Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingi
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Nandia," suaranya dingin, namun tegas. "Kita pulang sekarang." Nandia membeku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Danu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ragu. "Aku tidak akan membiarkan pria lain mengambil tempatku. Kamu istriku, dan Niel adalah anakku," jawab Danu sambil melangkah mendekat. Tatapannya sekilas menyinggung Reihan, yang langsung berdiri di depan Nandia seolah melindunginya. "Danu, kamu tidak bisa begitu saja datang dan memaksaku pulang seperti ini," kata Nandia, mencoba menahan amarahnya. "Saya bisa, dan saya akan," Danu mendekat, nadanya menjadi lebih tegas. "Ayo, Nandia. Jangan membuat saya melakukan lebih dari ini." Reihan angkat bicara. "Danu, kalau kamu ingin bicara, bicaralah dengan tenang. Jangan buat Niel takut." Danu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Jangan ikut campur, Reihan. Kamu harus sadar siapa dirimu. Kamu sudah memiliki tunangan, tidak pantas berjalan dengan istri orang." Nandia menarik napas panjang, men
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah