Share

109. Derita Ibu Sambung

Author: Lefkilavanta
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jasmine tersenyum seringai ketika melihat Jenar tampak gelisah di depannya. Tanpa dia memberikan penyerangan, Jenar sudah merasa terintimidasi.

"Katakan saja apa yang kalian lakukan." Jasmine bersedekap di depannya. "Aku rasa pertanyaanku sederhana, kamu tidak perlu menjelaskan detail jika memang kamu tidak melakukan sesuatu yang salah."

Jenar memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan kecemasan yang tiba-tiba datang, nyatanya dia tidak bisa membohongi gadis cerdik seperti Jasmine.

"Kenapa diam saja?" Jasmine mengubah nada bicaranya. "Aku melihat kalian masuk ke kamar tamu, tetapi aku tidak melihat kalian keluar setelah itu."

"Awalnya aku berpikir mungkin saja kak Julio keluar setelah memastikan kamu tidur di sana," ucap Jasmine. Dia mulai mengintimidasi posisi Jenar.

Jasmine tertawa kecil tiba-tiba. "Anehnya aku melihat kamu keluar dari kamar itu besok paginya, tapi aku tidak melihat Kak Julio di kamarnya."

Jenar hanya bisa diam ketika Jasmine mengutarakan isi ke
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   110. Kafetaria

    "Luce?" Julian sedikit terkejut ketika melihat mantan istrinya berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Kenapa kemari?" tanyanya. Luce tak memberi jawaban, dia tersenyum lalu memeluk Julian. Julian tak punya pilihan lain selain membalas Luce, akan aneh jika memarahinya dan menyuruh Luce pergi begitu saja. Kenyatannya Julian berhutang banyak pada mantan istrinya ini.Luce melepas pelukan. "Aku ada kabar baik untuk kamu, Julian," ucap Luce penuh perhatian. Dari caranya tersenyum, Julian menebak itu adalah kabar baik tentang kunjung mereka kemarin malam. "Tentang Mr. Pratt?" tanya Julian menelisik. Harapannya begitu besar pada pria berkebangsaan Amerika-Indonesia itu. Luce manggut-manggut. "Aku rasa kita harus membicarakan ini di luar kantor. Aku akan cari tempat yang nyaman, Julian."Julian terdiam sesaat. Dia punya banyak pertimbangan di sini. Lelaki itu terlalu jauh melangkah bersama Luce. Sejenak melupakan kenyataan tentang Luce dan dirinya yang tidak seharusnya bermalam bersama

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   111. Ketauan Selingkuhan

    Julian membisu. Dia bahkan tidak berani memandang perempuan yang jauh lebih muda darinya yaitu. Sarah menangkap basah dirinya, meskipun Julian tidak yakin dia sedang berselingkuh."Aku tidak akan mengadukannya pada Jenar." Sarah membuat pembicaraan. "Itu pemikiranku sebelumnya."Alis Julian pun terangkat, melihat bagaimana Sarah mempermainkan pendiriannya."Tapi setelah mendengar kalimat dari wanita itu, aku jadi berpikir ulang untuk mengatakannya," imbuh Sarah. Senyumnya menghina keresahan Julian.Julian mengerti persahabatan mereka jauh lebih penting dari apapun. Dia tersenyum tipis pada Sarah. "Biarkan aku yang bilang sendiri padanya."Sarah yang awalnya diam tiba-tiba tertawa. Baginya, kalimat Julian menggelitik perutnya. "Aku harap kamu mengerti apa maksudnya." Julian berusaha berbicara dengan lembut. "Ini masalah rumah tanggaku. Dia sudah menjadi istriku sekarang, bukan lagi teman dekatmu."Sarah menganggukkan kepalanya. "Pak Julian berpikir kalau dia sudah menikah itu artinya

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   112. Kejutan dari Sarah!

    Bagi Julian dia baru saja diselamatkan dari bahaya yang besar. Sarah benar-benar mempermalukan dan mempermainkan dirinya, sepertinya memang itulah tujuannya. "Jenar. Aku ingin tanya sesuatu sama kamu," ucap Julian. Dia menghentikan Jenar yang hampir melepaskan jaketnya.Jenar memandang Julian dengan polos, seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. "Kenapa kamu datang di cafe itu tadi?" Julian sedikit gagap dalam berbicara. Rasa takut mengusir kenyamanannya. Julian berharap penuh pada Jenar saat ini. "Kamu tidak seharusnya datang, karena di sana tidak ada apa-apa."Jenar yang awalnya terdiam kini perlahan-lahan melengkungkan senyum. "Karena Sarah mengirimi aku pesan, jadi aku datang ke sana."Julian masih belum dilegakan. Rasa was-was masih bergemuruh di dalam hatinya. "Emangnya dia mengirim pesan apa sama kamu, sampai-sampai kamu jauh datang ke sana dan meninggalkan rumah?"Jenar berusaha untuk terlihat biasa saja, meskipun ada pertanyaan besar di dalam kepalanya. "Sarah yan

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   113. Anak Tiri Sialan

    Jenar membawa banyak makanan, kiranya dia ingin menghibur Julio yang duduk sendiri di taman belakang rumah."Tumben tidak main ke luar?" Jenar duduk tak jauh dari Julio. "Kamu jarang di rumah kalau jam segini."Julia tidak mau menggubrisnya, berusaha untuk mengabaikan Jenar saat ini. "Kamu akan segera lulus, jadi pastikan kamu melakukan semuanya dengan maksimal." Jenar berbicara sembari sibuk menata piring buang di depan Julio. "Jangan menyesali apapun.""Kenapa berpura-pura?" Julio mengubah topik. Mata elangnya berusaha membuat tatapan intens. Jenar memandang ke arahnya. Sekarang dia berpikir ulang untuk melanjutkan pembicaraan mereka. "Kamu bersikap seolah-olah tidak ada apapun di antara kita?" Julio tidak mau mengalah. "Aku yakin kamu ingat semua yang terjadi malam itu."Jenar hanya memandangnya, berdebat dengan Julio pun tidak akan ada untungnya. "Jenar, berhenti berpura-pura!" Julio kesal di tempatnya. "Aku tahu kamu menahan sesuatu dalam hatimu.""Julio, aku adalah ibumu." J

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   114. Kenangan Luce

    Pagi menyambut Jenar. Kembali pada rutinitas yang mulai membosankan untuknya, tetapi anehnya dia tidak mau berhenti atau lari dari hidupnya sekarang.Setelah menyelesaikan semua tugasnya di rumah, memastikan suami dan anak-anaknya memulai aktivitas mereka masing-masing, Jenar memutuskan untuk mencari udara segar. Taman kota yang tak jauh dari rumah adalah pilihannya sekarang. Memandang orang-orang adalah caranya untuk menyembuhkan keresahan sekaligus kesepian dalam hatinya."Aku meneleponmu sejak tadi, ternyata kamu ada di sini." Suara Luce tidak hanya ada dalam imajinasinya, tetapi Jenar melihat perawakannya sekarang.Luce tersenyum miring ketika pandangan mata mereka bertemu. "Kamu juga sedang menggenggam ponselmu, tetapi kamu mengabaikan panggilan dariku?""Aku tidak punya alasan untuk menjawabnya." Jenar berbicara dengan ketus. "Kita tidak ada urusan sebelumnya, jadi aku rasa akan sedikit aneh jika aku berbicara banyak denganmu."Luce hanya tertawa ringan. Dia mengeluarkan sesuat

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   115. Ceraikan suamimu!

    Suara pintu diketuk, Jenar menyambut siapa yang datang. Itu adalah Sarah."Aku mengganggu soremu?" Sarah tersenyum kuda ketika Jenar menyambutnya dengan pelukan. "Aku harap tidak mengganggu."Jenar menggelengkan kepalanya yakin. "Tentu saja tidak mengganggu. Aku memang sedang tidak punya teman hari ini."Senar mempersilahkan Sarah masuk ke dalam rumahnya. Ini bukan kali pertamanya Sarah datang, jadi suasananya sama sekali tidak asing untuk dirinya. "Tidak ada orang di rumah?" tanya Sarah. Dia duduk di atas sofa. "Anakmu yang paling kecil?"Jenar menggelengkan kepalanya. "Mau aku buatkan teh?" Dia berusaha mengacaukan tutup pembicaraan. "Sepertinya kamu baru dari cafe. Kamu pasti lelah bekerja.""Cih, kamu itu kebiasaan kalau ditanya apa jawabnya apa!" Sarah mendegus pelan. "Di mana putrimu yang paling kecil?"Jenar tak menjawab, dia memandang Sarah penuh pertanyaan, berharap Sarah menjawab pertanyaannya yang tadi."Nggak usah buatkan minum. Aku tidak bisa lama, aku ada urusan lain s

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   116. Pertemanan Harga Segepok Uang

    "Lalu kenapa kamu bilang dan mengakuinya?"Sarah menghela nafasnya panjang. "Aku terus memikirkannya. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan tenang.""Aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan itu sudah benar, tetapi aku tidak bisa menghilangkan kecemasan karena sudah membohongi." Sarah memasang wajah sedih di depan Jenar. "Aku muak dengan diriku sendiri ketika mulai merasa bersalah padamu."Dalam hati, Jenar menaruh iba pada temannya ini. Ingin memeluk Sarah dan mengatakan bahwa dia tidak seharusnya memohon kata maaf, berbicara tentang kerasnya hidup yang sedang dialami oleh teman masa kecilnya itu. Akan tetapi, Jenar saja sedang mencoba melawan permasalahannya sendiri. "Aku akan terjaga di malam hari, aku terus memikirkan bagaimana perasaanmu Jika kamu tahu ini dari orang lain," imbuh sarah. Dia melirihkan nada bicara. "Itu sebabnya aku bicara langsung padamu.""Jenar, Aku tahu kamu marah dan kecewa sama aku." Sarah berusaha mendekatinya perlahan-lahan, dia mengen

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   117. Kehamilan Jenar?

    “Tukang kebun bilang kamu kedatangan tamu.” Julian berbicara sembari menyibukkan diri dengan gantungan baju di depannya, memilih kaos yang pas untuk dikenakan di malam yang dingin ini.Jenar tersenyum pasti. “Sarah.”Julian menoleh, tak jadi mengambil baju. “Kenapa dia datang?” tanyanya. “Tumben sekali.”Sebiasa mungkin, Julian menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedikit was-was kalau sudah menyebut nama gadis licik itu. Dia sudah mempermainkan Julian kemarin.“Dia meminta aku menceraikan kamu, Mas.” Jenar blak-blakan.Kalimat Jenar lebih menarik untuk dibahas. Julian tak jadi mengambil baju, dia memilih telanjang dada, memandang Jenar yang melipat selimut di ujung ranjang.“Kenapa begitu?” Julian tak penasaran, dia hanya sedang memastikan saja.Jenar tersenyum padanya. “Katanya kita tidak cocok.” Jenar berbelit. “Kamu orang kaya dan aku tidak bisa

Latest chapter

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   154. Ending : Keputusan Akhir

    Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   153. Bimbang

    Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   152. Pertimbangkan!

    Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   151 Lamaran

    Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   150. Dia Kembali!

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   149. Negosiasi Tanpa Akhir

    "Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   148. Masih Peduli

    Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   147. Tentang Ayah Kandung

    Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   146. Dialog Malam : Bukan Anakku

    Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?

DMCA.com Protection Status