisa menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.Setelah selesai, Juned mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang selalu ia bawa di dalam tas. Ia berganti dengan kaos bersih dan celana yang lebih nyaman. Sebelum keluar, ia kembali bercermin, merapikan rambutnya yang masih sedikit basah.“Lumayan lah, gak keliatan kumuh banget,” ujarnya sambil tersenyum tipis.Saat ia keluar dari bilik mandi, petugas tadi menatapnya sekilas. “Segeer, Mas?” tanyanya dengan nada bercanda.Juned tertawa kecil. “Banget, Pak. Makasih ya!”Saat berjalan keluar dari toilet umum di taman, Juned merasa tubuhnya jauh lebih segar. Udara pagi m
Saat Juned dan Bu Ratna berjalan keluar dari taman, Bu Ratna melirik Juned dengan tatapan penasaran. Ia melangkah santai di sampingnya, tangan kirinya menggenggam tas kecil yang mahal.“Juned, perempuan tadi… kenapa dia sampai segitunya menghalangi kamu jadi tukang pijat?” tanyanya dengan nada ringan, tapi ada rasa ingin tahu yang jelas dalam suaranya. “Apa ada yang salah dengan pekerjaan ini?”Juned menghela napas, lalu mengangkat bahu. “Gak tahu, Bu. Mungkin dia cuma khawatir berlebihan.”Bu Ratna tersenyum miring. “Ah, aku rasa lebih dari sekadar khawatir.”Juned meliriknya sekilas. “Maksudnya?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Khawatir sih wajar, tapi tadi ekspresinya… lebih seperti seseorang yang cemburu.”Juned hampir tersedak udara saat mendengar kata itu. Ia buru-buru menoleh ke arah lain, mencoba menyembunyikan ekspresinya. “Ah, nggak mungkin, Bu.”“Benarkah?” Bu Ratna menaikkan alis, seolah menantang Juned untuk mengaku. “Aku ini wanita, Juned. Aku tahu kalau seorang perempuan bers
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter
“Tidak ada,” Rizka menggeleng, tapi senyumnya tetap tergantung di bibir. “Hanya berpikir... pagi ini terasa berbeda.”Juned mengangguk, memahami tanpa perlu penjelasan lebih. Dia melangkah menuju ke dapur.–––Ketika Juned sedang menuangkan air mendidih ke dalam cangkir. Suara langkah ringan membuatnya menoleh—Rizka berdiri di ambang pintu, mengenakan baju tidur sutra Tania yang menggoda. “Aku pinjam ini,” ucap Rizka sambil memegang ujung baju yang nyaris transparan. “Kebetulan pas di ukuranku.”Juned menelan ludah. Baju warna merah delima itu memang selalu membuat Tania terlihat memesona, tapi di tubuh Rizka—dengan lekuk gunung yang jelas terlihat dan panjang kakinya yang ramping—pakaian itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menggoda. “Kau... kau terlihat—”“Berbeda?” Rizka menyelesaikan kalimatnya sambil berjalan mendekat, jari-jarinya membelai pinggiran baju. “Aku jarang pakai baju seperti ini. Suamiku lebih suka aku berjilbab rapi di rumah.” Juned mengalihkan pandanga
Dalam heningnya kamar yang hanya diterangi cahaya temaram, Rizka tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Juned dengan intens, bibirnya yang merah bergetar saat mengucapkan kata-kata yang mengubah segalanya. “Aku tidak tahan lagi, Mas Juned...”Dengan gerakan penuh keyakinan, jari-jarinya yang gemetar menyentuh pinggulnya sendiri, perlahan menurunkan pakaian dalam renda yang menjadi penghalang terakhir. Kain itu meluncur ke lantai tanpa suara, mengungkapkan keindahan yang selama ini tersembunyi. Juned menelan ludah, darahnya berdesir deras. “Mbak Rizka... kamu...” protesnya lemah, tapi matanya tak mampu berpaling dari pesona di hadapannya. Rizka menyentuh wajah Juned, pandangannya berapi-api. “Aku sudah memikirkannya sejak sesi pertama...” Udara di antara mereka terasa bergetar. Juned merasakan setiap helaan nafas Rizka yang hangat di kulitnya, mencium aroma tubuhnya yang bercampur minyak pijat – manis dan menggoda. “Kau yakin?” tanyanya terakhir kali
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga