Diana duduk diam dalam mobilnya, pikiran bergemuruh dengan amarah. la tidak bisa menerima penghinaan yang baru saja terjadi. Danu hanya menjadikannya sebagai istri di atas kertas. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia melakukan ini hanya untuk menyingkirkannya dari hidup Nandia dan Niel. Semua rencana yang ia susun rapih seolah hancur dalam sekejap. "Kurang ajar si Danu. Enak saja menjadikanku istri diatas kertas. Memangnya aku Nandia yang mau saja diperlakukan begitu. Aku bukan Nandia. Awas kamu Danu!"Satu-satunya cara adalah dengan menyingkirkan Nandia dan Niel dari hidup mereka, sekali dan untuk selamanya. Pikiran Diana melayang pada sosok lelaki yang pernah membantunya dulu. la segera menghubungi seorang pria bernama Gino, sosok yang tak segan melakukan pekerjaan kotor hanya demi uang.---Pagi yang dingin menyelimuti gudang tua itu. Nandia terduduk lemas di lantai, kedua tangannya terikat di belakang kursi, wajahnya penuh luka dan lebam. Niel yang duduk tak jauh darinya juga tak
Siang Itu di Mall Niel, jangan lari-lari sayang, nanti jatuh." Nandia mengingatkan putranya.Senyum kecil terbit di bibirnya kala melihat putra semata wayangnya tampak bahagia. Mereka baru saja membeli mainan kesukaan Niel sebagai hadiah karena kemarin, Niel mendapatkan bintang di kelasnya karena sudah bisa membaca dengan lancar. Hampir lima belas menit Nandia menunggu di restoran fast food yang ada di dekat pintu keluar, namun, sang sopir tak kunjung datang. Nandia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi sopirnya. Dia mengerutkan kening ketika panggilan itu tidak terhubung. “Kenapa ponselnya tidak aktif?” gumamnya, agak bingung. "Niel, tunggu sebentar di sini, ya," katanya sambil mengalihkan pandangannya pada salah satu bodyguard yang berdiri tak jauh darinya. “Pak Anto, bisa tolong cari Pak Surya di parkiran? Tanyakan kenapa dia belum ke sini.” Anto, bodyguard setianya, mengangguk dan segera menuju ke parkiran tanpa banyak bicara. Sementara itu, Nandia menggenggam tan
Di Gudang Tua Tak lama kemudian, mobil van itu berhenti. Lelaki bertopeng itu menutup mata Niel sebelum mereka membawa Niel keluar. Sedangkan Nandia, karena wanita itu masih pingsan, jadi salah satu diantara mereka menggendongnya. Saat mereka sudah berada di sebuah kamar, barulah ikatan kepala Niel dibuka. “Mama… bangun Ma. Kenapa kita dibawa ke sini? Niel takut, Ma!” bisik Niel, memeluk ibunya dengan erat. Samar-samar, Nandia yang mendengar suara sang putra pun membuka mata. Ingatannya beralih pada kejadian setelah pulang dari Mall tadi. Ada beberapa orang yang mencoba menculiknya. Niel kembali memeluk ibunya. Merasa senang karena sang ibu ternyata tidak apa-apa. "Mama baik-baik saja?" Tanya Niel khawatir. Nandia mengangguk. Mengusap air mata putranya yang menangis karena ketakutan. “Tenang, sayang. Mama baik-baik saja kok,” jawab Nandia sambil memeluk erat sang putra. Tak lama, pintu terbuka. Beberapa lelaki berbaju hitam masuk ke dalam dan mengikat tangan keduanya. Nandia
Niel memegang erat jam tangannya, sedikit gemetar tetapi matanya berbinar saat ingatannya melayang pada sosok yang sangat dia percayai. Dia mengenang momen ketika pertama kali bertemu Reihan, lelaki baik hati yang selalu memberikannya perhatian. Saat itu, Reihan memberikannya jam tangan khusus dengan fitur rahasia, dan berkata, “Kalau kamu kangen Uncle atau butuh bantuan, pencet tombol hijau ini, ya, Niel.” Nandia memperhatikan putranya yang tengah menatap jam itu dengan penuh harap. “Niel, apa ada yang kamu ingat?” tanya Nandia mencoba meredakan ketegangan yang mereka hadapi. Niel menatap ibunya dengan mata penuh harap. “Mama, dulu, Uncle Reihan bilang kalau aku pencet tombol hijau ini, dia akan datang. Apa menurut Mama, dia benar-benar akan datang ke sini?” Meskipun hatinya ragu, Nandia tersenyum, berusaha menenangkan putranya. “Tidak ada salahnya mencoba, Niel. Kamu pencet aja tombol hijaunya, siapa tahu berfungsi dan kita bisa segera keluar dari sini." Niel mengangguk pelan
Reihan memandang pesan darurat dari Niel di layar ponselnya dengan ekspresi bingung. “Jam tangan itu…” gumamnya pelan. Ingatannya kembali ke hari saat dia memberikan hadiah itu kepada Niel. Jam tangan dengan fitur GPS khusus yang hanya bisa diaktifkan jika ada situasi mendesak. “Kalau kamu kangen atau butuh Uncle, pencet tombol hijau ini,” katanya pada Niel waktu itu. Namun, dia tak pernah benar-benar berharap Niel akan menggunakannya. Kini, kenyataan bahwa Niel mengaktifkannya membuat Reihan cemas. Reihan cepat-cepat mengenakan jaketnya dan bergegas keluar. “Kalau Niel menggunakannya, berarti mereka dalam bahaya atau… mungkin dia hanya merindukanku,” pikir Reihan sambil berusaha menenangkan dirinya. Dia langsung menuju rumah Nandia, berharap mereka hanya sedang di sana dan baik-baik saja. Saat tiba di rumah Nandia, ia segera mengetuk pintu. Tak lama kemudian, seorang pembantu membukakan pintu dan terlihat kaget melihat Reihan. “Tuan Reihan, ada apa ya malam-malam begini?” tanyany
Melihat tubuh Niel yang tiba-tiba menggigil, Reihan pun panik. Begitu juga dengan Nandia."Nandia, kita harus ke rumah sakit dahulu. Kita tidak bisa membiarkan keadaan Niel seperti itu," kata Reihan.Nandia memegang dahi Niel yang tiba-tiba saja mengalami demam. Meski dia tak ingin ke rumah sakit, mau tak mau, dia pun menganggukkan kepalanya.Reihan pun mencari rumah sakit terdekat. Kalau harus menunggu sampai kota, dia takut kondisi Niel bertambah parah. Reihan melirik keadaan Niel lewat kaca spion.“Tenang saja, kita akan segera sampai. Menurut map, 10 kilo dari sini ada rumah sakit,” ujar Reihan, mencoba memberi ketenangan.Nandia mengangguk lemah. “Terima kasih, Reihan. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu.”Reihan menatapnya sejenak, menyunggingkan senyum kecil. “Sudah menjadi tugasku untuk melindungi kalian. Kalian keluarga bagiku.”Setibanya di rumah sakit, Reihan langsung membawa Niel dan Nandia masuk ke ruang gawat darurat. Seorang perawat menghampiri dan langs
Saat mereka akan membuka pintu ruang perawatan Niel, sosok tak terduga muncul di hadapan mereka—Danu. Dia berdiri dengan wajah dingin, matanya menatap tajam ke arah mereka bertiga."Danu!" Reihan langsung menghentikan langkahnya, berdiri di depan Nandia dan Niel seolah-olah sebagai tameng. “Apa yang kau lakukan di sini, Danu?” tanyanya dengan nada tajam. Danu tersenyum tipis, tetapi matanya penuh kecurigaan. “Haruskah aku bertanya hal yang sama padamu, Reihan? Mengapa kamu berada disini dengan istri dan juga anakku? Apa yang kalian lakukan? Apa kamu berselingkuh dengan istriku?” Reihan menahan kemarahannya. “Aku ada di sini karena mereka membutuhkan pertolonganku. Sementara kau… apa kau benar-benar peduli pada mereka? Atau kamulah yang sebenarnya menculik mereka?” Danu mengangkat alisnya, berpura-pura terkejut. “Jangan menebar fitnah, Reihan. Apa kau sedang mencoba menuduhku? Aku ke sini hanya ingin memastikan keadaan mereka, karena Galih bilang mereka tidak pulang semalam.” Nand
"Aku harus membuatnya sibuk dengan diriku... bagaimanapun caranya." gumam Diana, sambil mengepalkan tangannya.. Di dalam apartemennya, Diana berdiri menatap bayangannya di cermin. Rencananya sudah sejauh ini. Dia tak ingin gagal hanya karena Danu meninggalkannya demi menolong Nandia. Dia tahu, Danu akan lebih memilih untuk menolong Nandia jika terjadi sesuatu, kecuali jika keadaannya dalam keadaan darurat. Senyum mengembang di bibirnya saat terbesit satu ide gila di kepalanya. Sebuah rencana yang penuh risiko, tapi ini mungkin satu-satunya cara agar Danu tak lagi memikirkan Nandia-dengan membuat dirinya terlihat rapuh dan memaksa Danu untuk terus berada di sisinya."Aku yakin, setelah ini, kamu tidak akan pernah meninggalkanku, Danu!" --- Saat Danu hendak pulang, Diana mengirimkan beberapa pesan padanya. Lelaki itu hanya melihat sekilas, kemudian memilih mengabaikan pesan-pesan ancaman dari Diana. Danu sudah lelah dengan ancaman Diana. Di layar ponselnya, pesan-pesan wanita
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah