Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Nandia," suaranya dingin, namun tegas. "Kita pulang sekarang." Nandia membeku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Danu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ragu. "Aku tidak akan membiarkan pria lain mengambil tempatku. Kamu istriku, dan Niel adalah anakku," jawab Danu sambil melangkah mendekat. Tatapannya sekilas menyinggung Reihan, yang langsung berdiri di depan Nandia seolah melindunginya. "Danu, kamu tidak bisa begitu saja datang dan memaksaku pulang seperti ini," kata Nandia, mencoba menahan amarahnya. "Saya bisa, dan saya akan," Danu mendekat, nadanya menjadi lebih tegas. "Ayo, Nandia. Jangan membuat saya melakukan lebih dari ini." Reihan angkat bicara. "Danu, kalau kamu ingin bicara, bicaralah dengan tenang. Jangan buat Niel takut." Danu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Jangan ikut campur, Reihan. Kamu harus sadar siapa dirimu. Kamu sudah memiliki tunangan, tidak pantas berjalan dengan istri orang." Nandia menarik napas panjang, men
“Reihan, kamu harus segera ke kantor,” suara ayahnya terdengar cemas di ujung telepon. “Ada apa, Ayah?” tanya Reihan serius. “Ada masalah besar. Saham perusahaan kita tiba-tiba anjlok, dan beberapa investor mulai menarik diri. Kita harus bertindak cepat.” Reihan mengepalkan tangan, merasakan ketegangan dalam nada suara ayahnya. “Baik, saya akan ke sana sekarang.” --- Saat Reihan tiba di ruang rapat, suasana di ruangan itu sangat tegang. Ayahnya, Tuan Hardi, sedang berbicara dengan beberapa direktur utama. Wajah semua orang terlihat serius, dan panik. “Reihan, syukurlah kamu datang,” ujar Hardi. “Kenapa saham kita tiba-tiba jatuh? Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah? Apa ada masalah serius dalam perusahaan?” Reihan langsung ke pokok masalah. Salah satu direktur menjawab, “Tidak ada masalah dalam intern perusahaan, Tuan. Harga saham kita tiba-tiba jatuh pagi ini mungkin karena adanya berita salah satu perusahaan yang mengklaim pada media bahwa kita meniru produk dia. Padahal, sem
"Jadi dia? Kenapa dia melakukan semua ini, Reihan? Apa salah kita padanya?" Tanya Hardi pada sang putra.Reihan menundukkan kepalanya. Merasa bersalah karena ulahnya, perusahaan keluarganya terkena imbasnya."Maafkan Reihan, Ayah. Semua salah Reihan. Sebelumnya, dia memang sudah mengancam Reihan, tapi Reihan tidak mengindahkannya, Reihan tidak tahu, kalau dia sampai setega ini pada kita."Reihan duduk termenung sambil memegang kepalanya. Tak menyangka, Danu ternyata membuktikan ancamannya. Di depannya, sang ayah memandang dengan tatapan serius, memikirkan solusi untuk mengatasi masalah ini. “Reihan,” Tuan Hardi akhirnya memulai, suaranya berat. “Kita sudah melewati badai yang cukup besar. Perusahaan ini nyaris jatuh, dan aku tidak ingin ada risiko lain yang membuat kita kembali ke titik itu.” Reihan menegakkan tubuh, mencoba membaca maksud ayahnya. “Apa yang Ayah maksud?” Tuan Hardi menghela napas panjang, kemudian menatap Reihan dengan penuh ketegasan. “Aku ingin kamu menjauhi Nan
Beberapa Jam Sebelumnya"Perusahaan Rai Corp terancam gulung tikar. Saham perusahaan tersebut tiba-tiba menurun drastis yang membuat para investornya mulai menarik diri." Itulah sepenggal berita yang mewarnai hampir semua layar televisi. Nandia mengernyitkan dahinya. "Rai Corp, bukankah itu perusahaan keluarga Reihan. Nandia menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh kegelisahan. Tanpa harus mengkonfirmasi, Nandia tentu tahu siapa dalang dibalik peristiwa ini. "Danu, pasti dia yang melakukannya." Ia tidak bisa hanya berdiam diri. Danu harus segera dihentikan sebelum dia bertindak terlalu jauh. Nandia pun mengambil kunci mobilnya lalu pergi menuju ke kantor Danu. Tangannya mengepal erat pada kemudi untuk menyalurkan amarah yang siap meledak sedari tadi. Danu benar-benar sudah gila? Tega menjatuhkan perusahaan pamannya sendiri. --- Sesampainya di kantor Danu, Nandia langsung menuju ke lantai 15. Saat tiba di lantai 15, Nandia mengernyitkan dahinya saat melihat meja sekretaris a
