Juned akhirnya menyerah. “Baiklah, Marina. Terserah kamu saja.”“Kamu gak usah memikirkan hal berat-berat, Juned. Biar aku yang urus semuanya buat kamu, ya,” balas Marina sebelum menutup telepon.Juned menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menatap ke arah dapur, di mana Siti dan Ratih sedang bekerja. Setelah dipikir-pikir, Siti dan Ratih memang lumayan cantik juga. Tapi entah, apakah benar kalau Juned bisa meminta apa saja kepada mereka berdua.Juned memutuskan untuk keluar rumah dan menghirup udara segar. Ia melihat Pak Darma sedang duduk di bangku kecil di dekat pagar, memandangi jalanan yang mulai ramai oleh orang-orang berlalu-lalang.Juned berjalan mendekat dan menyapanya. "Pak Darma, santai di sini ya?"Pak Darma menoleh dan tersenyum. "Iya, Mas Juned. Lagi lihat-lihat suasana. Kota ini memang lebih hidup dibanding tempat-tempat lain."Juned ikut duduk di bangku kecil di sebelah Pak Darma. Mereka berbincang ringan sejenak, hingga akhirnya Juned merasa p
Sebelum Juned sempat menyadari apa yang terjadi, tubuh Ratih yang membawa ember berisi air tiba-tiba tersandung dan menabrak tubuhnya.“Aaah! Maaf, Mas Juned!” Seru Ratih panik, sementara ember di tangannya terlepas hingga menumpahkan air ke tubuh mereka berdua.Juned dan Ratih terjatuh bersama. Tubuh Ratih yang basah kuyup kini menimpa tubuh Juned.Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Juned hanya bisa terdiam. Pandangannya terpaku pada wajah Ratih yang begitu dekat dengannya, matanya yang bulat dan penuh rasa bersalah, serta aroma tubuh Ratih yang wangi menyeruak menusuk hidung Juned.Ratih buru-buru berusaha bangkit. "Maaf, Mas Juned! Saya benar-benar nggak sengaja."Namun Juned masih diam di tempat, tanpa sadar tangannya menahan pinggul Ratih agar tak bisa bangkit.Pikiran-pikiran Juned berputar cepat diiringi dengan aroma wangi tubuh Ratih yang memabukkan hingga tanpa dia sadari barangnya mulai berkembang di dalam celananya.Juned bahkan sempat terpikir untuk
Itu adalah sebuah jamur kecil dengan bentuk yang sangat mirip dengan jamur yang pernah ia makan di hutan dulu.Alisa menghapus air matanya perlahan dan menjawab dengan suara lemah. “Saya menemukannya di belakang sekolah, Mas. Ada semak-semak yang jarang orang lewati. Saya nggak sengaja lihat jamur ini tumbuh di sana.”Juned menatap jamur itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin membuat Alisa maupun Pak Darma panik, tapi ia tahu jamur ini mungkin memiliki kekuatan tersembunyi seperti pengalaman aneh yang pernah ia alami.“Alisa, boleh saya minta jamur ini? Saya ingin memeriksanya lebih lanjut,” ujar Juned sambil berusaha terdengar tenang.Alisa tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau Mas Juned mau, ambil saja. Saya juga nggak tahu itu jamur apa.”Juned menerima jamur itu dan memasukkannya ke dalam kantongnya dengan hati-hati. Ia tidak memberi tahu Pak Darma atau siapa pun tentang penemuannya, memilih untuk menyimpannya sebagai rahasia.Juned baru saja memasukka
Namun, setelah beberapa detik berlalu, tubuh Alisa tetap tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia hanya menelan jamur itu sepenuhnya lalu duduk kembali sambil mengelus perutnya."Aku baik-baik saja, kok," katanya dengan suara tenang. "Nggak ada yang aneh atau berbeda. Rasanya juga biasa aja."Juned menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari kekhawatirannya. "Syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa. Tapi lain kali, jangan bertindak sembarangan begitu, Alisa. Yang diceritakan Pak Darma itu belum ada kebenarannya."Alisa menunduk sedikit, merasa bersalah. "Maaf, Mas Juned. Aku cuma penasaran aja. Lagipula, kalau itu beneran jamur yang katanya punya kekuatan, aku juga ingin tahu rasanya."Pak Darma, yang masih memandang Alisa dengan serius, berkomentar, "Mungkin jamur itu memang hanya mitos belaka, Mas Juned. Atau bisa juga, jamur itu baru bekerja di kondisi tertentu, atau hanya pada orang tertentu."“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang, Alisa.” Kata Juned dengan tegas.Alisa langsung
Marina tersenyum tipis, berusaha menenangkan suasana. “Tidak, Juned. Aku hanya teringat sesuatu, tapi mungkin tidak ada hubungannya. Lagi pula, jamur seperti itu bisa saja tumbuh di mana saja, kan?”Juned semakin penasaran dengan ucapan Marina, “Memang kamu teringat dengan Apa? Kau juga pernah mendengar cerita seperti yang diceritakan Pak Darma?” Desak Juned.Marina menghela napas panjang, “Pak Darma? Cerita apa? Aku hanya teringat tentang sup jamur yang dulu sering dibuat oleh ibuku, sangat enak sekali.” Marina terlihat gugup, tangannya mencoba mengusap kepala Alisa agar menghilangkan rasa gugupnya.“Oh hanya itu, baiklah kalau begitu.” Kata Juned sambil berdiri lalu melangkah ke Jendela.Marina menoleh ke arah Juned yang kini berdiri di dekat Jendela. “Lupakan perihal jamur yang dimakan Alisa. Yang penting dia sekarang kelihatan baik-baik saja.” Kata Marina.“Marina, apa kamu percaya kalau semua yang terjadi di dunia ini karena kebetulan?” Tanya Juned sambil tetap menatap ke luar j
“Ah tidak apa-apa. Aku akan mengantar Alisa pulang ke rumah.” Kata Juned saat tersadar dari lamunannya.“Iya lebih baik kamu antar dia pulang, keluarganya pasti khawatir dengan Alisa.” Balas Marina.Alisa hanya diam saja mendengarkan percakapan Juned dan Marina.Kemudian Juned keluar rumah sambil di ikuti oleh Alisa.“Alisa, kalau ada apa-apa, kamu bilang ke aku, ya. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi,” kata Juned sambil membantu Alisa naik ke motor.Alisa mengangguk lemah. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi ia tidak mengeluh. Juned menghidupkan motor dan memulai perjalanan menuju rumah Alisa.Di sepanjang perjalanan, Juned mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya berbicara. “Kamu tinggal sama siapa di rumah? Ayah dan ibumu pasti khawatir tadi,” tanya Juned.“Aku tinggal sama ayahku. Ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” jawab Alisa pelan.Juned mengangguk dengan simpati. “Oh, begitu. Kalau begitu nanti aku mau sekalian minta maaf sama ayahmu karena kejadian ini.”
Marina menatap Juned dengan mata yang sayu, “Maksudmu Siti, Ratih, dan Pak Darma? Kamu tenang saja Juned.”Saat Marina memeluk Juned dengan erat, suasana di dalam kamar semakin intens. Marina mendekatkan wajahnya ke Juned, dan mereka hampir berciuman. Namun tiba-tiba, pintu kamar terbuka.Ratih berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kaget sambil membawa kain pel. "Astaga, maaf, Mas Juned... Bu Marina... Saya nggak sengaja!" katanya dengan gugup, langsung menutup pintu kembali.Juned melompat mundur, terkejut dengan situasi yang memalukan itu. Wajahnya memerah, sementara detak jantungnya berdegup kencang. Namun, reaksi Marina sangat berbeda.Dengan santai, Marina menghela napas panjang sambil mengusap rambutnya yang tergerai. "Ratih, tunggu sebentar," katanya dengan nada tenang, berjalan mendekati pintu.Ratih membuka pintu sedikit, wajahnya masih terlihat tegang. "Iya, Bu. Maaf banget tadi saya nggak sengaja masuk.""Sudah, nggak apa-apa. Daripada minta maaf terus, mending kamu
Juned yang awalnya terkejut lebih memilih untuk membiarkan saja.Sementara Siti terus memandang ke arah Ratih yang menunduk dengan raut wajah yang menunjukkan rasa sesal. “Nggak usah, Mas. Kami makan nanti aja di belakang,” jawab Ratih dengan nada pelan.Juned menggeleng. “Nggak ada nanti-nanti. Sekarang aja. Lagian, aku juga nggak nyaman makan sendirian. Biar lebih, panggil sekalian Pak Darma ke sini, ya.”Siti tersenyum tipis. “Pak Darma? Tapi—““Nggak pake tapi-tapian,” potong Juned sambil tertawa kecil. “Ayo, Ratih, panggil Pak Darma. Kalau nggak, saya yang manggil.”Setelah terus dipaksa, akhirnya Ratih dan Siti mengalah. “Baik, Mas. Kami panggil Pak Darma dulu,” kata Ratih sebelum menuju ke luar untuk memanggilnya.Tak lama, Pak Darma masuk ke ruang makan dengan wajah sedikit bingung. “Ada apa, Mas Juned?” tanyanya.Juned tersenyum dan menunjuk kursi di meja makan. “Pak Darma, duduk sini. Kita makan bareng. Jangan biarkan saya makan sendirian, dong.”Pak Darma tertawa kecil, t
“Aneh... kenapa dia begitu menarik sekarang?” Gumam Juned dalam hatinya.Juned menatap Tania beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi tak ada yang bisa dia tangkap dari ekspresi wanita itu selain ketegasan yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa berkata apa-apa lagi, Juned berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Tania sendirian dalam lamunannya. Tania menghela napas panjang, menatap punggung Juned yang semakin menjauh.Angin berembus pelan, membuat helaian rambut Tania sedikit berantakan. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Kenapa aku harus peduli?” pikirnya dalam hati.Tapi bayangan Juned yang berjalan pergi tetap melekat dalam benaknya, membuatnya tak bisa benar-benar mengabaikan perasaan yang baru saja muncul itu.“Apa kamu masih akan melamun terus, kak?”Suara Alisa sedikit mengejutkan Tania yang sempat terbuai dalam lamunan.“Kamu mau ke mana, Alisa?” Tanya Tania sesaat setelah menoleh ke a
Alisa menepuk bahu Juned dengan penuh semangat. “Mas, kenapa nggak mulai pijat lagi aja? Ini kan keahlian Mas Juned. Daripada bingung mau ngapain, kan lebih baik buka pijat lagi di kehidupan baru ini?”Juned terdiam, tampak mempertimbangkan saran itu. “Aku memang suka memijat, dan itu satu-satunya yang paling aku kuasai...”Namun, sebelum Juned bisa melanjutkan kata-katanya, Tania langsung menyela dengan nada datar, “Menurutku nggak perlu.”Alisa menoleh cepat ke arah kakaknya, matanya menyipit curiga. “Lho, kenapa, Kak? Bukannya itu hal yang bagus?”Tania tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku Cuma mikir... mungkin Juned bisa mencoba hal lain. Nggak harus balik ke dunia pijat.”Alisa tersenyum licik, seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Atau... Kakak sebenarnya nggak mau Mas Juned mijat orang lain?”Tania langsung merasakan wajahnya memanas, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa saja. “Bukan itu alasannya.”Namun, Alisa tak begitu saja percaya. Dia bersa
Alisa menyilangkan tangan di dadanya dan tersenyum kecil. “Akhirnya kamu mulai berpikir lebih jernih.”Tania yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Juned, kamu tidak harus memaksakan diri untuk mencari orang yang tidak menginginkanmu.”Juned menoleh ke arah Tania, memperhatikan wajahnya dengan lebih saksama. Ada sesuatu di dalam tatapan Tania yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya—sebuah kehangatan yang selama ini mungkin ia abaikan.“Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pelan.Alisa tertawa kecil dan menepuk bahu Juned. “Itu pilihanmu, Mas. Tapi kalau kamu tanya aku... aku akan bilang tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Ada seseorang yang lebih pantas untuk kamu hargai di rumah ini.”Juned kembali menatap Tania, dan kali ini, hatinya mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.Juned mengalihkan pandangannya menatap Alisa dengan raut bingung. “Kenapa kamu bisa tahu semua tentang aku? Bahkan hal-hal yang aku sendiri baru sada
Mereka bertiga duduk di ruang tengah, dengan secangkir teh di depan masing-masing.Juned mengerutkan kening, mencoba menggali ingatan terakhir yang masih terasa kabur di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang penting, sesuatu yang begitu emosional, namun belum sepenuhnya jelas.Perlahan, bayangan tentang seseorang muncul di benaknya. “Apa benar kalau tante Lilis sudah meninggal?”Tania menganggukkan kepalanya perlahan. “Hal itulah yang membuatmu menjadi depresi, Juned.”Juned terdiam, napasnya sedikit berat. Ia mulai mengingat saat terakhir bersama Lilis, dan bagaimana wanita itu menghilang dari hidupnya. “Mas Juned harus merelakan apa yang sudah terjadi.” Sahut Alisa dengan serius.Tiba-tiba, amarah menyala di matanya. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal. “Anton...” gumamnya pelan, namun penuh kebencian.Tania dan Alisa yang sedari tadi memperhatikan perubahan ekspresi Juned saling bertukar pandang.“Apa kamu akan kembali membalas dendam kepada Anton?” tanya Tania dengan nad
“Ju... Juned?” Tania berbisik, masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.Juned perlahan menarik diri, matanya yang sebelumnya kosong kini tampak lebih hidup. Ada kebingungan di wajahnya, tetapi juga ketenangan yang sebelumnya tidak ada.“Bukankah kamu... Tania?” tanya Juned dengan suara lembut, seperti seorang anak kecil yang baru saja bangun dari tidur panjang.Tania terdiam, hatinya mencelos. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Juned berbicara dengan nada normal—bukan gumaman tak jelas atau ocehan seperti orang kehilangan akal.“Apa kau sudah mengingatku?” Tania sedikit tersenyum lega.Juned mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah baru menyadari sesuatu. Tatapannya menyapu tubuh Tania yang masih mengenakan handuk, lalu ia tersenyum lembut."Oh, Kenapa kamu hanya memakai handuk?" katanya santai. "Biasanya wanita yang hanya memakai handuk ingin aku untuk menidurinya. Apa kamu juga mau, Tania?"Tania membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang, bukan hanya karen
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di