Ghenadie menghela napas dalam. Keringat membasahi dahinya. Ia menatap Okok Keang, gurunya, yang berdiri dengan kuda-kuda siap menyerang."Apakah benar-benar ingin membunuhku, Guru?" tanya Ghenadie dengan suara bergetar.Dia sama sejali tidak pernh mengira, jika gurunya ini tiba-tiba bisa menyerang nya tanpa peringatan. Untunglah gerakan tubuhnya cukup lincah menghindari serangan gurunya yang mematikan itu.Okok Keang tidak menjawab. Dalam sekejap, ia melesat maju, mengayunkan serangan mematikan. Ghenadie nyaris tak sempat menghindar. Pukulan itu menghantam udara kosong, tapi anginnya saja sudah cukup untuk mengguncang tubuh Ghenadie."Ini adalah ujian terakhir," kata Okok Keang dingin. "Jika kau ingin menjadi penerusku, kau harus bertahan hidup."Memang selama ini Okok Keang memang belum ada menetukan diantara murid-mudirnya menjadi penerusnya, bahkan Desdy yang paling lihaipun tidak dia tunjuk sebagai penerusnya.Bukan karena dia perempuan, di mata Okok Keang tidak ada diskriminasi a
Ghenadie tahu ia tak punya waktu untuk memahami ilmu di gulungan itu. Satu-satunya cara bertahan adalah mengandalkan insting dan kenangan akan latihan yang diberikan Okok Keang. Dengan sisa tenaga, ia mencoba menahan serangan Klan Serigala Hitam.Puluhan anggota klan mengepungnya, mata mereka berkilat liar dalam bayangan malam. Dengan cepat, mereka meluncurkan serangan bertubi-tubi. Ghenadie menangkis dan menghindar sebaik mungkin, namun jumlah mereka terlalu banyak."Kau sudah tamat, bocah!" seorang pria bertubuh kekar mengayunkan pedangnya ke arah Ghenadie.Ghenadie berusaha menahan serangan itu dengan pedangnya sendiri, namun kekuatan lawannya membuatnya terlempar ke belakang. Napasnya tersengal, lututnya bergetar menahan rasa sakit."Aku tidak bisa... aku tidak cukup kuat..." pikirnya.Tapi kemudian, ingatan tentang Okok Keang terlintas di benaknya. Gurunya yang sudah tiada baru saja menunjukkan ilmu rahasia sebelum menghembuskan napas terakhir.Tanpa berpikir panjang, Ghenadie me
Pak Anton duduk di belakang meja kantornya, matanya menatap tajam ke arah Desy yang berdiri di depannya. Wajahnya tegang, napasnya berat, seolah dunia runtuh perlahan di sekelilingnya."Desy," ucap Pak Anton pelan namun tegas, "aku ingin kamu pindah ke rumahku."Desy mengerutkan dahi, terlihat bingung. "Maaf, Pak? Maksudnya... pindah ke rumah Bapak?""Ya," jawab Pak Anton tanpa ragu. "Rumahku memiliki sistem keamanan penuh. Semua pintu dan jendela dikunci secara elektronik, hanya bisa dibuka dengan sidik jari dan pemindai wajah. Bahkan security rumah tak bisa membukanya tanpa identitasku."Desy terdiam, berusaha memahami maksud dari pernyataan itu."Saya tidak mengerti, Pak. Apakah ini ada hubungannya dengan Ghenadie?""Sekarang dia hilang lagi." Suara Pak Anton lirih namun sarat emosi. "Aku tak bisa percaya siapa pun, bahkan aparat hukum yang seharusnya menjamin keadilan. Mereka tidak menyentuh Pak Budi, padahal aku sudah memberikan bukti."Pak Anton telah mengerahkan segala koneksi
Hening malam menyelimuti markas rahasia kelompok Pak Anton. Di sebuah gudang bawah tanah di bawah rumah pak Anton yang serba elektronik dan pakai teknologi tinggi, lampu redup menggantung dari langit-langit yang penuh debu.Di dalamnya, enam orang duduk melingkar di depan monitor besar, wajah mereka sudah tertutup masker silikon ultra tipis yang membuat mereka tampak seperti sosok-sosok lain yang tak dikenali.Topeng itu bukan sekadar penyamaran. Ini adalah hasil dari teknologi modifikasi wajah termutakhir, hasil kerja sama diam-diam dengan seorang ahli bio-teknologi yang sudah muak melihat hukum tak ditegakkan.Bentuknya menyatu dengan kulit, merespon gerakan otot, bahkan berkeringat seperti kulit manusia biasa.Pak Anton berdiri di tengah ruangan, tatapannya menajam ke arah layar yang menampilkan diagram hubungan antar oknum yang terlibat. Ada wajah-wajah yang tak asing: hakim tinggi, perwira polisi, seorang kolonel, dan jaksa senior.Jaringan mereka menjalar seperti akar pohon tua
Langit Jakarta tampak suram sore menjelang malam itu. Awan kelabu menggantung seperti ancaman yang tak terlihat. Empat orang sedang bersiap-siap melakukan aksi mereka sore ini.Operasi Kiamat segera dimulai."Semua unit, status?" tanya Pak Anton, suaranya tenang tapi tegas. Dia duduk di depan panel kendali yang penuh dengan lampu-lampu kecil dan peta digital."Siap di posisi," jawab Desy melalui earphone-nya. Ia sedang berada di dalam mobil hitam yang diparkir tak jauh dari kantor kejaksaan, menyamar sebagai jurnalis jalanan."Target belum keluar dari gedung. Aku masih menunggu," kata Pak Arif yang berdiri santai di sudut trotoar, menyamar sebagai pedagang koran.Ghenadie, sang eksekutor, tak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya menyesuaikan sarung tangannya dan menatap lurus ke arah pintu keluar gedung tempat jaksa itu bekerja.Wajahnya dingin. Tatapannya kosong.Ghenadie yang sekarang bukan lagi Ghenadie yang dulu.Dulu ia hanyalah seorang tukang bakso, kemudian di ketahui adalah pu
Bayangan malam merayap perlahan, membungkus jalanan ibu kota dengan keheningan yang ganjil. Kota yang biasanya hiruk pikuk bahkan hingga dini hari kini terasa seperti ditelan sesuatu yang tak kasatmata.Jalanan tempat tubuh Jaksa Dharmawan ditemukan tadi sore masih disterilkan. Garis polisi telah ditarik, namun tak ada satu pun wartawan yang diperbolehkan mendekat.Ghenadie berdiri di balik bayang-bayang pohon mahoni besar. Ia tak bergerak, tapi tubuhnya benar-benar tak terlihat. Ini bukan trik sulap atau teknologi canggih. Ini adalah warisan ilmu dari gurunya yang legendaris, ilmu Sokollimun atau menghilang dari Kalimantan.Ilmu tinggi yang memungkinkannya menyatu dengan ketiadaan.Dia mengamati dari kejauhan saat dua truk militer datang. Dari dalam, keluar sepasukan bersenjata lengkap dengan emblem khusus di lengan kiri mereka. Bukan pasukan biasa.Mereka adalah bagian dari unit rahasia pemerintah yang hanya bergerak untuk misi-misi kelas satu.“Apa sudah dipastikan ini TKP-nya?” ta
Kabut pagi menyelimuti hutan Kalimantan seperti selimut bisu yang menyembunyikan rahasia dunia. Udara terasa lembab dan sunyi, hanya suara gemerisik daun dan sesekali cicitan burung terdengar samar.Di tengah rimba belantara itu, berdirilah seorang pria tua dengan mata setajam pedang, mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar, namun aura yang memancar darinya tak bisa disangkal: ini bukan pria biasa.Namanya Mr. Storu, nama yang terdengar aneh bagi lidah lokal, namun mengandung sejarah panjang yang terpendam. Dahulu kala, ia adalah ninja elit dari Dinasti Aman Keshogunan Ashikaga, dilatih untuk menjadi senjata hidup.Namun, saat negeri itu dipenuhi perang saudara, tipu daya, dan kebrutalan yang dibungkus kehormatan, Mr. Satoru memilih jalan lain.Ia melarikan diri ke Nusantara, menemukan kedamaian di Kalimantan, jauh dari darah dan bayang-bayang masa lalu. Di sinilah ia bertapa, menyatu dengan alam, hingga tubuhnya nyaris tidak menua. Tak ada yang tahu berapa usianya. Mungkin ratusan t
“Serahkan padaku!” teriak Ghenadie. Ia melompat dan mengayunkan tangannya, menciptakan gelombang energi yang membelah tanah. Namun makhluk itu menangkisnya, dan menyerang balik dengan pukulan yang menciptakan kawah di tanah.Mr. Satoru melompat ke udara dengan kecepatan yang mustahil bagi usianya, dan mendarat di atas bahu makhluk itu, menancapkan jarinya ke titik tertentu di lehernya.“Teknik Pemutus Roh,” bisiknya.Makhluk itu mengerang, tubuhnya bergetar, lalu roboh seketika.“Kau... masih menguasai teknik itu?” tanya Ghenadie kagum.“Ilmu kuno tak akan pudar, selama niatnya tetap murni.”Mereka terus melangkah ke dalam, hingga mencapai sebuah dataran tinggi, di mana sebuah gerbang batu raksasa berdiri. Di atasnya tertulis dalam aksara kuno: Gerbang Dunia Bawah.“Segel Hitam ada di balik sana,” kata Ghenadie.“Tapi kau belum siap membukanya,” jawab Mr. Storu. “Jika kau buka sekarang, dan kau tak kuat... kau bisa hancur.”“Aku tidak sendiri,” balas Ghenadie, menatapnya. “Kau bersama
Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,