"Apa yang harus aku lakukan supaya Niel mau menginap di rumahku? Meskipun aku membelikan kuda untuknya, dia tidak akan betah di rumahku jika dia tidak memiliki mainan baru disana." Pikiran Danu teringat pada halaman belakang rumahnya yang sebelumnya hanya ada taman bunga. Senyum pun terbit di bibir Danu saat sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. “Galih,” panggil Danu melalui interkom. Tak butuh waktu lama, Galih, asistennya yang setia, muncul di ambang pintu. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Danu menatap Galih dengan senyum penuh arti. “Aku ingin kamu membeli kuda. Pilih yang terbaik—kuda besar untukku, dan satu lagi yang kecil, yang cocok untuk anak-anak.” Galih tampak bingung sejenak. “Kuda, Pak? Untuk apa?” Danu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Aku akan merombak halaman belakang menjadi arena pacuan kuda. Pastikan semua selesai dalam seminggu.” Galih menelan ludah, sepertinya majikannya ini sudah gila, apa mungkin hanya dalam waktu satu minggu bisa mel
"Hah! Tidak ada Niel, rumah jadi sepi. Kakek kalau sudah malam begini, pasti sudah tidur," gumam Nandia yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya.Tangannya sibuk menggonta-ganti saluran televisi mencari film yang enak dilihat. Namun, meski pandangannya tertuju pada layar televisi, pikirannya melayang pada Niel yang sedang menghabiskan waktu bersama danu. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku, namun gagal. Setiap halaman yang dibacanya terasa hampa, pikirannya terus kembali pada Niel. Mungkin aku terlalu bergantung pada anakku, pikirnya sambil menghela napas panjang. Saat ia memutuskan untuk beristirahat lebih awal malam itu, suara bel pintu membuatnya terkejut. Siapa yang datang malam-malam begini? Dengan rasa penasaran, ia membuka pintu dan menemukan Mike berdiri di sana. Mike, dengan penampilannya yang santai namun tetap tampan, mengenakan kemeja denim biru tua yang digulung hingga siku dan celana chinos. Senyum kecil terlukis di wajahnya. “Nand
Malam telah larut, tapi Danu masih terjaga di ruang kerjanya. Kepalanya bersandar di kursi besar, matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya berputar-putar, mengulang lagi dan lagi hal yang sama. Reihan dan sekarang Mike. Dua pria berbeda, tapi tujuannya satu: Nandia."Kenapa banyak sekali lelaki yang mendekatinya?" Danu mengepalkan tangannya. Berusaha meredam emosi setelah melihat foto yang dikirimkan oleh anak buahnya tadi. Sebagai seorang CEO, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah. Tapi kali ini berbeda. Hatinya bergemuruh saat memikirkan kemungkinan terburuk: Nandia memilih meninggalkannya dan bersama pria lain. Bukan hanya egonya yang akan hancur, tapi juga perasaannya. Danu menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyerah. Dia lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke rumah Nandia, meski dia tahu, waktu sudah hampir tengah malam. --- Suara bel pintu membuyarkan lamunan Nandia. Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Siapa yang bertamu te
Nandia menatap layar ponselnya, melihat dokumen gugatan cerai yang baru saja ia kirimkan ke pengadilan. Kali ini, ia tidak akan mundur. "Kamu pikir, kamu bisa mengikatku selamanya, Danu? Akan aku tunjukkan aku pun bisa melakukan apa yang aku mau. Kamu tidak akan bisa mengontrolku lagi," gumam Nandia. ---Di sisi lain, di kantor Danu, Galih masuk tergesa-gesa membawa kabar yang tak kalah mengejutkan."Tuan Danu," panggil Galih dengan nada cemas.Danu yang sedang berdiri di depan jendela besar hanya meliriknya sekilas. "Apa lagi sekarang?"Galih tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berbicara, "Nyonya Nandia... dia baru saja mengajukan gugatan cerai, Tuan."Danu tidak segera merespons. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap tenang. "Gugatan cerai?" ulangnya, seolah kata-kata itu tidak memiliki bobot sama sekali."Ya, Pak. Saya baru mendapat informasi dari salah satu teman saya yang bekerja di pengadilan. Gugatan itu sudah resmi masuk," jelas Galih, mencoba membaca reaksi
“Masalah ini harus selesai dengan cepat,” gumam Danu, matanya masih terpaku pada dokumen yang baru saja dikirim oleh tim hukumnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Galih, asistennya, melangkah masuk dengan ekspresi gelisah. "Tuan, kami sudah menemukan siapa yang membocorkan foto dan pesan-pesan itu. Diana bekerja sama dengan seorang wartawan." Danu meletakkan dokumen di mejanya dengan gerakan perlahan, nyaris dingin. "Diana, wanita itu, tidak ada habisnya mengganggu hidupku," ujarnya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Dia benar-benar ingin bermain api." "Tapi, Pak, bukti yang dia tunjukkan cukup kuat untuk membuat publik percaya—" "Galih," potong Danu dengan tajam. "Aku tidak butuh pendapat tentang seberapa kuat bukti itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang sudah kau siapkan untuk membungkamnya?" Galih menelan ludah, jelas merasa tertekan. "Tim hukum sedang menyusun tanggapan resmi, Pak. Tapi jika ini terus berlanjut, mungkin akan berdampak pada reputasi Anda—" "Reputasi
"Tuan, Anda harus segera melihat berita ini." Galih masuk tanpa mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Ada apa Galih?" Tanya Danu bingung. Galih tidak menjawab, dia hanya memberikan handphone-nya pada sang majikan. Danu mengerutkan keningnya dan mengambil ponsel itu. Di layar terlihat berita yang sedang viral di hampir semua media sosial. Sebuah unggahan dari akun anonim menuduh bahwa Diana, seorang wanita muda, sedang hamil anak seorang CEO terkenal yang menolak bertanggung jawab. Meski nama Danu tidak disebutkan secara langsung, deskripsi dalam berita itu jelas mengarah padanya. Apalagi, dibawah berita itu ada foto-foto Danu saat mereka baru saja tiba di bandara beberapa bulan yang lalu. “Ini hanya lelucon, kan?” gumam Danu, wajahnya berubah dingin. Galih menggeleng. “Berita ini sudah menyebar luas, Pak. Bahkan beberapa rekan bisnis sudah menanyakannya. Mereka ingin tahu apakah ini benar.” Danu menaruh ponsel itu di meja dengan sedikit kekuatan, membuat suara berdenting yang
"Haah, lelahnya!" Keluh Danu saat mengendurkan dasinya. Beberapa hari ini, Danu terpaksa menginap di rumah sakit karena menemani Diana. Tadi pagi, wanita itu sudah pulang ke rumah. Jadi dia bisa tidur tenang malam ini. Dia sudah berjanji, tidak akan lagi mau peduli dengan urusan Diana. Gara-gara Diana, hubungannya dengan Nandia jadi berantakan sekarang. Saat Danu akan memejamkan mata, ponselnya berdering, nama Tante Lestari muncul di layar. Ia memandang layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada datar. “Ya, Tante?” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gelisah. “Tante perlu bicara denganmu. Ini soal Diana. Kamu bisa datang sekarang?” “Apa yang sebenarnya ingin Tante bicarakan?” tanyanya, nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Ini tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Tolong, Danu. Ini penting.” Danu diam sejenak, mempertimbangkan. Namun, tidak ingin membiarkan situasi ini berlarut-larut, ia akhirnya menjawab, “Baik Tante, saya akan ke sana. Ini terakhi
Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan Danu tentang Nandia dan Mike. Karena malas mengangkat, Danu pun mengabaikannya. Lelaki itu kembali menatap pemandangan kota Jakarta di sore hari. Namun, sepertinya, penelepon itu tak patah semangat, ponsel Danu kembali berdering. Danu pun melirik nama yang muncul di layar. Tante Lestari, Mama Nandia tertera disana. Danu mengerutkan dahinya. "Ada apa Mama Diana meneleponku?" Danu menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo, Tante.” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gemetar. “Diana... dia—dia mencoba bunuh diri.” Danu terdiam. Ia merasa kesal, tetapi juga tak bisa mengabaikan kekhawatiran dalam suara perempuan yang sudah seperti ibu angkatnya itu. “Danu, aku mohon. Dia butuh kamu. Dia tidak akan mau bicara dengan siapa pun kecuali kamu. Bisakah kamu menjenguknya?” pinta Tante Lestari dengan nada memelas. “Tante maaf, saya sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal,” jawab Danu, mencoba menghindar. “Tolong, Danu.
"Papa darimana?" tanya Niel saat bocah itu terbangun dan mencari sang ayah. Niel memang telah kembali sabtu sore, tapi minggu paginya, dia meminta Nandia kembali mengantarkannya ke rumah Danu dengan alasan ingin kembali berkuda. Niel bahkan membawa beberapa baju dan peralatan sekolahnya karena dia ingin menginap di rumah Danu sampai hari senin. Dia ingin seperti temannya yang diantarkan oleh ayahnya ke sekolah. --- Danu bernapas lega karena dia telah kembali tepat saat Niel baru terjaga, jadi bocah itu tidak tahu kalau dia meninggalkan dia sebentar tadi. Danu mengusap kepala Niel. "Papa baru selesai mengerjakan laporan, kenapa kamu terbangun?" tanya Danu menutupi kebohongannya.Bocah kecil itu memperlihatkan giginya yang putih. "Niel pengen buang air tadi, terus mencari Papa," jawabnya."Ya sudah, ayo kita tidur kembali," ajaknya. Amarahnya masih belum juga reda sejak dia meninggalkan rumah Nandia tadi. Ia kesal karena melihat kedekatan Nandia dengan pria lain. Ego dalam diri
Malam telah larut, tapi Danu masih terjaga di ruang kerjanya. Kepalanya bersandar di kursi besar, matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya berputar-putar, mengulang lagi dan lagi hal yang sama. Reihan dan sekarang Mike. Dua pria berbeda, tapi tujuannya satu: Nandia."Kenapa banyak sekali lelaki yang mendekatinya?" Danu mengepalkan tangannya. Berusaha meredam emosi setelah melihat foto yang dikirimkan oleh anak buahnya tadi. Sebagai seorang CEO, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah. Tapi kali ini berbeda. Hatinya bergemuruh saat memikirkan kemungkinan terburuk: Nandia memilih meninggalkannya dan bersama pria lain. Bukan hanya egonya yang akan hancur, tapi juga perasaannya. Danu menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyerah. Dia lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke rumah Nandia, meski dia tahu, waktu sudah hampir tengah malam. --- Suara bel pintu membuyarkan lamunan Nandia. Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Siapa yang bertamu te
"Hah! Tidak ada Niel, rumah jadi sepi. Kakek kalau sudah malam begini, pasti sudah tidur," gumam Nandia yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya.Tangannya sibuk menggonta-ganti saluran televisi mencari film yang enak dilihat. Namun, meski pandangannya tertuju pada layar televisi, pikirannya melayang pada Niel yang sedang menghabiskan waktu bersama danu. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku, namun gagal. Setiap halaman yang dibacanya terasa hampa, pikirannya terus kembali pada Niel. Mungkin aku terlalu bergantung pada anakku, pikirnya sambil menghela napas panjang. Saat ia memutuskan untuk beristirahat lebih awal malam itu, suara bel pintu membuatnya terkejut. Siapa yang datang malam-malam begini? Dengan rasa penasaran, ia membuka pintu dan menemukan Mike berdiri di sana. Mike, dengan penampilannya yang santai namun tetap tampan, mengenakan kemeja denim biru tua yang digulung hingga siku dan celana chinos. Senyum kecil terlukis di wajahnya. “Nand
"Apa yang harus aku lakukan supaya Niel mau menginap di rumahku? Meskipun aku membelikan kuda untuknya, dia tidak akan betah di rumahku jika dia tidak memiliki mainan baru disana." Pikiran Danu teringat pada halaman belakang rumahnya yang sebelumnya hanya ada taman bunga. Senyum pun terbit di bibir Danu saat sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. “Galih,” panggil Danu melalui interkom. Tak butuh waktu lama, Galih, asistennya yang setia, muncul di ambang pintu. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Danu menatap Galih dengan senyum penuh arti. “Aku ingin kamu membeli kuda. Pilih yang terbaik—kuda besar untukku, dan satu lagi yang kecil, yang cocok untuk anak-anak.” Galih tampak bingung sejenak. “Kuda, Pak? Untuk apa?” Danu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Aku akan merombak halaman belakang menjadi arena pacuan kuda. Pastikan semua selesai dalam seminggu.” Galih menelan ludah, sepertinya majikannya ini sudah gila, apa mungkin hanya dalam waktu satu minggu bisa mel