“Bara?! “ gumamku. Si preman itu datang dengan gaya khas pakaiannya. Ia berdiri di sampingku sambil menatap sang Hakim. “Untuk menghadirkan saksi, penggugat harus melaporkan sebelum sudang di mulai minggu depan. Untuk hari ini sidang ditutup! “ pak Hakim mengetuk palu dan meninggalkan ruangan sidang. Sidang hari ini pun berakhir. Aku menatap tajam Mas Dimas yang ada di sampingku. Apa yang diinginkan Mas Dimas, padahal dia tak ingin bercerai? Tapi mengapa dia memfitnah ku?? “Mau apa sih Mas? Ingin merusak nama baikku, agar nama kita sama-sama jelek di mata orang iya? “ Mbak Rere memegang bahuku, begitu juga dengan Mama ikut menenangkan aku. Tapi kesabaranku terhadap Mas Dimas sudah tak bisa aku tahan lagi. “Sebelum palu diketuk oleh Hakim, kamu masih istri aku Naya! Bisa-bisanya kamu menemui preman itu!” “Mas, aku ketemu dia hanya sekedar makan saja, sama saat aku bertemu dengan Egi, kamu nggak pernah marah! Kenapa kamu malah memfitnah aku yang bukan-bukan?!“ “Fitnah katamu
~Ruangan persidangan~ Aku duduk di ruang sidang, menunggu kedatangan ibu mertuaku. Sebentar lagi sidang akan segera dimulai. Sebelum itu Barra sudah memberikan keterangan sebagai saksi, jika hubungan kami hanya sekedar kenalan biasa. Itu pun karena Barra menemukan dompetku. Aku menunggu ibu mertuaku, yang juga akan menjadi saksi dalam sidang ini. Aku tahu bahwa ibu mertuaku akan menyatakan bahwa Mas Dimas adalah seorang gay dan Mas Dimas tetap pada pendirian nya. Waktu itu, ibu ragu untuk datang ke persidangan ini karena ia malah memihak padaku, bukan pada anaknya. Bagaimana perasaan Mas Dimas jika ia tahu ibu datang untukku, bukan untuknya. Beberapa saat kemudian ibu tiba bersama Dela dan Dira. Mas Dimas agak kaget saat melihat keluarga nya datang. Ia sampai berdiri dan langsung menemui ibu. Aku juga menghampiri ibu dan mengalaminya. “Alhamdulillah.. Ibu hadir, do’akan Bu, agar Naya dan aku tak jadi bercerai, “ ucap Mas Dimas sambil melirikku. Ibu tak memberikan tanggapan
“Naya?? “ panggil Mas Dimas, membuat aku menoleh padanya. “Ya? “ Ia tertawa getir dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Entah ucapan apa yang tepat aku katakan padamu, mengucapkan selamat karena kita telah bercerai atau apa, aku ngak tahu, “ ucapnya sambil tertawa kecil. “Terima kasih atas semua yang telah kamu berikan Mas, baik itu kasih sayang walaupun hanya sekejap, uang, kemewahan, juga luka yang sempat kau torehkan. Aku lega akhirnya aku bisa bercerai denganmu, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku masih mencintai kamu, Mas, “ ucapku dengan perasaan yang campur aduk, seolah kata-kata ini keluar dari hati. Aku hanya tak ingin lagi bersitegang dengan Mas Dimas di saat terakhir begini. Tak ku pungkiri ada rasa sedih di hati ini, namun ini adalah jalan takdir yang harus aku pilih. “Boleh aku memelukmu untuk terakhir kalinya? “ Pinta Mas Dimas dengan suara serak. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Dimas memelukku erat dan mengusap punggungku lembut. “Maafkan aku
Aku duduk di teras rumah, menatap ke arah matahari yang terbenam di ufuk barat. Aku merasa lega dan ringan, seperti beban yang telah lama memikulku akhirnya terangkat. Semua sudah berakhir. Perceraianku dengan Mas Dimas telah selesai, dan aku akhirnya bisa melanjutkan hidupku tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Dan yang paling menggembirakan adalah permohonanku pada pengadilan untuk pembatalan pernikahan diterima jadi statusku di KTP masih belum menikah. Aku mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara yang segar dan bebas. Aku merasa seperti aku bisa bernapas lagi, seperti aku bisa hidup lagi. Aku memandang ke sekeliling, melihat rumah yang telah menjadi saksi bisu atas semua yang telah terjadi. Aku merasa sedikit nostalgia, tapi aku tahu bahwa aku harus melanjutkan hidupku. Aku berdiri, merentangkan tangan dan menghadap ke arah matahari yang terbenam. Aku merasa seperti aku bisa memulai lagi, seperti aku bisa menjadi diri sendiri lagi. “Selamat tinggal, masa
Lift berhenti di lantai tiga, aku segera keluar dari lift tersebut, sedangkan dua orang yang aku pikir mungkin adalah keluarga dari Wijaya group itu melanjutkan naik ke lantai selanjutnya. Mungkin ke ruangan pemimpin perusahaan ini. Aku segera menuju ruangan HRD, menemui Mbak Anya sesuai arahan dari resepsionis di lantai dasar tadi. “Saya mau melamar pekerjaan, katanya ada lowongan kerja di sini?? “ tanyaku begitu bertemu dengan Mbak Anya. "Benar Mbak, Mbak bawa persyaratannya?? “ tanya balik. “Iya, ada. “ Aku menyerahkan beberapa berkas lamaran padanya. Ia menerima nya dan sesekali memerhatikan dengan aku seksama. “Tahu dari siapa ada lowongan pekerjaan di sini? “ tanya wanita itu. “Dari Papa, beliau mendapatkan informasi dari temannya, “ jawabku. Ia hanya tersenyum tipis, apa dia ingin menanyakan aku dapat rekomendasi dari siapa lagi. Sepertinya perusahaan ini sudah tak baik-baik saja. Aku juga tak terlalu berharap untuk bekerja di sini. “Baik lamaran Anda kami terima.
Masih teringat tragedi aku terjatuh di depan lift di kantor Wijaya group. Itu adalah pengalaman yang sangat memalukan bagiku. Rasanya aku tidak ingin muncul lagi di sana. Namun takdir berkata lain, aku malah dipanggil untuk wawancara kerja. Sebuah email masuk dari perusahaan Wijaya Group jika lusa dipanggil untuk wawancara kerja. "Padahal aku nggak berharap lho Bu, rasanya perusahaan itu nggak cocok deh sama aku,“ ungkapku memberi alasan. “Semua orang berharap bisa bekerja di perusahaan itu, kamu malah nggak mau, aneh. “ Tiba-tiba Mama seperti mengingat sesuatu. “Kamu malu kan karena pernah terjatuh di depan lift itu ya... “Aku tertawa. “Iya Ma, rasanya memalukan sekali, Ma.”“Ah, palingan orang udah lupa sama wajah kamu, ini kesempatan kamu bisa bekerja di perusahaan besar Naya. Ini adalah kesempatan emas untukmu, “ ucap Mama memberikan semangat padaku. Hari ini aku sudah berpakaian rapi, make up tipis-tipis, dan setelan hitam putih, dan jilbab senada. Setelah perceraian denga
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar aku membuatku merasa lebih hidup dan merasakan hangatnya sinar mentari. Aku meregangkan tubuhku dan mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang masuk ke dalam paru-paruku.Aku melihat sekeliling kamar dan merasa bersyukur atas semua yang aku miliki. Kamar yang sederhana namun nyaman, tempat tidur yang empuk, dan jendela yang menghadap ke taman yang hijau. Aku juga bersyukur bisa berkumpul lagu dengan kedua orang tuaku, walaupun aku harus berpisah dengan pasangan hidupku. Semua ini membuatku merasa lebih baik dan lebih bersemangat untuk menghadapi hari ini. Dari pada saat bersama Mas Dimas, hidup dengan orang yang tak pernah mau menghargai aku. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Aku membuka jendela dan merasakan angin pagi yang sejuk. Aku jadi ingat masa kecil dulu, aku belum berani tidur sendirian karena takut ada yang mengintip dari jendela, mam
Pesta pernikahan mewah baru saja digelar, aku sangat bahagia bisa menikah dengan seorang Dimas Mahardika, laki-laki tampan dan juga mapan yang baru saja menghalalkanku. Yah, apa lagi yang aku cari dari Mas Dimas, sudah ganteng pekerja keras, memiliki karir yang bagus dan yang paling penting dia mengerti agama. Aku berharap Mas Dimas bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Papa dan Mama saat melihat putri tunggalnya telah menikah dengan orang yang tepat. Walaupun sebenarnya aku dan Mas Dimas belum lama kenal, yang membuat aku yakin, Mas Dimas tidak mengajak aku untuk pacaran tapi melainkan langsung menikah. Siapa yang bisa menolak, dinikahi pria mapan dan juga tampan seperti Mas Dimas. Aku dan Mas Dimas turun dari mobil pengantin dan langsung masuk ke dalam rumahku, aku mengajak Mas Dimas untuk masuk ke kamarku. Kami belum merencanakan bulan madu, karena waktu cuti Mas Dimas tidak panjang. Sehingga bulan madu kita tunda dulu. "Ini kamarku
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar aku membuatku merasa lebih hidup dan merasakan hangatnya sinar mentari. Aku meregangkan tubuhku dan mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang masuk ke dalam paru-paruku.Aku melihat sekeliling kamar dan merasa bersyukur atas semua yang aku miliki. Kamar yang sederhana namun nyaman, tempat tidur yang empuk, dan jendela yang menghadap ke taman yang hijau. Aku juga bersyukur bisa berkumpul lagu dengan kedua orang tuaku, walaupun aku harus berpisah dengan pasangan hidupku. Semua ini membuatku merasa lebih baik dan lebih bersemangat untuk menghadapi hari ini. Dari pada saat bersama Mas Dimas, hidup dengan orang yang tak pernah mau menghargai aku. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Aku membuka jendela dan merasakan angin pagi yang sejuk. Aku jadi ingat masa kecil dulu, aku belum berani tidur sendirian karena takut ada yang mengintip dari jendela, mam
Masih teringat tragedi aku terjatuh di depan lift di kantor Wijaya group. Itu adalah pengalaman yang sangat memalukan bagiku. Rasanya aku tidak ingin muncul lagi di sana. Namun takdir berkata lain, aku malah dipanggil untuk wawancara kerja. Sebuah email masuk dari perusahaan Wijaya Group jika lusa dipanggil untuk wawancara kerja. "Padahal aku nggak berharap lho Bu, rasanya perusahaan itu nggak cocok deh sama aku,“ ungkapku memberi alasan. “Semua orang berharap bisa bekerja di perusahaan itu, kamu malah nggak mau, aneh. “ Tiba-tiba Mama seperti mengingat sesuatu. “Kamu malu kan karena pernah terjatuh di depan lift itu ya... “Aku tertawa. “Iya Ma, rasanya memalukan sekali, Ma.”“Ah, palingan orang udah lupa sama wajah kamu, ini kesempatan kamu bisa bekerja di perusahaan besar Naya. Ini adalah kesempatan emas untukmu, “ ucap Mama memberikan semangat padaku. Hari ini aku sudah berpakaian rapi, make up tipis-tipis, dan setelan hitam putih, dan jilbab senada. Setelah perceraian denga
Lift berhenti di lantai tiga, aku segera keluar dari lift tersebut, sedangkan dua orang yang aku pikir mungkin adalah keluarga dari Wijaya group itu melanjutkan naik ke lantai selanjutnya. Mungkin ke ruangan pemimpin perusahaan ini. Aku segera menuju ruangan HRD, menemui Mbak Anya sesuai arahan dari resepsionis di lantai dasar tadi. “Saya mau melamar pekerjaan, katanya ada lowongan kerja di sini?? “ tanyaku begitu bertemu dengan Mbak Anya. "Benar Mbak, Mbak bawa persyaratannya?? “ tanya balik. “Iya, ada. “ Aku menyerahkan beberapa berkas lamaran padanya. Ia menerima nya dan sesekali memerhatikan dengan aku seksama. “Tahu dari siapa ada lowongan pekerjaan di sini? “ tanya wanita itu. “Dari Papa, beliau mendapatkan informasi dari temannya, “ jawabku. Ia hanya tersenyum tipis, apa dia ingin menanyakan aku dapat rekomendasi dari siapa lagi. Sepertinya perusahaan ini sudah tak baik-baik saja. Aku juga tak terlalu berharap untuk bekerja di sini. “Baik lamaran Anda kami terima.
Aku duduk di teras rumah, menatap ke arah matahari yang terbenam di ufuk barat. Aku merasa lega dan ringan, seperti beban yang telah lama memikulku akhirnya terangkat. Semua sudah berakhir. Perceraianku dengan Mas Dimas telah selesai, dan aku akhirnya bisa melanjutkan hidupku tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Dan yang paling menggembirakan adalah permohonanku pada pengadilan untuk pembatalan pernikahan diterima jadi statusku di KTP masih belum menikah. Aku mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara yang segar dan bebas. Aku merasa seperti aku bisa bernapas lagi, seperti aku bisa hidup lagi. Aku memandang ke sekeliling, melihat rumah yang telah menjadi saksi bisu atas semua yang telah terjadi. Aku merasa sedikit nostalgia, tapi aku tahu bahwa aku harus melanjutkan hidupku. Aku berdiri, merentangkan tangan dan menghadap ke arah matahari yang terbenam. Aku merasa seperti aku bisa memulai lagi, seperti aku bisa menjadi diri sendiri lagi. “Selamat tinggal, masa
“Naya?? “ panggil Mas Dimas, membuat aku menoleh padanya. “Ya? “ Ia tertawa getir dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Entah ucapan apa yang tepat aku katakan padamu, mengucapkan selamat karena kita telah bercerai atau apa, aku ngak tahu, “ ucapnya sambil tertawa kecil. “Terima kasih atas semua yang telah kamu berikan Mas, baik itu kasih sayang walaupun hanya sekejap, uang, kemewahan, juga luka yang sempat kau torehkan. Aku lega akhirnya aku bisa bercerai denganmu, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku masih mencintai kamu, Mas, “ ucapku dengan perasaan yang campur aduk, seolah kata-kata ini keluar dari hati. Aku hanya tak ingin lagi bersitegang dengan Mas Dimas di saat terakhir begini. Tak ku pungkiri ada rasa sedih di hati ini, namun ini adalah jalan takdir yang harus aku pilih. “Boleh aku memelukmu untuk terakhir kalinya? “ Pinta Mas Dimas dengan suara serak. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Dimas memelukku erat dan mengusap punggungku lembut. “Maafkan aku
~Ruangan persidangan~ Aku duduk di ruang sidang, menunggu kedatangan ibu mertuaku. Sebentar lagi sidang akan segera dimulai. Sebelum itu Barra sudah memberikan keterangan sebagai saksi, jika hubungan kami hanya sekedar kenalan biasa. Itu pun karena Barra menemukan dompetku. Aku menunggu ibu mertuaku, yang juga akan menjadi saksi dalam sidang ini. Aku tahu bahwa ibu mertuaku akan menyatakan bahwa Mas Dimas adalah seorang gay dan Mas Dimas tetap pada pendirian nya. Waktu itu, ibu ragu untuk datang ke persidangan ini karena ia malah memihak padaku, bukan pada anaknya. Bagaimana perasaan Mas Dimas jika ia tahu ibu datang untukku, bukan untuknya. Beberapa saat kemudian ibu tiba bersama Dela dan Dira. Mas Dimas agak kaget saat melihat keluarga nya datang. Ia sampai berdiri dan langsung menemui ibu. Aku juga menghampiri ibu dan mengalaminya. “Alhamdulillah.. Ibu hadir, do’akan Bu, agar Naya dan aku tak jadi bercerai, “ ucap Mas Dimas sambil melirikku. Ibu tak memberikan tanggapan
“Bara?! “ gumamku. Si preman itu datang dengan gaya khas pakaiannya. Ia berdiri di sampingku sambil menatap sang Hakim. “Untuk menghadirkan saksi, penggugat harus melaporkan sebelum sudang di mulai minggu depan. Untuk hari ini sidang ditutup! “ pak Hakim mengetuk palu dan meninggalkan ruangan sidang. Sidang hari ini pun berakhir. Aku menatap tajam Mas Dimas yang ada di sampingku. Apa yang diinginkan Mas Dimas, padahal dia tak ingin bercerai? Tapi mengapa dia memfitnah ku?? “Mau apa sih Mas? Ingin merusak nama baikku, agar nama kita sama-sama jelek di mata orang iya? “ Mbak Rere memegang bahuku, begitu juga dengan Mama ikut menenangkan aku. Tapi kesabaranku terhadap Mas Dimas sudah tak bisa aku tahan lagi. “Sebelum palu diketuk oleh Hakim, kamu masih istri aku Naya! Bisa-bisanya kamu menemui preman itu!” “Mas, aku ketemu dia hanya sekedar makan saja, sama saat aku bertemu dengan Egi, kamu nggak pernah marah! Kenapa kamu malah memfitnah aku yang bukan-bukan?!“ “Fitnah katamu
Aku kini berada di ruangan sidang, mengambil nafas berkali-kali agar tak gugup. Saat berada di kursi ini rasanya aku tak bisa bernafas dengan benar. Jantungku berdetak lebih cepat tak berirama. Tapi aku masih berusaha untuk tenang. Mama masih setia menemaniku untuk menghadiri sidang. Dialah yang selalu setia menyemangati anak satu-satunya. Karena Mama aku bisa berdiri di sini, menghadapi proses sidang yang melelahkan ini. “Kamu bisa Naya.. Kamu bisa, setelah ini kamu akan hidup lebih baik lagi, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, hidup tenang bersama Mama dan Papa, “ ucap Mama. “Nanti suatu saat Allah akan beri ganti yang lebih baik, “ ucap Mama. Aku terhenyak saat tiba-tiba Mas Dimas melangkah masuk ke ruang sidang, ternyata dia hadir. Entah apa yang ia rencanakan, aku tak tahu. Apakah mungkin dia akan menceraikan aku tanpa mempersulit prosesnya? Mustahil. Mas Dimas duduk di samping ku dan menyapaku dengan senyuman nya. Aku hanya menganggukkan kepala saja. Pak Hakim mulai
Seketika Barra yang aku kirimkan sebuah pesan langsung menghubungi aku. “Halo Naya.. Kamu baru saja mengirimkan pesan padaku kan? “ tanyanya dengan semangat yang membara. “Ya.”“Oke-oke. Aku mau, nanti kita makan ya?”“Baik, tapi setelah itu hubungan kita selesai. “ “Oke. Sesuai kesepakatan! “ ungkap Barra di ujung sana. Aku menutup sambungan telepon dari Bara. Sebenarnya aku tak ingin bertemu lagi dengan Barra, tapi demi memenuhi janjiku, agar Bara tak menganggu ku lagi. “Kamu mau kemana Nay? “ tegur Mama. “Aku keluar sebentar ya Ma. Cari angin! “ “Besok kan kamu sidang, lebih baik persiapkan mental dan tenaga untuk menghadapi hari esok, “ ucap Mama. Ia keberatan jika aku pergi. “Hanya sebentar Ma, aku pengen makan di luar, sumpek sekali rasanya di rumah terus, “ ucapku membuat alasan. Tentu saja aku tak mengatakan pada Mama jika aku akan bertemu dengan Barra nanti Mama malah memarahiku. Mama pikir aku cewek ganjen yang belum cerai sudah cari yang lain. Padahal kenyataan nya