Hanya keheningan. Rendra mencoba membuka mulutnya untuk meminta maaf, tapi Hana lebih dulu berbicara.“Rendra...,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.“Maaf, aku... tidak berniat...” Rendra tertahan, tidak tahu bagaimana menjelaskan naluri tubuhnya yang tak ia kendalikan.Namun, Hana tak menjauh. Bahkan, ia tetap berada dalam pelukan itu. Dan perlahan, ia menghela napas panjang, menundukkan wajah, dan... tersenyum.“Aku juga merasa... aneh,” katanya lirih. “Tapi aku tidak takut.”Wajah mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di balik semua rasa canggung, ada rasa penasaran, ada keingintahuan yang tumbuh. Rendra menempelkan wajahnya pada wajah Hana, mencoba membaca pikirannya.Tapi Hana menutup matanya pelan, menyerahkan dirinya pada keheningan yang kini berubah menjadi getaran halus di udara. Dia merasa dingin, dia merasa dihangatkan oleh tubuh Rendra, sehingg dia semakin menyerahkan dirinya.Tangan Rendra yang semula diam, perlahan bergerak. Ia menyentuh lengan Ha
Langit Kalimantan pagi itu membentang biru, tapi udara terasa berat bagi Ghenadie. Tubuhnya masih lemas setelah lebih seminggu berada di hutan belantara. Bau tanah basah dan daun busuk masih melekat di pakaiannya yang compang-camping."Mengapa aku sampai mengalami sesuatu yang naas sampai terjatuh ke hutan Kalimantan?" batinnya, sambil menatap keluar jendela helikopter Eurocopter EC725 milik Basarnas yang sedang membawanya menjauh."Kita butuh sekitar empat jam sampai Jawa. Coba istirahat, Pak," ujar pilot sambil mengecek instrumen penerbangan.Ghenadie mengusap keningnya yang berkeringat. "Ada air minum?"Seorang paramedis segera mengulurkan botol. "Ini, minum perlahan. Tekanan darah Anda masih rendah. Kami juga perlu memantau suhu tubuh Anda - masih 38,5 derajat."Dia mencoba menelan, tapi tenggorokannya serasa terbakar. Di luar jendela, lautan dan pulau-pulau kecil berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, bayangan hitam melintas di penglihatannya - bayangan yang sama yang ia lihat sebelum
Liana menggenggam tangannya. Hangat. Nyata. Di tengah hutan dan gelap malam, mereka punya satu sama lain.Karenaa Hana tidak bisa dihubungi, sementar dia sekarang berama Liana, Ghenadie berpikir, adalah kehendak semesta dia bersama dengan Liana sekarang.Waktu terus berjalan. Minggu demi minggu. Liana mulai batuk. Awalnya ringan. Tapi makin hari makin parah. Ghenadie mencoba segala cara, merebus daun-daun hutan sebisanya, mencarikan air bersih lebih banyak, bahkan mencoba membuat ramuan dari tanaman liar.Tapi kondisi Liana memburuk.Suatu pagi, saat kabut belum sepenuhnya mengangkat dari tanah, Liana tergeletak lemas. Ghenadie duduk di sampingnya, memegangi tangan yang semakin dingin."Ghen..." suara Liana nyaris tak terdengar."Ya, aku di sini," Ghenadie membelai rambutnya yang kusut."Aku... menyesal," kata Liana pelan."Jangan begitu. Kamu nggak salah apa-apa.""Aku... harusnya bilang dari awal. Harusnya aku jawab waktu kamu bilang itu...""Aku tahu," Ghenadie menahan tangis. "Dan
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa setiap langkahku di sini, kamu ada di dalamnya.”Kata-kata itu masih terpatri di benak Liana. Ia mengulangnya dalam pikirannya berkali-kali, seolah menjadi doa yang terucap diam-diam di antara keramaian kabin pesawat.Dua bulan telah berlalu sejak Ghenadie mengucapkan kalimat itu di café kecil di Sydney. Dua bulan penuh kebingungan, ragu, dan diam.Sekarang, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan di bawah langit biru Australia, tapi di ketinggian 35.000 kaki di udara. Sebuah kebetulan yang terlalu mustahil jika hanya disebut kebetulan.Ghenadie sebenarnya pulang mau mencari Hana dan memastikan keberadaan gadis itu. Juga mau bicar dengan ayahnya secara langsung tentang rencananya di Australia itu.Liana, yang bertugas sebagai pramugari di penerbangan itu, tak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat Ghenadie masuk ke dalam kabin dengan senyum tipis."Hei..." Ghenadie menyapa pelan saat ia melihat Liana menyambut pe
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap