Malam telah larut, tapi Danu masih terjaga di ruang kerjanya. Kepalanya bersandar di kursi besar, matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya berputar-putar, mengulang lagi dan lagi hal yang sama. Reihan dan sekarang Mike. Dua pria berbeda, tapi tujuannya satu: Nandia."Kenapa banyak sekali lelaki yang mendekatinya?" Danu mengepalkan tangannya. Berusaha meredam emosi setelah melihat foto yang dikirimkan oleh anak buahnya tadi. Sebagai seorang CEO, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah. Tapi kali ini berbeda. Hatinya bergemuruh saat memikirkan kemungkinan terburuk: Nandia memilih meninggalkannya dan bersama pria lain. Bukan hanya egonya yang akan hancur, tapi juga perasaannya. Danu menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyerah. Dia lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke rumah Nandia, meski dia tahu, waktu sudah hampir tengah malam. --- Suara bel pintu membuyarkan lamunan Nandia. Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Siapa yang bertamu te
"Papa darimana?" tanya Niel saat bocah itu terbangun dan mencari sang ayah. Niel memang telah kembali sabtu sore, tapi minggu paginya, dia meminta Nandia kembali mengantarkannya ke rumah Danu dengan alasan ingin kembali berkuda. Niel bahkan membawa beberapa baju dan peralatan sekolahnya karena dia ingin menginap di rumah Danu sampai hari senin. Dia ingin seperti temannya yang diantarkan oleh ayahnya ke sekolah. --- Danu bernapas lega karena dia telah kembali tepat saat Niel baru terjaga, jadi bocah itu tidak tahu kalau dia meninggalkan dia sebentar tadi. Danu mengusap kepala Niel. "Papa baru selesai mengerjakan laporan, kenapa kamu terbangun?" tanya Danu menutupi kebohongannya.Bocah kecil itu memperlihatkan giginya yang putih. "Niel pengen buang air tadi, terus mencari Papa," jawabnya."Ya sudah, ayo kita tidur kembali," ajaknya. Amarahnya masih belum juga reda sejak dia meninggalkan rumah Nandia tadi. Ia kesal karena melihat kedekatan Nandia dengan pria lain. Ego dalam diri
Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan Danu tentang Nandia dan Mike. Karena malas mengangkat, Danu pun mengabaikannya. Lelaki itu kembali menatap pemandangan kota Jakarta di sore hari. Namun, sepertinya, penelepon itu tak patah semangat, ponsel Danu kembali berdering. Danu pun melirik nama yang muncul di layar. Tante Lestari, Mama Nandia tertera disana. Danu mengerutkan dahinya. "Ada apa Mama Diana meneleponku?" Danu menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo, Tante.” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gemetar. “Diana... dia—dia mencoba bunuh diri.” Danu terdiam. Ia merasa kesal, tetapi juga tak bisa mengabaikan kekhawatiran dalam suara perempuan yang sudah seperti ibu angkatnya itu. “Danu, aku mohon. Dia butuh kamu. Dia tidak akan mau bicara dengan siapa pun kecuali kamu. Bisakah kamu menjenguknya?” pinta Tante Lestari dengan nada memelas. “Tante maaf, saya sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal,” jawab Danu, mencoba menghindar. “Tolong, Danu.
"Haah, lelahnya!" Keluh Danu saat mengendurkan dasinya. Beberapa hari ini, Danu terpaksa menginap di rumah sakit karena menemani Diana. Tadi pagi, wanita itu sudah pulang ke rumah. Jadi dia bisa tidur tenang malam ini. Dia sudah berjanji, tidak akan lagi mau peduli dengan urusan Diana. Gara-gara Diana, hubungannya dengan Nandia jadi berantakan sekarang. Saat Danu akan memejamkan mata, ponselnya berdering, nama Tante Lestari muncul di layar. Ia memandang layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada datar. “Ya, Tante?” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gelisah. “Tante perlu bicara denganmu. Ini soal Diana. Kamu bisa datang sekarang?” “Apa yang sebenarnya ingin Tante bicarakan?” tanyanya, nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Ini tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Tolong, Danu. Ini penting.” Danu diam sejenak, mempertimbangkan. Namun, tidak ingin membiarkan situasi ini berlarut-larut, ia akhirnya menjawab, “Baik Tante, saya akan ke sana. Ini terakhi
"Tuan, Anda harus segera melihat berita ini." Galih masuk tanpa mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Ada apa Galih?" Tanya Danu bingung. Galih tidak menjawab, dia hanya memberikan handphone-nya pada sang majikan. Danu mengerutkan keningnya dan mengambil ponsel itu. Di layar terlihat berita yang sedang viral di hampir semua media sosial. Sebuah unggahan dari akun anonim menuduh bahwa Diana, seorang wanita muda, sedang hamil anak seorang CEO terkenal yang menolak bertanggung jawab. Meski nama Danu tidak disebutkan secara langsung, deskripsi dalam berita itu jelas mengarah padanya. Apalagi, dibawah berita itu ada foto-foto Danu saat mereka baru saja tiba di bandara beberapa bulan yang lalu. “Ini hanya lelucon, kan?” gumam Danu, wajahnya berubah dingin. Galih menggeleng. “Berita ini sudah menyebar luas, Pak. Bahkan beberapa rekan bisnis sudah menanyakannya. Mereka ingin tahu apakah ini benar.” Danu menaruh ponsel itu di meja dengan sedikit kekuatan, membuat suara berdenting yang
“Masalah ini harus selesai dengan cepat,” gumam Danu, matanya masih terpaku pada dokumen yang baru saja dikirim oleh tim hukumnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Galih, asistennya, melangkah masuk dengan ekspresi gelisah. "Tuan, kami sudah menemukan siapa yang membocorkan foto dan pesan-pesan itu. Diana bekerja sama dengan seorang wartawan." Danu meletakkan dokumen di mejanya dengan gerakan perlahan, nyaris dingin. "Diana, wanita itu, tidak ada habisnya mengganggu hidupku," ujarnya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Dia benar-benar ingin bermain api." "Tapi, Pak, bukti yang dia tunjukkan cukup kuat untuk membuat publik percaya—" "Galih," potong Danu dengan tajam. "Aku tidak butuh pendapat tentang seberapa kuat bukti itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang sudah kau siapkan untuk membungkamnya?" Galih menelan ludah, jelas merasa tertekan. "Tim hukum sedang menyusun tanggapan resmi, Pak. Tapi jika ini terus berlanjut, mungkin akan berdampak pada reputasi Anda—" "Reputasi
Nandia menatap layar ponselnya, melihat dokumen gugatan cerai yang baru saja ia kirimkan ke pengadilan. Kali ini, ia tidak akan mundur. "Kamu pikir, kamu bisa mengikatku selamanya, Danu? Akan aku tunjukkan aku pun bisa melakukan apa yang aku mau. Kamu tidak akan bisa mengontrolku lagi," gumam Nandia. ---Di sisi lain, di kantor Danu, Galih masuk tergesa-gesa membawa kabar yang tak kalah mengejutkan."Tuan Danu," panggil Galih dengan nada cemas.Danu yang sedang berdiri di depan jendela besar hanya meliriknya sekilas. "Apa lagi sekarang?"Galih tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berbicara, "Nyonya Nandia... dia baru saja mengajukan gugatan cerai, Tuan."Danu tidak segera merespons. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap tenang. "Gugatan cerai?" ulangnya, seolah kata-kata itu tidak memiliki bobot sama sekali."Ya, Pak. Saya baru mendapat informasi dari salah satu teman saya yang bekerja di pengadilan. Gugatan itu sudah resmi masuk," jelas Galih, mencoba membaca reaksi
Diana sedang duduk di ruang tamunya, memandang layar laptop dengan senyum puas. Berbagai hujatan dilayangkan netizen pada Danu. Sementara dia, justru dibela dan dikasihani karena dianggap sebagai korban. "Bagus, semua berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi, kamu akan tamat, Danu." Namun, senyum di wajahnya lenyap ketika berita baru muncul di layar. Sebuah artikel dari media ternama mengungkap fakta bahwa Diana telah bekerja sama dengan seorang wartawan bayaran untuk menyebarkan berita bohong tentang Danu. Bukti transfer uang dan percakapan antara Diana dan wartawan tersebut diunggah oleh pihak Danu, membuat publik kini menyerang Diana balik. Diana menutup laptopnya dengan kasar dan berdiri, mondar-mandir dengan gelisah. Dia meraih ponselnya dan menghubungi wartawan yang selama ini menjadi rekannya. “Kenapa kau bisa membiarkan semua ini bocor?” sergah Diana tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Aku tidak tahu, Bu Diana! Mereka punya akses ke rekaman percakapan kita da
Diana berjalan mondar-mandir di ruangannya, bibirnya terkatup rapat. Setelah mendapat pesan dari Danu tadi, dia tahu kalau dia harus mengambil sekap sebelum Danu menghukumnya. Karena dia yakin, danu tidak akan melepaskannya kali ini. “Kalau begini terus, aku tidak punya pilihan lagi,” gumam Diana. Ia menatap ke layar ponselnya, membuka daftar kontak dan memilih satu nama. Diana menghubungi Andra, mantan sopir Danu yang dipecat beberapa bulan lalu karena terlibat kasus penggelapan. Dia tahu, Andra masih menyimpan dendam pada Danu. “Andra, aku punya pekerjaan untukmu,” ucap Diana tanpa basa-basi. Andra menghela napas di ujung telepon. “Apa pekerjaan itu, Bu Diana? Kalau itu menyangkut keluarga Danu, aku harus berpikir dua kali.” “Dengar,” potong Diana. “Aku hanya butuh kau menjemput anak mereka. Tidak lebih. Kau pernah bertemu dengan anak itu bukan? Kalau anak itu tidak mau iku denganmu, kamu gendong saja dia dan masukkan ke dalam mobil.” Andra terdiam beberapa saat, tetapi
Diana sedang duduk di ruang tamunya, memandang layar laptop dengan senyum puas. Berbagai hujatan dilayangkan netizen pada Danu. Sementara dia, justru dibela dan dikasihani karena dianggap sebagai korban. "Bagus, semua berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi, kamu akan tamat, Danu." Namun, senyum di wajahnya lenyap ketika berita baru muncul di layar. Sebuah artikel dari media ternama mengungkap fakta bahwa Diana telah bekerja sama dengan seorang wartawan bayaran untuk menyebarkan berita bohong tentang Danu. Bukti transfer uang dan percakapan antara Diana dan wartawan tersebut diunggah oleh pihak Danu, membuat publik kini menyerang Diana balik. Diana menutup laptopnya dengan kasar dan berdiri, mondar-mandir dengan gelisah. Dia meraih ponselnya dan menghubungi wartawan yang selama ini menjadi rekannya. “Kenapa kau bisa membiarkan semua ini bocor?” sergah Diana tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Aku tidak tahu, Bu Diana! Mereka punya akses ke rekaman percakapan kita da
Nandia menatap layar ponselnya, melihat dokumen gugatan cerai yang baru saja ia kirimkan ke pengadilan. Kali ini, ia tidak akan mundur. "Kamu pikir, kamu bisa mengikatku selamanya, Danu? Akan aku tunjukkan aku pun bisa melakukan apa yang aku mau. Kamu tidak akan bisa mengontrolku lagi," gumam Nandia. ---Di sisi lain, di kantor Danu, Galih masuk tergesa-gesa membawa kabar yang tak kalah mengejutkan."Tuan Danu," panggil Galih dengan nada cemas.Danu yang sedang berdiri di depan jendela besar hanya meliriknya sekilas. "Apa lagi sekarang?"Galih tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berbicara, "Nyonya Nandia... dia baru saja mengajukan gugatan cerai, Tuan."Danu tidak segera merespons. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap tenang. "Gugatan cerai?" ulangnya, seolah kata-kata itu tidak memiliki bobot sama sekali."Ya, Pak. Saya baru mendapat informasi dari salah satu teman saya yang bekerja di pengadilan. Gugatan itu sudah resmi masuk," jelas Galih, mencoba membaca reaksi
“Masalah ini harus selesai dengan cepat,” gumam Danu, matanya masih terpaku pada dokumen yang baru saja dikirim oleh tim hukumnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Galih, asistennya, melangkah masuk dengan ekspresi gelisah. "Tuan, kami sudah menemukan siapa yang membocorkan foto dan pesan-pesan itu. Diana bekerja sama dengan seorang wartawan." Danu meletakkan dokumen di mejanya dengan gerakan perlahan, nyaris dingin. "Diana, wanita itu, tidak ada habisnya mengganggu hidupku," ujarnya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Dia benar-benar ingin bermain api." "Tapi, Pak, bukti yang dia tunjukkan cukup kuat untuk membuat publik percaya—" "Galih," potong Danu dengan tajam. "Aku tidak butuh pendapat tentang seberapa kuat bukti itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang sudah kau siapkan untuk membungkamnya?" Galih menelan ludah, jelas merasa tertekan. "Tim hukum sedang menyusun tanggapan resmi, Pak. Tapi jika ini terus berlanjut, mungkin akan berdampak pada reputasi Anda—" "Reputasi
"Tuan, Anda harus segera melihat berita ini." Galih masuk tanpa mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Ada apa Galih?" Tanya Danu bingung. Galih tidak menjawab, dia hanya memberikan handphone-nya pada sang majikan. Danu mengerutkan keningnya dan mengambil ponsel itu. Di layar terlihat berita yang sedang viral di hampir semua media sosial. Sebuah unggahan dari akun anonim menuduh bahwa Diana, seorang wanita muda, sedang hamil anak seorang CEO terkenal yang menolak bertanggung jawab. Meski nama Danu tidak disebutkan secara langsung, deskripsi dalam berita itu jelas mengarah padanya. Apalagi, dibawah berita itu ada foto-foto Danu saat mereka baru saja tiba di bandara beberapa bulan yang lalu. “Ini hanya lelucon, kan?” gumam Danu, wajahnya berubah dingin. Galih menggeleng. “Berita ini sudah menyebar luas, Pak. Bahkan beberapa rekan bisnis sudah menanyakannya. Mereka ingin tahu apakah ini benar.” Danu menaruh ponsel itu di meja dengan sedikit kekuatan, membuat suara berdenting yang
"Haah, lelahnya!" Keluh Danu saat mengendurkan dasinya. Beberapa hari ini, Danu terpaksa menginap di rumah sakit karena menemani Diana. Tadi pagi, wanita itu sudah pulang ke rumah. Jadi dia bisa tidur tenang malam ini. Dia sudah berjanji, tidak akan lagi mau peduli dengan urusan Diana. Gara-gara Diana, hubungannya dengan Nandia jadi berantakan sekarang. Saat Danu akan memejamkan mata, ponselnya berdering, nama Tante Lestari muncul di layar. Ia memandang layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada datar. “Ya, Tante?” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gelisah. “Tante perlu bicara denganmu. Ini soal Diana. Kamu bisa datang sekarang?” “Apa yang sebenarnya ingin Tante bicarakan?” tanyanya, nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Ini tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Tolong, Danu. Ini penting.” Danu diam sejenak, mempertimbangkan. Namun, tidak ingin membiarkan situasi ini berlarut-larut, ia akhirnya menjawab, “Baik Tante, saya akan ke sana. Ini terakhi
Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan Danu tentang Nandia dan Mike. Karena malas mengangkat, Danu pun mengabaikannya. Lelaki itu kembali menatap pemandangan kota Jakarta di sore hari. Namun, sepertinya, penelepon itu tak patah semangat, ponsel Danu kembali berdering. Danu pun melirik nama yang muncul di layar. Tante Lestari, Mama Nandia tertera disana. Danu mengerutkan dahinya. "Ada apa Mama Diana meneleponku?" Danu menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo, Tante.” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gemetar. “Diana... dia—dia mencoba bunuh diri.” Danu terdiam. Ia merasa kesal, tetapi juga tak bisa mengabaikan kekhawatiran dalam suara perempuan yang sudah seperti ibu angkatnya itu. “Danu, aku mohon. Dia butuh kamu. Dia tidak akan mau bicara dengan siapa pun kecuali kamu. Bisakah kamu menjenguknya?” pinta Tante Lestari dengan nada memelas. “Tante maaf, saya sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal,” jawab Danu, mencoba menghindar. “Tolong, Danu.
"Papa darimana?" tanya Niel saat bocah itu terbangun dan mencari sang ayah. Niel memang telah kembali sabtu sore, tapi minggu paginya, dia meminta Nandia kembali mengantarkannya ke rumah Danu dengan alasan ingin kembali berkuda. Niel bahkan membawa beberapa baju dan peralatan sekolahnya karena dia ingin menginap di rumah Danu sampai hari senin. Dia ingin seperti temannya yang diantarkan oleh ayahnya ke sekolah. --- Danu bernapas lega karena dia telah kembali tepat saat Niel baru terjaga, jadi bocah itu tidak tahu kalau dia meninggalkan dia sebentar tadi. Danu mengusap kepala Niel. "Papa baru selesai mengerjakan laporan, kenapa kamu terbangun?" tanya Danu menutupi kebohongannya.Bocah kecil itu memperlihatkan giginya yang putih. "Niel pengen buang air tadi, terus mencari Papa," jawabnya."Ya sudah, ayo kita tidur kembali," ajaknya. Amarahnya masih belum juga reda sejak dia meninggalkan rumah Nandia tadi. Ia kesal karena melihat kedekatan Nandia dengan pria lain. Ego dalam diri
Malam telah larut, tapi Danu masih terjaga di ruang kerjanya. Kepalanya bersandar di kursi besar, matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya berputar-putar, mengulang lagi dan lagi hal yang sama. Reihan dan sekarang Mike. Dua pria berbeda, tapi tujuannya satu: Nandia."Kenapa banyak sekali lelaki yang mendekatinya?" Danu mengepalkan tangannya. Berusaha meredam emosi setelah melihat foto yang dikirimkan oleh anak buahnya tadi. Sebagai seorang CEO, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah. Tapi kali ini berbeda. Hatinya bergemuruh saat memikirkan kemungkinan terburuk: Nandia memilih meninggalkannya dan bersama pria lain. Bukan hanya egonya yang akan hancur, tapi juga perasaannya. Danu menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyerah. Dia lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke rumah Nandia, meski dia tahu, waktu sudah hampir tengah malam. --- Suara bel pintu membuyarkan lamunan Nandia. Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Siapa yang bertamu te