Di Pulau Tropis Setibanya di pulau tujuan, Danu dan Nandia disambut oleh pemandangan yang memukau—air laut biru jernih, pasir putih, dan pohon kelapa yang berjejer rapi. “Aku tidak percaya kita benar-benar di sini,” kata Nandia sambil memandangi sekeliling. Danu tersenyum. “Aku ingin kamu menikmati setiap momen di sini, Nandia. Kamu pantas mendapatkan ini.” Villa yang mereka tempati langsung menghadap ke pantai. Danu sudah menyiapkan candle light dinner bersama Nandia di tepi pantai malam ini. “Ini sangat indah,” kata Nandia sambil menatap lilin yang menerangi meja mereka. “Tiada hal lain seindah kamu, Sayang,” jawab Danu dengan nada lembut. Nandia tersenyum malu-malu. “Kamu bisa saja. Tapi terima kasih, Danu. Aku benar-benar merasa bahagia sekarang.” Danu meraih tangan Nandia dan menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu, tujuan hidupku saat ini hanya satu, yaitu membahagiakanmu dan juga Niel. Tak akan aku ulangi kesalahanku di masa lalu." Air mata menggenang di mata Nandi
“Mas, kita ini jauh dari mana-mana. Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut, Mas!” ujarnya dengan nada panik. Nandia kembali melangkahkan kakinya. Di dekat pohon kelapa, dia melihat sebuah cahaya redup disana. Dengan langkah ragu, Nandia mendekati cahaya itu. --- Di bawah pohon kelapa, Danu berdiri dengan senyum lebar. Di hadapannya, ada meja kecil dengan lilin menyala. Kue ulang tahun dan sebuah kotak kecil berwarna biru ada disana. Nandia mengernyitkan dahinya, ulang tahunnya sudah lewat kemarin, kenapa Danu masih ingin merayakannya? “Mas!” Nandia berlari ke arahnya, lega sekaligus kesal. “Aku kira kamu pergi ke mana! Aku panik sekali tadi!” Danu tertawa kecil dan langsung memeluknya. “Maaf, aku hanya ingin membuat kejutan kecil untukmu.” “Ke... kejutan?” Nandia menatap Danu dengan bingung. Danu menyalakan lilin yang ada di kue itu. "Kamu inget nggak, ini adalah hari pertama kamu menjadi Nyonya Danu. Dan untuk merayakannya, aku ingin memberikanmu ini." Danu memberikan
Malam sebelumnya "Ya," Danu menjawab panggilan itu dengan mata terpejam. Tenaganya sudah habis terkuras setelah bercinta dengan Nandia tadi. "Tuan, tadi Mamanya Diana menelepon saya. DIa ingin bicara dengan Tuan, katanya penting. Saya tidak ingin memberikan nomor Anda. Akan tetapi, wanita itu menangis tersedu menceritakan keadaan Nona Diana. Saya pun tak tega. Namun sebelum menyambungkan panggilannya, saya ingin meminta izin dahulu pada, Tuan." "Sambungkan!" sahut Danu dingin. Mereka pun melakukan panggilan bersama. Tak lama, suara isak tangis terdengar. Mama Diana sedang menangis tersedu di balik telepon. Danu pun memulai obrolan. "Ada apa Tante?" “Danu Sayang, tolong Tante, Diana sayang. Dia ... hiks, hiks." Wanita itu kembali menangis. "Diana kenapa, Tante?" sahut Danu. "Dia ... dia dilecehkan oleh beberapa orang, Danu. Dan sekarang, dia berada di ICU. Pamanmu langsung shock dan terkena serangan jantung saat mendengar kabar itu, dan sekarang Paman juga sedang dirawa
Galih menghela napas, lalu duduk kembali di sofa pura-pura tidak tahu. “Maaf Nyonya, apa Tuan Danu tidak bilang apa-apa sama Nyonya?” Nandia menggeleng, hatinya mulai diliputi kekhawatiran. “Tidak. Dia tidak meninggalkan pesan atau apa pun. Apa yang sebenarnya terjadi, Galih?” Galih menatapnya serius. “Ada masalah besar di kantor cabang yang ada di luar negeri, Nyonya. Tuan Danu harus segera kesana untuk menyelesaikan masalah ini. Itu sebabnya saya datang ke sini.” Nandia merasa dadanya sesak. “Jadi dia pergi begitu saja tanpa memberitahuku? Dia bahkan tidak meninggalkan pesan?” Galih mengangkat bahunya. “Mungkin, Tuan tidak mau membangunkan Nyonya. Lagi pula, dia tahu kalau saya akan terus di sini untuk memastikan Nyonya baik-baik saja.” Nandia duduk di kursi di depan Galih, mencoba mencerna semuanya. “Masalah apa yang sampai membuat dia harus pergi dengan sangat terburu-buru, Galih?” “Masalah keamanan data perusahaan, Nyonya,” jawab Galih singkat. “Tapi tenang saja, Nyo
Danu melangkah keluar dari bandara di negara N dengan langkah berat. Rasa bersalah pada sang istri karena telah berbohong terus memenuhi pikirannya. Namun, dia tidak punya jalan lain. Mendengar kondisi yang diceritakan oleh Mama Diana kemarin membuat hatinya tidak tenang. Hingga dia harus meninggalkan Nandia begitu saja.Dia diantar oleh supir ke sebuah rumah sakit kecil yang ada di pinggiran kota. Di rumah sakit itu tempat di mana Diana, dirawat. Sebenarnya, Danu juga tak tega mengasingkan Diana seorang diri di negara A tanpa siapapun disini. Namun, dia harus mengambil keputusan ini untuk melindungi keluarganya.Akan tetapi, melihat keadaan Diana sekarang, hatinya mencelos.“Nona Diana ada di dalam, Tuan,” lapor seorang pria yang tampaknya adalah perawat d rumah sakit itu.Danu mengangguk tanpa menjawab, kemudian membuka pintu. Begitu dia melangkah masuk, pemandangan yang menyambutnya membuatnya tertegun.Diana duduk di brankar dengan rambut kusut dan tubuh penuh lebam. Wajahnya yan
Danu menatap nanar layar ponselnya, puluhan panggilan dari Nandia tertera saat handphone-nya dalam keadaan mati tadi.Dia harus menyiapkan mental dan juga alasan yang tepat supaya istrinya itu tidak marah padanya. Dengan tangan gemetar, Danu pun menekan tombol panggil. Dia tahu, pasti Nandia akan marah padanya, tetapi dia harus melakukannya agar sang istri mau memaafkannyaDi ujung sana, terdengar nada sambung, diikuti suara lembut namun dingin yang begitu dia rindukan."Halo?" Nandia menjawab tanpa basa-basi.“Sayang… maafkan aku.” Suara Danu penuh dengan keraguan. “Aku tahu aku salah. Maaf karena aku pergi tanpa memberitahumu lebih dulu.”Nandia menghela napas, menahan emosinya. "Pergi saja, Danu. Dan jangan pernah kembali. Aku tidak mau lagi mendengar alasanmu.""Tolong dengarkan aku sebentar." Danu memohon. “Aku tidak punya pilihan. Ada urusan kantor yang mendesak di sini, dan aku harus menyelesaikannya.”“Urusan mendesak apa?” nada suara Nandia semakin dingin. “Kamu tahu, kamu pu
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma
"Galih! Kaamuu!!!" Seandainya saat ini Galih ada di depannya, sudah dia geplak kepala lelaki itu. Berani-beraninya dia memakai uang perusahaan. Meskipun, itu adalah untuk menyenangkan hati istrinya, tindakan Galih tidak bisa dibenarkan. Namun sayangnya, mereka berada di negara yang berbeda. Danu tidak mungkin bisa memberinya hukuman. Akan tetapi, tak bisa Danu pungkiri, bahwa berita Nandia telah mau memaafkannya dan menerima hadiahnya sangat menyenangkan hatinya. Setidaknya, satu masalah sudah selesai, tinggal menyelesaikan masalah Diana. Telepon Danu berdering. Nama Nandia muncul di layar, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai meskipun masih kesal dengan Galih. "Halo, sayang," sapanya, suaranya terdengar hangat. "Terima kasih untuk mobilnya," jawab Nandia tanpa basa-basi, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu kamu berusaha keras membuatku memaafkanmu." Danu tersenyum tipis, m
“Reihan, kamu harus segera ke kantor,” suara ayahnya terdengar cemas di ujung telepon. “Ada apa, Ayah?” tanya Reihan serius. “Ada masalah besar. Saham perusahaan kita tiba-tiba anjlok, dan beberapa investor mulai menarik diri. Kita harus bertindak cepat.” Reihan mengepalkan tangan, merasakan ketegangan dalam nada suara ayahnya. “Baik, saya akan ke sana sekarang.” --- Saat Reihan tiba di ruang rapat, suasana di ruangan itu sangat tegang. Ayahnya, Tuan Hardi, sedang berbicara dengan beberapa direktur utama. Wajah semua orang terlihat serius, dan panik. “Reihan, syukurlah kamu datang,” ujar Hardi. “Kenapa saham kita tiba-tiba jatuh? Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah? Apa ada masalah serius dalam perusahaan?” Reihan langsung ke pokok masalah. Salah satu direktur menjawab, “Tidak ada masalah dalam intern perusahaan, Tuan. Harga saham kita tiba-tiba jatuh pagi ini mungkin karena adanya berita salah satu perusahaan yang mengklaim pada media bahwa kita meniru produk dia. Padahal, sem
"Nandia," suaranya dingin, namun tegas. "Kita pulang sekarang." Nandia membeku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Danu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ragu. "Aku tidak akan membiarkan pria lain mengambil tempatku. Kamu istriku, dan Niel adalah anakku," jawab Danu sambil melangkah mendekat. Tatapannya sekilas menyinggung Reihan, yang langsung berdiri di depan Nandia seolah melindunginya. "Danu, kamu tidak bisa begitu saja datang dan memaksaku pulang seperti ini," kata Nandia, mencoba menahan amarahnya. "Saya bisa, dan saya akan," Danu mendekat, nadanya menjadi lebih tegas. "Ayo, Nandia. Jangan membuat saya melakukan lebih dari ini." Reihan angkat bicara. "Danu, kalau kamu ingin bicara, bicaralah dengan tenang. Jangan buat Niel takut." Danu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Jangan ikut campur, Reihan. Kamu harus sadar siapa dirimu. Kamu sudah memiliki tunangan, tidak pantas berjalan dengan istri orang." Nandia menarik napas panjang, men
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya