Tanpa terasa, usia pernikahan Danu dan Nandia sudah menginjak dua bulan lebih, tetapi hingga saat ini, Danu masih sibuk di kantor karena baru saja mendapatkan proyek baru. Janji berbulan madu pada Nandia pun belum bisa dia tepati.Sementara Nandia, wanita ini sekarang lebih banyak di rumah. Urusan pekerjaan dia serahkan pada Mike, asistennya. Hanya sesekali saja dia ke kantor untuk menandatangani berkas penting.Malam ini, Nandia menghabiskan waktu bersama Niel. Mereka sedang bekerja sama membuat layang-layang, tugas sekolah Niel"Niel, kamu gunting kertasnya, Mama yang potong lidinya," kata Nandia. Mereka berbagi tugas biar cepat selesai.Danu yang baru saja tiba, tersenyum melihat istri dan anaknya tengah sibuk di ruang keluarga. “Bagaimana tugasnya, Niel?” tanya Danu sambil mencium kepala putranya. “Sudah hampir selesai, Pa,” jawab Niel tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Nandia menatap Danu dengan senyuman kecil. “Kamu pulang lebih awal hari ini?” Danu duduk di sebelah Nand
Di Pulau Tropis Setibanya di pulau tujuan, Danu dan Nandia disambut oleh pemandangan yang memukau—air laut biru jernih, pasir putih, dan pohon kelapa yang berjejer rapi. “Aku tidak percaya kita benar-benar di sini,” kata Nandia sambil memandangi sekeliling. Danu tersenyum. “Aku ingin kamu menikmati setiap momen di sini, Nandia. Kamu pantas mendapatkan ini.” Villa yang mereka tempati langsung menghadap ke pantai. Danu sudah menyiapkan candle light dinner bersama Nandia di tepi pantai malam ini. “Ini sangat indah,” kata Nandia sambil menatap lilin yang menerangi meja mereka. “Tiada hal lain seindah kamu, Sayang,” jawab Danu dengan nada lembut. Nandia tersenyum malu-malu. “Kamu bisa saja. Tapi terima kasih, Danu. Aku benar-benar merasa bahagia sekarang.” Danu meraih tangan Nandia dan menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu, tujuan hidupku saat ini hanya satu, yaitu membahagiakanmu dan juga Niel. Tak akan aku ulangi kesalahanku di masa lalu." Air mata menggenang di mata Nandi
“Mas, kita ini jauh dari mana-mana. Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut, Mas!” ujarnya dengan nada panik. Nandia kembali melangkahkan kakinya. Di dekat pohon kelapa, dia melihat sebuah cahaya redup disana. Dengan langkah ragu, Nandia mendekati cahaya itu. --- Di bawah pohon kelapa, Danu berdiri dengan senyum lebar. Di hadapannya, ada meja kecil dengan lilin menyala. Kue ulang tahun dan sebuah kotak kecil berwarna biru ada disana. Nandia mengernyitkan dahinya, ulang tahunnya sudah lewat kemarin, kenapa Danu masih ingin merayakannya? “Mas!” Nandia berlari ke arahnya, lega sekaligus kesal. “Aku kira kamu pergi ke mana! Aku panik sekali tadi!” Danu tertawa kecil dan langsung memeluknya. “Maaf, aku hanya ingin membuat kejutan kecil untukmu.” “Ke... kejutan?” Nandia menatap Danu dengan bingung. Danu menyalakan lilin yang ada di kue itu. "Kamu inget nggak, ini adalah hari pertama kamu menjadi Nyonya Danu. Dan untuk merayakannya, aku ingin memberikanmu ini." Danu memberikan
Malam sebelumnya "Ya," Danu menjawab panggilan itu dengan mata terpejam. Tenaganya sudah habis terkuras setelah bercinta dengan Nandia tadi. "Tuan, tadi Mamanya Diana menelepon saya. DIa ingin bicara dengan Tuan, katanya penting. Saya tidak ingin memberikan nomor Anda. Akan tetapi, wanita itu menangis tersedu menceritakan keadaan Nona Diana. Saya pun tak tega. Namun sebelum menyambungkan panggilannya, saya ingin meminta izin dahulu pada, Tuan." "Sambungkan!" sahut Danu dingin. Mereka pun melakukan panggilan bersama. Tak lama, suara isak tangis terdengar. Mama Diana sedang menangis tersedu di balik telepon. Danu pun memulai obrolan. "Ada apa Tante?" “Danu Sayang, tolong Tante, Diana sayang. Dia ... hiks, hiks." Wanita itu kembali menangis. "Diana kenapa, Tante?" sahut Danu. "Dia ... dia dilecehkan oleh beberapa orang, Danu. Dan sekarang, dia berada di ICU. Pamanmu langsung shock dan terkena serangan jantung saat mendengar kabar itu, dan sekarang Paman juga sedang dirawa
Galih menghela napas, lalu duduk kembali di sofa pura-pura tidak tahu. “Maaf Nyonya, apa Tuan Danu tidak bilang apa-apa sama Nyonya?” Nandia menggeleng, hatinya mulai diliputi kekhawatiran. “Tidak. Dia tidak meninggalkan pesan atau apa pun. Apa yang sebenarnya terjadi, Galih?” Galih menatapnya serius. “Ada masalah besar di kantor cabang yang ada di luar negeri, Nyonya. Tuan Danu harus segera kesana untuk menyelesaikan masalah ini. Itu sebabnya saya datang ke sini.” Nandia merasa dadanya sesak. “Jadi dia pergi begitu saja tanpa memberitahuku? Dia bahkan tidak meninggalkan pesan?” Galih mengangkat bahunya. “Mungkin, Tuan tidak mau membangunkan Nyonya. Lagi pula, dia tahu kalau saya akan terus di sini untuk memastikan Nyonya baik-baik saja.” Nandia duduk di kursi di depan Galih, mencoba mencerna semuanya. “Masalah apa yang sampai membuat dia harus pergi dengan sangat terburu-buru, Galih?” “Masalah keamanan data perusahaan, Nyonya,” jawab Galih singkat. “Tapi tenang saja, Nyo
Danu melangkah keluar dari bandara di negara N dengan langkah berat. Rasa bersalah pada sang istri karena telah berbohong terus memenuhi pikirannya. Namun, dia tidak punya jalan lain. Mendengar kondisi yang diceritakan oleh Mama Diana kemarin membuat hatinya tidak tenang. Hingga dia harus meninggalkan Nandia begitu saja.Dia diantar oleh supir ke sebuah rumah sakit kecil yang ada di pinggiran kota. Di rumah sakit itu tempat di mana Diana, dirawat. Sebenarnya, Danu juga tak tega mengasingkan Diana seorang diri di negara A tanpa siapapun disini. Namun, dia harus mengambil keputusan ini untuk melindungi keluarganya.Akan tetapi, melihat keadaan Diana sekarang, hatinya mencelos.“Nona Diana ada di dalam, Tuan,” lapor seorang pria yang tampaknya adalah perawat d rumah sakit itu.Danu mengangguk tanpa menjawab, kemudian membuka pintu. Begitu dia melangkah masuk, pemandangan yang menyambutnya membuatnya tertegun.Diana duduk di brankar dengan rambut kusut dan tubuh penuh lebam. Wajahnya yan
Danu menatap nanar layar ponselnya, puluhan panggilan dari Nandia tertera saat handphone-nya dalam keadaan mati tadi.Dia harus menyiapkan mental dan juga alasan yang tepat supaya istrinya itu tidak marah padanya. Dengan tangan gemetar, Danu pun menekan tombol panggil. Dia tahu, pasti Nandia akan marah padanya, tetapi dia harus melakukannya agar sang istri mau memaafkannyaDi ujung sana, terdengar nada sambung, diikuti suara lembut namun dingin yang begitu dia rindukan."Halo?" Nandia menjawab tanpa basa-basi.“Sayang… maafkan aku.” Suara Danu penuh dengan keraguan. “Aku tahu aku salah. Maaf karena aku pergi tanpa memberitahumu lebih dulu.”Nandia menghela napas, menahan emosinya. "Pergi saja, Danu. Dan jangan pernah kembali. Aku tidak mau lagi mendengar alasanmu.""Tolong dengarkan aku sebentar." Danu memohon. “Aku tidak punya pilihan. Ada urusan kantor yang mendesak di sini, dan aku harus menyelesaikannya.”“Urusan mendesak apa?” nada suara Nandia semakin dingin. “Kamu tahu, kamu pu
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah
Diana berjalan mondar-mandir di ruangannya, bibirnya terkatup rapat. Setelah mendapat pesan dari Danu tadi, dia tahu kalau dia harus mengambil sekap sebelum Danu menghukumnya. Karena dia yakin, danu tidak akan melepaskannya kali ini. “Kalau begini terus, aku tidak punya pilihan lagi,” gumam Diana. Ia menatap ke layar ponselnya, membuka daftar kontak dan memilih satu nama. Diana menghubungi Andra, mantan sopir Danu yang dipecat beberapa bulan lalu karena terlibat kasus penggelapan. Dia tahu, Andra masih menyimpan dendam pada Danu. “Andra, aku punya pekerjaan untukmu,” ucap Diana tanpa basa-basi. Andra menghela napas di ujung telepon. “Apa pekerjaan itu, Bu Diana? Kalau itu menyangkut keluarga Danu, aku harus berpikir dua kali.” “Dengar,” potong Diana. “Aku hanya butuh kau menjemput anak mereka. Tidak lebih. Kau pernah bertemu dengan anak itu bukan? Kalau anak itu tidak mau iku denganmu, kamu gendong saja dia dan masukkan ke dalam mobil.” Andra terdiam beberapa saat, tetapi
Diana sedang duduk di ruang tamunya, memandang layar laptop dengan senyum puas. Berbagai hujatan dilayangkan netizen pada Danu. Sementara dia, justru dibela dan dikasihani karena dianggap sebagai korban. "Bagus, semua berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi, kamu akan tamat, Danu." Namun, senyum di wajahnya lenyap ketika berita baru muncul di layar. Sebuah artikel dari media ternama mengungkap fakta bahwa Diana telah bekerja sama dengan seorang wartawan bayaran untuk menyebarkan berita bohong tentang Danu. Bukti transfer uang dan percakapan antara Diana dan wartawan tersebut diunggah oleh pihak Danu, membuat publik kini menyerang Diana balik. Diana menutup laptopnya dengan kasar dan berdiri, mondar-mandir dengan gelisah. Dia meraih ponselnya dan menghubungi wartawan yang selama ini menjadi rekannya. “Kenapa kau bisa membiarkan semua ini bocor?” sergah Diana tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Aku tidak tahu, Bu Diana! Mereka punya akses ke rekaman percakapan kita da
Nandia menatap layar ponselnya, melihat dokumen gugatan cerai yang baru saja ia kirimkan ke pengadilan. Kali ini, ia tidak akan mundur. "Kamu pikir, kamu bisa mengikatku selamanya, Danu? Akan aku tunjukkan aku pun bisa melakukan apa yang aku mau. Kamu tidak akan bisa mengontrolku lagi," gumam Nandia. ---Di sisi lain, di kantor Danu, Galih masuk tergesa-gesa membawa kabar yang tak kalah mengejutkan."Tuan Danu," panggil Galih dengan nada cemas.Danu yang sedang berdiri di depan jendela besar hanya meliriknya sekilas. "Apa lagi sekarang?"Galih tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berbicara, "Nyonya Nandia... dia baru saja mengajukan gugatan cerai, Tuan."Danu tidak segera merespons. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap tenang. "Gugatan cerai?" ulangnya, seolah kata-kata itu tidak memiliki bobot sama sekali."Ya, Pak. Saya baru mendapat informasi dari salah satu teman saya yang bekerja di pengadilan. Gugatan itu sudah resmi masuk," jelas Galih, mencoba membaca reaksi
“Masalah ini harus selesai dengan cepat,” gumam Danu, matanya masih terpaku pada dokumen yang baru saja dikirim oleh tim hukumnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Galih, asistennya, melangkah masuk dengan ekspresi gelisah. "Tuan, kami sudah menemukan siapa yang membocorkan foto dan pesan-pesan itu. Diana bekerja sama dengan seorang wartawan." Danu meletakkan dokumen di mejanya dengan gerakan perlahan, nyaris dingin. "Diana, wanita itu, tidak ada habisnya mengganggu hidupku," ujarnya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Dia benar-benar ingin bermain api." "Tapi, Pak, bukti yang dia tunjukkan cukup kuat untuk membuat publik percaya—" "Galih," potong Danu dengan tajam. "Aku tidak butuh pendapat tentang seberapa kuat bukti itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang sudah kau siapkan untuk membungkamnya?" Galih menelan ludah, jelas merasa tertekan. "Tim hukum sedang menyusun tanggapan resmi, Pak. Tapi jika ini terus berlanjut, mungkin akan berdampak pada reputasi Anda—" "Reputasi
"Tuan, Anda harus segera melihat berita ini." Galih masuk tanpa mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Ada apa Galih?" Tanya Danu bingung. Galih tidak menjawab, dia hanya memberikan handphone-nya pada sang majikan. Danu mengerutkan keningnya dan mengambil ponsel itu. Di layar terlihat berita yang sedang viral di hampir semua media sosial. Sebuah unggahan dari akun anonim menuduh bahwa Diana, seorang wanita muda, sedang hamil anak seorang CEO terkenal yang menolak bertanggung jawab. Meski nama Danu tidak disebutkan secara langsung, deskripsi dalam berita itu jelas mengarah padanya. Apalagi, dibawah berita itu ada foto-foto Danu saat mereka baru saja tiba di bandara beberapa bulan yang lalu. “Ini hanya lelucon, kan?” gumam Danu, wajahnya berubah dingin. Galih menggeleng. “Berita ini sudah menyebar luas, Pak. Bahkan beberapa rekan bisnis sudah menanyakannya. Mereka ingin tahu apakah ini benar.” Danu menaruh ponsel itu di meja dengan sedikit kekuatan, membuat suara berdenting yang
"Haah, lelahnya!" Keluh Danu saat mengendurkan dasinya. Beberapa hari ini, Danu terpaksa menginap di rumah sakit karena menemani Diana. Tadi pagi, wanita itu sudah pulang ke rumah. Jadi dia bisa tidur tenang malam ini. Dia sudah berjanji, tidak akan lagi mau peduli dengan urusan Diana. Gara-gara Diana, hubungannya dengan Nandia jadi berantakan sekarang. Saat Danu akan memejamkan mata, ponselnya berdering, nama Tante Lestari muncul di layar. Ia memandang layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada datar. “Ya, Tante?” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gelisah. “Tante perlu bicara denganmu. Ini soal Diana. Kamu bisa datang sekarang?” “Apa yang sebenarnya ingin Tante bicarakan?” tanyanya, nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Ini tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Tolong, Danu. Ini penting.” Danu diam sejenak, mempertimbangkan. Namun, tidak ingin membiarkan situasi ini berlarut-larut, ia akhirnya menjawab, “Baik Tante, saya akan ke sana. Ini terakhi
Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan Danu tentang Nandia dan Mike. Karena malas mengangkat, Danu pun mengabaikannya. Lelaki itu kembali menatap pemandangan kota Jakarta di sore hari. Namun, sepertinya, penelepon itu tak patah semangat, ponsel Danu kembali berdering. Danu pun melirik nama yang muncul di layar. Tante Lestari, Mama Nandia tertera disana. Danu mengerutkan dahinya. "Ada apa Mama Diana meneleponku?" Danu menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo, Tante.” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gemetar. “Diana... dia—dia mencoba bunuh diri.” Danu terdiam. Ia merasa kesal, tetapi juga tak bisa mengabaikan kekhawatiran dalam suara perempuan yang sudah seperti ibu angkatnya itu. “Danu, aku mohon. Dia butuh kamu. Dia tidak akan mau bicara dengan siapa pun kecuali kamu. Bisakah kamu menjenguknya?” pinta Tante Lestari dengan nada memelas. “Tante maaf, saya sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal,” jawab Danu, mencoba menghindar. “Tolong, Danu.
"Papa darimana?" tanya Niel saat bocah itu terbangun dan mencari sang ayah. Niel memang telah kembali sabtu sore, tapi minggu paginya, dia meminta Nandia kembali mengantarkannya ke rumah Danu dengan alasan ingin kembali berkuda. Niel bahkan membawa beberapa baju dan peralatan sekolahnya karena dia ingin menginap di rumah Danu sampai hari senin. Dia ingin seperti temannya yang diantarkan oleh ayahnya ke sekolah. --- Danu bernapas lega karena dia telah kembali tepat saat Niel baru terjaga, jadi bocah itu tidak tahu kalau dia meninggalkan dia sebentar tadi. Danu mengusap kepala Niel. "Papa baru selesai mengerjakan laporan, kenapa kamu terbangun?" tanya Danu menutupi kebohongannya.Bocah kecil itu memperlihatkan giginya yang putih. "Niel pengen buang air tadi, terus mencari Papa," jawabnya."Ya sudah, ayo kita tidur kembali," ajaknya. Amarahnya masih belum juga reda sejak dia meninggalkan rumah Nandia tadi. Ia kesal karena melihat kedekatan Nandia dengan pria lain. Ego dalam diri