Prosesi pemakaman Ayah mertua berjalan dengan lancar, satu-satu warga mulai meninggalkan makam dan kembali ke rumah masing-masing. Ceramah singkat Ustad Zulkifli membuat semua yang mendengar nya bersedih karena Ystad Zulkifli cukup dekat dengan Abah. Ustad Zulkifli juga mengatakan jika Abah adalah orang yang baik. Aku adalah salah satu orang yang sangat kehilangan Abah. Jika mungkin orang tuaku tak tahu tentang hal ini, mungkin aku masih merahasiakan nya hingga sekarang. Aku masih berdiri di sini menunggu ibu yang masih duduk di depan kuburan Abi yang masih basah. Wangi bunga Kamboja tercium hingga Indera penciumanku. Cuaca mendung seolah ikut berduka seperti hati kami saat ini. Rintik hujan mulai turun perlahan. Angin bertiup lembut membuat udara menjadi lebih dingin. Aku merapikan jilbab ku yang tertipu angin yang dingin. Dela dan Dira juga duduk mendampingi ibu di pusara Abi. Sedangkan Mas Dimas duduk di satu sisinya. Dari setelah Abi meninggal, aku melihat Ibu tak pernah b
Sudah seminggu kepergian Abah, selama tujuh hari pula aku berada di sana. Ibu yang memintaku untuk tetap tinggal. Walaupun sebenarnya aku sudah tak ingin bertemu dengan Mas Dimas lagi. Bertemu dengannya membuat hatiku luka, teringat akan perlakuan yang ia berikan padaku, namun saat aku menatap matanya, tak ku pungkiri rasa itu masih bersemayam di dada. Setelah kepergian Abah, Ibu sering merenung sendiri sambil memandang foto Abah yang terpajang di dinding. Aku menghampiri ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Ibu memperbaiki duduknya dan mengusap air mata yang mengalir. Menyembunyikan kesedihannya. “Sunyi, sepi sekali.. Setelah tak ada Abah. Biasanya dia akan duduk di kursi ini sambil mengaji atau membaca kitab, “ ucap Ibu dengan suara serak. Aku hanya dia mendengar kan ibu. “Biasanya dia akan meminta Ibu untuk memijit kakinya yang sering kebas dan mati rasa. Abah terlalu cepat pergi, namun hati Ibu sudah ikhlas, Ibu sudah Ridho, “ ungkap Ibu dengan suara bergetar. Aku tak mampu
“Kamu....?? “ Aku kaget saat tidur tiba-tiba Barra yang menemukan Dompetku waktu itu, sudah ada di depanku. “Ya, saya Barra, Mbak masih ingat??” Tanya Barra. Aku mengangguk sambil mengusap air mataku. “Boleh aku duduk? “ tanyanya sambil tersenyum tipis padaku. Aku mengangguk. Pria yang berpenampilan urakan ini menghela nafas keras. “Cuacanya mendung ya?” ucapnya membuka suara. Ia menengadah ke langit dan kemudian menoleh ke arahku. “Kamu tahu saya paling tidak suka jika sudah mendung seperti ini, “ ujarnya tanpa ku tanya. Orang ini semakin menambah masalahku saja. “Saya nggak nanyak! “ ucapku ketus. Pria itu tertawa. “Saya hanya ingin memberitahu,” Ujarnya sambil tertawa kecil. “Saya nggak butuh! “ jawabku ketus. Ia hanya tertawa dan menghela nafas kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi taman. Entah kenapa tawa pria ini membuat aku kesal mendengarnya. “Terkadang kita harus melewati masalah-masalah yang besar terlebih dulu, agar kita dapat menemukan kedamaian dan keba
“Mbak Naya...? “ Terdengar suara berat di ujung sana. Suara berat yang aku kenal betul itu. Siapa lagi yang memanggilku Mbak Naya dengan suara bariton itu. Preman licik. “Ada apa? “ tanyaku ketus. “Em, hanya ingin tahu kabar Mbak Naya aja, apa kabar Mbak?? “ tanyanya di seberang sana dengan nada lembut namun berat. “Buruk.” “Oh ya? Kalau boleh tahu kenapa bisa diceritakan?! Mungkin...siapa tahun aku punya solusinya.“ Preman sialan ini semakin ingin tahu saja tentang kehidupan ku membaut aku kesal dan pikiranku bertambah ruet. Aku menarik nafas dan mulia “Oke dengar ya Pak Preman yang terhormat. Hubungan kita sudah selesai saat anda sudah mengembalikan dompet saya yang terjatuh saat itu. Saya sudah mengucapkan terima kasih. Jadi saya rasa anda tak perlu lagi mencampuri kehidupan ku. Hapus nomor ponselku dikarenakan anda mengambilnya tanpa izin.” “Emang salah ya? Saya hanya ingin berteman dengan kamu, “ Ungkapnya masih saja belum menyerah. “Saya tidak butuh punya teman prema
Langit mendung seperti hatiku saat ini, cuaca dingin menusuk kulit, mediasi dilakukan sore ini. Aku harus mengikuti prosedur yang telah dilakukan. Mediator akan berusaha mendamaikan kami agar tak berpisah. Itu mau Mas Dimas, itu pun bukan kemauannya yang sesungguhnya. Ada maksud tertentu di belakangnya. Aku sedang menunggu Mas Dimas di ruangan media, bolak balik ke ke pengadilan memang menyita waktu dan menguras energiku. Mediator dari pengadilan juga sudah hadir. Tapi Mas Dimas belum juga terlihat. “Jika Pak Dimas tidak hadir, mediasi akan kita tunda besok, “ ungkap Bu Wiwi. “Kita tunggu sebentar lagi ya Bu.. “ ungkapku cemas. “Baiklah.. “ Bu Wiwi menaikkan kaca matanya dan kembali menunggu. Beberapa saat kemudian Mas Dimas tiba dengan mengenakan kemeja hitam dan celana jeans. Ia terlihat rapi dan juga berpenampilan menarik, sayangnya kelakuan Mas Dimas tak sebanding dengan penampilan luarnya. Aku duduk di ruang mediasi, menatap Mas Dimas dengan perasaan campur aduk. Aku
Seketika Barra yang aku kirimkan sebuah pesan langsung menghubungi aku. “Halo Naya.. Kamu baru saja mengirimkan pesan padaku kan? “ tanyanya dengan semangat yang membara. “Ya.”“Oke-oke. Aku mau, nanti kita makan ya?”“Baik, tapi setelah itu hubungan kita selesai. “ “Oke. Sesuai kesepakatan! “ ungkap Barra di ujung sana. Aku menutup sambungan telepon dari Bara. Sebenarnya aku tak ingin bertemu lagi dengan Barra, tapi demi memenuhi janjiku, agar Bara tak menganggu ku lagi. “Kamu mau kemana Nay? “ tegur Mama. “Aku keluar sebentar ya Ma. Cari angin! “ “Besok kan kamu sidang, lebih baik persiapkan mental dan tenaga untuk menghadapi hari esok, “ ucap Mama. Ia keberatan jika aku pergi. “Hanya sebentar Ma, aku pengen makan di luar, sumpek sekali rasanya di rumah terus, “ ucapku membuat alasan. Tentu saja aku tak mengatakan pada Mama jika aku akan bertemu dengan Barra nanti Mama malah memarahiku. Mama pikir aku cewek ganjen yang belum cerai sudah cari yang lain. Padahal kenyataan nya
Aku kini berada di ruangan sidang, mengambil nafas berkali-kali agar tak gugup. Saat berada di kursi ini rasanya aku tak bisa bernafas dengan benar. Jantungku berdetak lebih cepat tak berirama. Tapi aku masih berusaha untuk tenang. Mama masih setia menemaniku untuk menghadiri sidang. Dialah yang selalu setia menyemangati anak satu-satunya. Karena Mama aku bisa berdiri di sini, menghadapi proses sidang yang melelahkan ini. “Kamu bisa Naya.. Kamu bisa, setelah ini kamu akan hidup lebih baik lagi, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, hidup tenang bersama Mama dan Papa, “ ucap Mama. “Nanti suatu saat Allah akan beri ganti yang lebih baik, “ ucap Mama. Aku terhenyak saat tiba-tiba Mas Dimas melangkah masuk ke ruang sidang, ternyata dia hadir. Entah apa yang ia rencanakan, aku tak tahu. Apakah mungkin dia akan menceraikan aku tanpa mempersulit prosesnya? Mustahil. Mas Dimas duduk di samping ku dan menyapaku dengan senyuman nya. Aku hanya menganggukkan kepala saja. Pak Hakim mulai
“Bara?! “ gumamku. Si preman itu datang dengan gaya khas pakaiannya. Ia berdiri di sampingku sambil menatap sang Hakim. “Untuk menghadirkan saksi, penggugat harus melaporkan sebelum sudang di mulai minggu depan. Untuk hari ini sidang ditutup! “ pak Hakim mengetuk palu dan meninggalkan ruangan sidang. Sidang hari ini pun berakhir. Aku menatap tajam Mas Dimas yang ada di sampingku. Apa yang diinginkan Mas Dimas, padahal dia tak ingin bercerai? Tapi mengapa dia memfitnah ku?? “Mau apa sih Mas? Ingin merusak nama baikku, agar nama kita sama-sama jelek di mata orang iya? “ Mbak Rere memegang bahuku, begitu juga dengan Mama ikut menenangkan aku. Tapi kesabaranku terhadap Mas Dimas sudah tak bisa aku tahan lagi. “Sebelum palu diketuk oleh Hakim, kamu masih istri aku Naya! Bisa-bisanya kamu menemui preman itu!” “Mas, aku ketemu dia hanya sekedar makan saja, sama saat aku bertemu dengan Egi, kamu nggak pernah marah! Kenapa kamu malah memfitnah aku yang bukan-bukan?!“ “Fitnah katamu
Aku menunggu jawaban dari Barra, namun saat aku akan mengalihkan panggilan vedio, tiba saja dia berseru, “Naya.. Nanti aku telpon lagi mendadak aku mulas nih! “Mendadak panggilan terputus, Barra agak mencurigakan kali ini, aku yakin sepertinya Barra dan Keivandra itu adalah orang yang sama. Aku hanya bisa menghela nafas. “Sepertinya aku harus mencari tahu tentang hal ini, “ ungkapku dalam hati. Hari berlalu, Pak Zayn kini terang-terangan menunjukkan perasaan nya padaku. Ia selalu menghubungiku dan memberikan perhatian lebih dari seorang karyawan dan atasan. Teror demi teror aku Terima, entah itu secara langsung atau melalui telepon. Pagi ini aku datang lebih cepat ke kantor, rencananya ingin menemui Pak Zayn. Aku ingin agar dia bersikap bisa saja baik itu di kantor atau di luar kantor. Namun saat kemarin aku meminta untuk menjauhiku Pak Zayn mengatakan hal yang membuat aku tak percaya.“Aku nggak bisa Nay.. Aku jatuh cinta saat melihat mu pada pandangan pertama, saat kamu masuk
“Oh ini rupanya anak baru yang diajak makan oleh Zayn?? “ Ucap seorang wanita cantik, dia Katerina. Ia sedang memoles bibirnya dengan lipstik. “Maaf.. “ ucapku sambil tersenyum. Kemudian ia menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arahku. “Nggak usah sok lugu lah, kamu kan orangnya? Kamu kan yang sudah mendekati Zayn?” ungkap wanita itu dengan mata melotot. Aku tersenyum dan berusaha untuk tenang, sepertinya kabar aku makan bersama Pak Zayn sudah tersebar. Pantes saja Gaby yang satu ruangan denganku, agak sedikit memperlihatkan raut wajah masam padaku.“Kalau yang diajak makan oleh Pak Zayn memang saya, tapi kalau saya mendekati Pak Zayn itu tidak benar, Mbak.. Katerina, “ ucapku tegas. Bisa-bisanya aku mendapatkan masalah seperti ini, sementara aku tak tertarik sedikit pun untuk mendekati Pak Zayn. “Dasar munafik, tak ada satu orang pun yang tak suka pada Pak Zayn. Bohong! Apa lagi kamu yang Cuma karyawan biasa di sini. Pakai pelet apa kamu tiba-tiba Pak Zayn apa kamu, ha??”Aku
Aku menunggu ponselnya berdering. Namun hingga beberapa saya lamanya menunggu, tak ada bunyi dering yang berasal dari ponsel nya. Aku kembali menghubungi nomor Barra tapi tetap saja tak diangkat namun Kay yang ada di depanku juga terlihat santai dan ponselnya juga tak berdering. “Kenapa melihat saya terus? “ tanyanya. Aku kaget dan hampir saja ponselku terjatuh ke lantai. “Eh, eh maaf... pak., “ ucapku agak kikuk dan segera memutar tubuhku agar tak menghadap ke arah Kay. “Kenapa? “ tanyanya lagi dingin sambil terus menatap layar ponsel nya. “Em, saya pikir Bapak mirip seseorang, teman saya, “ ungkapku. “Oh ya? Jadi karena itu kamu terus memperhatikan saya? “ tanyanya. “I-iya Pak! “jawabku lagi agak kikuk. “Em.. Boleh saya bertanya? “ tanyaku hati-hati. “Ya.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku lama. Sorot mata itu, persis seperti Barra. Sangat mirip. “Apa kah Pak Kay punya suadara kembar?” tahyaku penasaran. “Tidak.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Sepertinya Kay memang ta
Ah, untuk apa pusing memikirkan urusan petinggi-petinggi perusahaan ini, toh aku hanya karyawan biasa, karyawan baru pula. Aku juga belum terlalu paham tentang masalah internal perusahaan ini. Lagi pula siapa yang akan menggantikan Pak Wijaya tak menjadi masalah bagiku. Yang paling penting adalah bekerja dengan baik, hitung-hitung bisa jadi pegawai terbaik, siapa tahu akhir tahun dapat bonus. Pikirku sambil tersenyum. “Hai.. Senyum-senyum aja, nggak lapar?? “ Tiba-tiba Mbak Maya menepuk pundakku sehingga membuat aku kaget dan terlonjak. “Ya Allah Mbak Maya aku sampai kaget lho.. “ Mbak Maya dan Eli tertawa geli melihat aku kaget dan memekik. “Lagi mikirin Pak Zayn ya.. Jangan dek ya.. Jangan ..Mamanya seram, lagi pula si centil Katerina itu memang naksir berat sama Zayn. Kemudian di ruangan ini, tuh si Gaby juga naksir banget sama Pak Zayn, banyak saingan..“ ungkap Mbak Maya sambil menujuk ke arah Gaby yang memang cantik dan stylish. Aku tertawa lebar. “Enggaklah Mbak, ngapain mi
Aku menganggukkan kepalaku dan masuk ke dalam, menutup pintu ruangan dengan pelan dan kemudian berdiri di dekat sofa mereka duduk. Pak Zayn melihat ke arahku dan tersenyum. “Duduk aja, nggak apa-apa, “ ungkapnya. Aku duduk di sofa di antara mereka berdua dengan perasaan canggung yang amat sangat. Mereka kembali melanjutkan perbincangan. Aku hanya duduk diam dan menunggu Pak Zayn selesai bicara. “Seharusnya kamu segera mundur dan sadar diri. Kami tidak menerima yang bukan anggota keluarga, “ ungkap Pak Zayn. “Ya, aku tahu dan cukup sadar diri. Kamu nggak usah memberitahu aku, Zayn. “ Aku kaget saat mendengar suara itu, suara itu persis seperti suara Barra. Tak ada bedanya. “Bagus kalau kamu sadar. Biar aku dan Axel saja yang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kakek, aku harap kamu mendukungku, Kay. “ ungkap Pak Zayn. “Pasti! “ Nah.. Benar namanya bukan Barra tapi Kay. Jadi dugaanku ternyata memang salah. Mengetahui nama pria yang agak mirip Barra ini membuat aku sed
Ah.. Mungkinkah pria itu adalah... Tapi tak mungkin, ia sangat rapi dan tak ada kumis maupun jambang di bagian wajahnya. Ia juga tak memakai pakaian preman nya saat setiap kali bertemu denganku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat pada Barra. Sudah begitu lama aku tak mendengar kabar dari Barra. Apa lagi bertemu dengan nya secara langsung. Tak mungkin Barra tiba-tiba bisa berubah Sedrastis itu. Pak Wijaya berdiri dengan tegap di tengah-tengah para karyawan dan juga orang-orang kepercayaannya yang ada di sekitarnya. Ia masih tampak gagah walau pun umurnya sudah tak lagi muda. “Selamat pagi. Senang bisa bertemu dengan kalian semua. Terima kasih karena kalian semua telah mendedikasikan diri kalian di perusahaan Wijaya grup. Saya menghargai kerja keras kalian.” “Selamat datang untuk karyawan baru yang telah bergabung di tahun ini, berikan yang terbaik untuk perusahaan ini. “ Aku mendengar kan pidato dan arahan ketua Wijaya grup ini dengan saksama. Ia begitu berwibawa saat bicara di depan
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar aku membuatku merasa lebih hidup dan merasakan hangatnya sinar mentari. Aku meregangkan tubuhku dan mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang masuk ke dalam paru-paruku.Aku melihat sekeliling kamar dan merasa bersyukur atas semua yang aku miliki. Kamar yang sederhana namun nyaman, tempat tidur yang empuk, dan jendela yang menghadap ke taman yang hijau. Aku juga bersyukur bisa berkumpul lagu dengan kedua orang tuaku, walaupun aku harus berpisah dengan pasangan hidupku. Semua ini membuatku merasa lebih baik dan lebih bersemangat untuk menghadapi hari ini. Dari pada saat bersama Mas Dimas, hidup dengan orang yang tak pernah mau menghargai aku. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Aku membuka jendela dan merasakan angin pagi yang sejuk. Aku jadi ingat masa kecil dulu, aku belum berani tidur sendirian karena takut ada yang mengintip dari jendela, mam
Masih teringat tragedi aku terjatuh di depan lift di kantor Wijaya group. Itu adalah pengalaman yang sangat memalukan bagiku. Rasanya aku tidak ingin muncul lagi di sana. Namun takdir berkata lain, aku malah dipanggil untuk wawancara kerja. Sebuah email masuk dari perusahaan Wijaya Group jika lusa dipanggil untuk wawancara kerja. "Padahal aku nggak berharap lho Bu, rasanya perusahaan itu nggak cocok deh sama aku,“ ungkapku memberi alasan. “Semua orang berharap bisa bekerja di perusahaan itu, kamu malah nggak mau, aneh. “ Tiba-tiba Mama seperti mengingat sesuatu. “Kamu malu kan karena pernah terjatuh di depan lift itu ya... “Aku tertawa. “Iya Ma, rasanya memalukan sekali, Ma.”“Ah, palingan orang udah lupa sama wajah kamu, ini kesempatan kamu bisa bekerja di perusahaan besar Naya. Ini adalah kesempatan emas untukmu, “ ucap Mama memberikan semangat padaku. Hari ini aku sudah berpakaian rapi, make up tipis-tipis, dan setelan hitam putih, dan jilbab senada. Setelah perceraian denga
Lift berhenti di lantai tiga, aku segera keluar dari lift tersebut, sedangkan dua orang yang aku pikir mungkin adalah keluarga dari Wijaya group itu melanjutkan naik ke lantai selanjutnya. Mungkin ke ruangan pemimpin perusahaan ini. Aku segera menuju ruangan HRD, menemui Mbak Anya sesuai arahan dari resepsionis di lantai dasar tadi. “Saya mau melamar pekerjaan, katanya ada lowongan kerja di sini?? “ tanyaku begitu bertemu dengan Mbak Anya. "Benar Mbak, Mbak bawa persyaratannya?? “ tanya balik. “Iya, ada. “ Aku menyerahkan beberapa berkas lamaran padanya. Ia menerima nya dan sesekali memerhatikan dengan aku seksama. “Tahu dari siapa ada lowongan pekerjaan di sini? “ tanya wanita itu. “Dari Papa, beliau mendapatkan informasi dari temannya, “ jawabku. Ia hanya tersenyum tipis, apa dia ingin menanyakan aku dapat rekomendasi dari siapa lagi. Sepertinya perusahaan ini sudah tak baik-baik saja. Aku juga tak terlalu berharap untuk bekerja di sini. “Baik lamaran Anda kami terima.