“Aneh... kenapa dia begitu menarik sekarang?” Gumam Juned dalam hatinya.Juned menatap Tania beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi tak ada yang bisa dia tangkap dari ekspresi wanita itu selain ketegasan yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa berkata apa-apa lagi, Juned berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Tania sendirian dalam lamunannya. Tania menghela napas panjang, menatap punggung Juned yang semakin menjauh.Angin berembus pelan, membuat helaian rambut Tania sedikit berantakan. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Kenapa aku harus peduli?” pikirnya dalam hati.Tapi bayangan Juned yang berjalan pergi tetap melekat dalam benaknya, membuatnya tak bisa benar-benar mengabaikan perasaan yang baru saja muncul itu.“Apa kamu masih akan melamun terus, kak?”Suara Alisa sedikit mengejutkan Tania yang sempat terbuai dalam lamunan.“Kamu mau ke mana, Alisa?” Tanya Tania sesaat setelah menoleh ke a
Juned menatapnya dengan mata membelalak. “Apa maksudmu?”“Aku nggak yakin kamu masih ingat atau tidak,” Tania tersenyum kecil, matanya sedikit berkaca-kaca. “Tapi waktu kecil, aku pernah tersesat di pasar dan seorang anak laki-laki menolongku. Dia memberiku permen, menghiburku, lalu pergi sebelum aku bisa mengucapkan terima kasih.”Juned terdiam, ekspresinya perlahan berubah. Ingatan samar-samar muncul di benaknya. Seorang gadis kecil yang menangis tersedu-sedu di sudut pasar... seorang bocah lelaki yang duduk di sampingnya, menyodorkan permen sambil tersenyum...Tania menghela napas pelan. “Anak laki-laki itu adalah kamu, Juned.”Tania menunggu, berharap Juned akan mengatakan sesuatu yang menenangkan hatinya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Juned menghela napas dalam, lalu tersenyum tipis—senyum yang terasa jauh dan sulit dijangkau. “Tania... Aku berterima kasih karena kamu telah merawatku dan ada di sisiku selama ini. Aku nggak tahu apa jadinya aku kalau kamu nggak ada.
Setelah menerima upah pertamanya, Juned berjalan ke sebuah toko alat tulis di pinggir jalan. Dengan sisa uang yang ia miliki, ia membeli selembar kertas karton dan sebuah spidol hitam.Di bangku taman terdekat, ia duduk dan mulai menulis dengan huruf besar:“TERIMA JASA PIJAT”Pijat capek – Pijat keseleo – Pijat relaksasiSeikhlasnyaJuned menatap tulisan itu sejenak, lalu mengangguk puas. Ini mungkin sederhana, tapi cukup untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat.Dia lalu berjalan menuju pasar kecil yang cukup ramai. Di sana, ia mencari tempat strategis—di bawah pohon rindang dekat parkiran motor. Ia menempelkan kertas itu di pagar besi menggunakan selotip seadanya, lalu duduk di bangku kayu yang tersedia.Sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu.Sambil menunggu pelanggan pertama datang, pikirannya kembali melayang ke Tania. Ia teringat bagaimana wanita itu dengan sabar merawatnya saat ia kehilangan ingatan. Bagaimana Tania menangis saat ia memilih pergi.Juned menar
Setelah berjalan cukup jauh, Juned menemukan sebuah taman kota yang cukup ramai. Ada beberapa orang duduk di bangku taman, anak-anak berlarian di area bermain, dan penjual jajanan berjejer di sekitar.Dia menghela napas dan melihat sekeliling. Tempat ini tampaknya lebih aman—tidak ada preman yang menguasai wilayah ini, setidaknya sejauh pengamatannya.Juned lalu mengeluarkan kertas yang tadi ia lipat, membukanya kembali, dan menempelkannya di tiang lampu taman dengan sedikit harapan.“JASA PIJAT. KELUHAN PEGAL-PEGAL, MASUK ANGIN, DAN LELAH. HUBUNGI: JUNED”Setelah memastikan tulisannya terbaca jelas, Juned duduk di bangku taman menunggu pelanggan. Beberapa orang melirik ke arahnya, tapi belum ada yang menghampiri.Sambil menunggu, Juned memperhatikan suasana taman. Ada sepasang lansia yang sedang berjalan santai, seorang ibu yang sibuk menenangkan anaknya yang menangis, dan beberapa pemuda yang asyik bercanda di sudut taman.“Sepertinya tempat ini cukup menjanjikan,” gumamnya dalam ha
Setelah beberapa menit berjalan, matanya menangkap sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Lampunya terang, dan beberapa orang masih duduk santai menikmati kopi serta obrolan ringan. Ia mendekat, berharap bisa mengisi perut dan mungkin, kalau beruntung, numpang tidur.Juned melangkah masuk dan memesan segelas kopi hitam serta sepiring nasi goreng sederhana. Saat makanannya datang, ia menyantapnya dengan lahap. Setelah perutnya terasa lebih nyaman, ia mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepada pemilik warung—seorang pria tua dengan rambut beruban.“Pak, saya boleh numpang tidur di sini?” tanyanya hati-hati.Pria tua itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum ramah. “Warung ini buka 24 jam, jadi kalau mau tidur di sini ya silakan aja. Yang penting nggak ganggu pelanggan lain.”Mata Juned berbinar. “Beneran, Pak? Wah, makasih banget!”“Nggak masalah. Kalau mau tidur, di bangku panjang sana aja,” ujar pria itu sambil menunjuk bangku kayu di pojok warung.Juned tersenyum lega. “Sekal
Juned menatap Dinda yang masih asyik menghisap rokoknya. Rasa penasaran muncul dalam benaknya.“Kamu kerja malam di sini kenapa? Nggak coba cari kerja yang lain?” tanyanya sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.Dinda terkekeh kecil. “Kamu pikir gampang cari kerja? Aku udah coba lamar sana-sini, tapi nggak ada yang menerima. Akhirnya, bos warung ini kasihan sama aku, ya udah aku diterima kerja di sini.”Juned mengangguk pelan. “Terpaksa, ya?”Dinda menghembuskan asap rokoknya ke samping. “Ya, gimana lagi. Daripada menganggur di rumah, minimal di sini aku dapat uang buat hidup. Lagian, aku emang tipe yang susah diam. Kalau di rumah doang, aku bisa gila.”Juned memperhatikan Dinda lebih seksama. Gadis ini terlihat seperti seseorang yang sudah banyak menghadapi kerasnya hidup, tapi tetap bisa tertawa seakan semuanya baik-baik saja.“Memang sebelumnya kamu kerja di mana?” tanya Juned lagi.Dinda mengangkat bahu. “Aku dulu sempat kerja di tempat lain, tapi ya gitu deh... Nggak coco
Suasana warung yang semakin sepi membuat obrolan antara Juned dan Dinda makin lepas. Dinda yang sejak tadi terlihat santai, kini mulai berbicara dengan nada yang lebih menggoda, sementara Juned hanya menanggapinya dengan senyum kecil.Namun, di tengah percakapan mereka, seorang pelanggan pria masuk ke warung. Lelaki itu terlihat santai dengan kaos polos dan celana pendek, tapi ada sesuatu yang mencolok darinya—jam tangan mahal yang melingkar di pergelangannya. Dia melangkah ke meja, duduk, lalu menatap Dinda dengan senyum tipis.“Kopi hitam satu, seperti biasanya.” katanya dengan suara tenang namun terdengar penuh percaya diri.Dinda mengangguk, lalu beranjak untuk membuat pesanan. Sementara itu, Juned memperhatikan pria tersebut. Dari caranya membawa diri, jelas dia bukan orang biasa. Ada kesan bahwa dia terbiasa dengan kemewahan, meski saat ini tampil sederhana.Pria itu melirik sekilas ke arah Juned, lalu tersenyum kecil. “Baru berkunjung ke sini, ya?” tanyanya ringan.Juned mengan
Juned menarik napas dalam. “Dulu aku juga melakukan kayak gitu,” katanya lirih.Dinda menaikkan alisnya. “Serius?”Juned mengangguk. “Bedanya, aku tidak pernah meminta, tapi pelangganku sendiri yang menawarkan tubuhnya padaku. Aku pikir aku cuma membantu mereka... sampai akhirnya aku sadar, aku kehilangan sesuatu yang lebih penting.”Dinda tersenyum miring. “Dan sekarang kamu udah berhenti?”Juned menatap lurus ke depan. “Aku nggak tahu. Tapi aku tak bisa menolak mereka.”Dinda mengamati wajah Juned dengan penuh ketertarikan. “Kamu beda dari cowok lain yang pernah aku temui,” katanya akhirnya. “Aku jadi penasaran rasanya dipijat olehmu.”Juned hanya tersenyum tipis. Dia tahu, percakapan ini bisa saja berlanjut lebih jauh, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya untuk tidak melangkah ke arah seperti dulu.“Aku berusaha memulai kehidupan yang baru menawarkan pijat keliling ini.” Juned menunjukkan selembar kertas miliknya.“Daripada kamu capek keliling cari pelanggan, kenapa ngg
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter
“Tidak ada,” Rizka menggeleng, tapi senyumnya tetap tergantung di bibir. “Hanya berpikir... pagi ini terasa berbeda.”Juned mengangguk, memahami tanpa perlu penjelasan lebih. Dia melangkah menuju ke dapur.–––Ketika Juned sedang menuangkan air mendidih ke dalam cangkir. Suara langkah ringan membuatnya menoleh—Rizka berdiri di ambang pintu, mengenakan baju tidur sutra Tania yang menggoda. “Aku pinjam ini,” ucap Rizka sambil memegang ujung baju yang nyaris transparan. “Kebetulan pas di ukuranku.”Juned menelan ludah. Baju warna merah delima itu memang selalu membuat Tania terlihat memesona, tapi di tubuh Rizka—dengan lekuk gunung yang jelas terlihat dan panjang kakinya yang ramping—pakaian itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menggoda. “Kau... kau terlihat—”“Berbeda?” Rizka menyelesaikan kalimatnya sambil berjalan mendekat, jari-jarinya membelai pinggiran baju. “Aku jarang pakai baju seperti ini. Suamiku lebih suka aku berjilbab rapi di rumah.” Juned mengalihkan pandanga
Dalam heningnya kamar yang hanya diterangi cahaya temaram, Rizka tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Juned dengan intens, bibirnya yang merah bergetar saat mengucapkan kata-kata yang mengubah segalanya. “Aku tidak tahan lagi, Mas Juned...”Dengan gerakan penuh keyakinan, jari-jarinya yang gemetar menyentuh pinggulnya sendiri, perlahan menurunkan pakaian dalam renda yang menjadi penghalang terakhir. Kain itu meluncur ke lantai tanpa suara, mengungkapkan keindahan yang selama ini tersembunyi. Juned menelan ludah, darahnya berdesir deras. “Mbak Rizka... kamu...” protesnya lemah, tapi matanya tak mampu berpaling dari pesona di hadapannya. Rizka menyentuh wajah Juned, pandangannya berapi-api. “Aku sudah memikirkannya sejak sesi pertama...” Udara di antara mereka terasa bergetar. Juned merasakan setiap helaan nafas Rizka yang hangat di kulitnya, mencium aroma tubuhnya yang bercampur minyak pijat – manis dan menggoda. “Kau yakin?” tanyanya terakhir kali
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga