Setelah berada di dalam taxi online, Talita merutuki diri sendiri. "Kenapa aku lakukan ini?" penyesalan di ujung jalan, karena mobil yang dia naiki telah sampai di depan rumah yang sebenarnya adalah neraka baginya. "Benar ini rumahnya, kan Mbak?" tanya driver taxi online sambil celingukan melihat ke arah luar, mengira suara Talita tadi sedang mengajaknya bicara. "Takut salah soalnya," lanjutnya. "Be benar, Pak." Talita gelagapan. Menyadari sempat melamun, sehingga tidak segera beranjak. "I iya, terima kasih ya Pak." Talita buka pintu mobil, menutup, tapi tak langsung menuju ke gerbang rumah. Tak beberapa lama, deringan ponselnya terdengar. "Saya sudah di gerbang, Nyonya muda." Suara Sari to the point saat Talita mengangkat panggilan. "Oke, tunggu." Talita mulai melangkah lagi. Gerbang rumah keluarga Christopher telah di buka oleh salah seorang satpam. "Belum ada orang di rumah ya, Mbak?" tanyanya setelah masuk dan di temani Sari, pembantu rumah tangga kepercayaannya. "Bu V
"Tapi, Nyonya ..." "Halah, nggak ada tapi-tapian. Cepat kemasi barang-barangmu!" Veronica memijit-mijit kening, akibat kerahkan emosi kemarahan. "Baik, Nyonya." Talita pamitan kembali naik tangga dan masuk kamarnya. Di tengah-tengah memasukkan pakaian dan barang-barangnya, bisa Talita dengar suara air shower dari kamar Reynald yang ada di sebelah. Dulu, dia sudah menyiapkan segalanya bahkan sebelum suaminya itu pulang. Sekarang Talita hanya bisa berdiri terpaku menatap dinding pembatas antara kasur dan posisi kamar mandi pribadi Reynald. "Lemarimu nggak berantakan, kan Rey? Apa kamu masih suka ambil baju di bagian paling atas? Terus kalau milih bagian tengah, jadi berantakan semua?" gumam Talita mengingat tiap tugasnya sebagai istri Reynald sebelumnya. Tak terasa air mata ini menetes. Sudah coba di tahan, namun ketegaran hati tak cukup menyudahi. Tiba saat menutup koper, suara pintu dari kamar Reynald terdengar tertutup. Talita sengaja hentikan aktifitas, menunggu derap lan
Pada malam harinya, Talita susah tidur. Ingin turun menuju dapur, tapi takut bertemu Veronica atau Celine. Baru saja akan meraih ponsel untuk menghubungi Sari, terdengar kegaduhan baru di luar kamar. Talita buru-buru keluar untuk mencari tahu. Salah satu suara di kenalnya sebagai milik pembantu kepercayaannya itu. "Pasti ini bukan pertama kalinya kamu coba mata-matain, kan?!" Celine memegang kedua tangan Sari yang menangis tersedu. "Maaf, Mbak. Saya bukan mau ke kamar Tuan Reynald, tapi ke Nyonya muda." "Halah. Jangan-jangan Talita yang nyuruh kamu ngintipin aku sama Reynald. Ngaku saja kamu!" Celine masih pada kecurigaannya. "Apa itu benar Sari?" Reynald ikut menghakimi. Sari melirik ke arah Talita, ketakutan menyelimuti wajahnya. "Nggak, Tuan. Saya memang mau ke kamar Nyonya muda. Sial bagi Sari, saat baru saja berniat menguping, pintu terbuka secara tiba-tiba. Reynald sebagai pertama memergoki, hingga Celine jadi meradang. "Iya, dia mau ke kamarku karena tadi aku te
"Sari tidak akan ku pecat, tapi Talita tetap di sini." Jawaban pengundang getir Talita. Kenapa Reynald masihaaja bersikap tak mau melepaskannya? Bahkan Celine saja tak mengerti dengan jalan pikiran Reynald ini. "No debat. Kembali ke kamar masing-masing!" Kalau Reynald sudah memberi perintah, maka tidak ada yang akan berani membantah. Talita menarik tangan Sari untuk di bawa ke dalam kamarnya segera., sebelum ada reaksi dari Celine dan Reynald. "Mbak Sari. Jangan lakuin itu lagi, ya. Nanti kita berdua dapat masalah lebih besar. Tahu sendiri, Reynald kayak gimana." Talita beri peringatan keras pada pembantu rumah tangga kesayangannya ini. "Nyonya muda. Menurut saya, anda itu terlalu baik. Biarin suami satu atap sama selingkuhan, hamil lagi. Ini hidup nyata, bukannya drama. Kok bisa hatinya sekuat itu?" Sari duduk bersimpuh di hadapan Talita. Tak peduli walau Talita sudah memintanya berdiri, tapi ini juga sebagai bentuk kepeduliannya pada Talita. "Karena ... Entahlah, Mbak."
Pintu kembar gaya eropa rumah Reynald telah terbuka. Dua orang pria berada di ambangnya. Satu orang berumur paruh baya dan berkacamata, pria yang sama datang ke rumah Talita waktu, yaitu Arya. Seorang lagi berumur kisaran 30 tahunan, bermata eksotik, berkacamata dan berpostur tinggi jangkung. Marlo adalah sekretaris baru Wira, namun sudah mendapat kepercayaan lebih. "Tuan Wira. Selamat datang," salam Reynald ramah. Sangat berbeda dengan sikap kesehariannya. Wira membalas salam dan pelukan hangat Reynald, tapi kemudian segera beralih pada Talita dan menyapanya. "Selamat malam, Nyonya. Bagaimana keadaan anda? Sudah lebih baik?" Apa maksudnya?? Pertanyaan pertama yang ada di dalam kepala Talita. "Sa saya? Iya, ba ba baik ... Baik." Talita spontan gelagapan. Selain baru kali ini jadi pendamping Reynald menemui kolega bisnis, tapi keheranan dengan pertanyaan Wira yang masih menyisakan tanya baginya. "Nanti kita bicara lagi ya, Nyonya." Senyuman Wira sebelum mengikuti ajakan Re
"Saya? Tentu saja pernah." Talita tegakkan kepala. Menunggu apakah Wira akan secara sengaja membuka pertemuan serta isi dan maksudnya waktu itu. "Bukankah kemarin sewaktu pertemuan antara perusabaan anda, Nyonya Talita ini juga di sana?" jelas Wira. "Saya memang tidak aktif dalam acara, tempat duduk saya juga di paling belakang, tapi saya memperhatikan setiap detailnya, Pak Reynald." Entah kenapa, ada perasaan lega Talita mendengar jawaban Wira. Belum ingin berspekulasi apapun sampai yakin bahwa dia memanglah orang yang Wira maksudkan. Reynald tak bisa banyak berkomentar. Tahu diri reputasi pria di hadapannya ini. Ada rasa hormat lebih pada Wira di balik kepentingan proyek itu sendiri. "Oh iya, saya lupakan hal itu. Anda pasti tipe pria sangat profesional," jawaban Reynald jadi merasa tak enak juga. "Terima kasih, Pak Reynald. Boleh kita mulai makan sekarang? Saya sudah tak sabar." Wira ingin cairkan suasana. Selama jamuan makan malam tersebut, Wira tak henti-hentinya member
Sesuai kesepakatan, hari senin adalah waktu pertemuan kedua, tapi di kantor perusahaan Christopher. Tentu saja Talita di minta wajib hadir oleh Wira sebagai pendamping Reynald. Waktu penunjukkan singkat serta dadakan, membuat Talita hanya mendapatkan ruang sempit bekas gudang arsip. Kelebihannya hanya berada di satu lantai ruangan Reynald. "Baru ini yang bisa saya lakukan. Kalau butuh apa-apa, bisa langsung hubungi saya." Alika menunggu sebentar untuk memastikan Talita tidak temui kendala. Hanya satu meja, kursi, serta dua tumpuk dokumen saja sebagai pemandangan hari pertama Talita. "Nggak apa-apa, Mbak Alika. Aku sudah seneng dapat ruangan kerja begini." "Baiklah. Saya balik dulu ke meja. Pak Reynald sudah menunggu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja." "Iya. Tentu saja." Talita tunjukkan raut tenang, walaupun dalam pikiran bergemuruh. Untuk beberapa detik lamanya hanya bisa duduk diam, tak tahu harus melakukan apa. Memendarkan pandangan ke seluruh ruangan yan
"Baik, Mbak." Jawaban Talita sadar diri merasa yang salah. Berjongkok kembali untuk memungut, memilah tiap bagian dan halaman masing-masing dokumen. Memakan waktu lama, sekaligus harus merapikan ulang yang berserakan. "Eh, maaf. Ini kertasnya termasuk isi dokumen ya?" Seorang pegawai wanita mengambil dua kertas yang tak sengaja di injak sepatunya, sehingga meninggalkan jejak dan hampir berlubang. "Ini, Mbak. Tadi terbang, jadi nggak sengaja keinjek deh." Talita meraih kertas-kertas itu. Rasanya ingin luapkan kekesalan, tapi sadar dia hanya sebatas istri presdir yang tidak pernah di kenalkan. "Ya sudah, nggak apa-apa Mbak." Talita sabarkan diri, menerima bila ternyata harus mencari bagian di halaman mana kertas yang sudah tak layak pakai itu. Talita berencana meng-copy ulang. "Aduh, ini kan isi dokumen yang laporan bulanan pegawai itu. Mana aku nggak punya, sudah di bawa Mbak tadi," keluh Talita melihat ke kanan kiri, sekiranya akan bertemu pegawai wanita yang dia maksud. T
Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
Sorot tajam Reynald pada Talita yang berdiri. Sudah kuasa bagi Talita bila harus terus di suruh menunggu aksi dan respon Reynald setelah permintaan cerainya tidak juga di gubris. "Talita. Duduk lagi. Jangan membuat gaduh. Ini bukan waktu yang tepat!" pinta Reynald tenang. Walaupun sikapnya tetap dingin, tapi kekaleman nada suaranya ini keluar setelah menyadari akan kedatangan Wira lagi. Begitu juga Talita. Terpaksa mengalah dengan menghela napas terlebih dulu, baru kemudian menuruti untuk duduk lagi. Wira seperti sosok yang seringkali jadi pembatas mereka berdua untuk berargumen lebih jauh. "Ada apa?" Tak di sangka Talita dan Reynald, Wira mencurigai akan adanya situasi tertentu. "Apa anda mau ke toilet juga, Nyonya?" Seperti biasa, Wira akan lebih perhatian terlebih dulu pada Talita. "Oh, tidak apa-apa Pak Wira. Saya cuma ... merapikan baju," sahut Talita. Sempat kebingungan, tapi jadi terpikir soal penampilan meski gelagapan sedikit. "Anda masih terlihat cantik, jadi nggak
"Nyonya Talita!" Semua pasang mata sontak menjadikan wanita muda dengan senyum mengembang itu menyambut berdiri. "Akhirnya. Saya sudah khawatir dengan kondisi anda, Nyonya." Wira meninggalkan kursi di ruangan private untuk memberi pelukan pada Talita. "Terima kasih, Pak Wira. Maaf kalau sudah buat khawatir." Talita sambut rangkulan kilat sebagai ungkapan pikiran Wira tidak kalah hangatnya. "Oh ya, kenalkan ini teman saya." Talita bergeser untuk berikan ruang pada Mario. "Selamat datang di New York, senang bertemu denganmu, Pak. Saya Mario." Wira mundur selangkah, memperhatikan sekilas penampilan Mario dan Talita di hadapannya. "Kalian berdua orang-orang yang luar biasa!" pekiknya senang. Meskipun belum tahu situasi seperti apa antara keduanya, tapi apa yang di kenakan keduanya sungguh membuat Wira kagum. "Wow. Saya seperti baru mengenal anda, Nyonya." Wira buru-buru menarik kursi di sampingnya untuk Talita, sedangkan Mario sengaja mencari meja lain. Setiap gerakannya berup
"Meminta Celine ikut ke Amerika juga maksudmu?" Talita mengulang untuk memastikan. "Yes," sahutan santai Mario. Satu gulungan mi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. Talita menatap Mario untuk menilai ekspresi yang di tunjukkan. Meskipun terlihat dingin, tapi ada guratan lain di kedua matanya yang menunduk. Talita membava ada kekecewaan bertumpuk menjadi bola kebencian yang kapan saja bisa jadi bom waktu. "Kenapa? Kayaknya kamu sedih?" "Hah? Sedih?" Mario angkat wajah. Makanan yang semula ada di dalam mulutnya telah tertelan. "Nggak. Aku justru pengen Celine lihat bagaimana perubahan yang sedang kita usahakan." "Progessmu yang bagus, tapi aku belum." Berganti Talita menunduk, tersenyum geli merutuki diri. "Gimana-gimana, aku masih belum bisa di sepadankan dengan Celine, tahu!" ujarnya tegas. Tak mau terlalu ikut berandai bersama Mario. "Siapa bilang? Dengan kamu berani ambil sekolah bisnis di sini, sudah buktikan kalau ada kemajuan juga." Hampir saja Mario secara refle
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa jam kemudian, setelah berbicara dengan Celine secara diam-diam. "Oke. Baiklah. Terpaksa aku setujui," gumamnya seraya mengeluarkan lagi koper yang semula sempat dia kembalikan ke bagian paling bawah dalam lemari wardrobenya. Talita lalu melongok ke arah jendela. Memastikan kalau Celine sudah memulai awal rencananya. Talita tak menyangka akan menuruti wanita bermuka dua yang berniat mengusirnya, tapi justru itulah yang dia harapkan kini. Suara mesin mobil terdengar di bagian depan jendela kamarnya. Itu adalah pertanda kalau dia harus segera turun dari kamar. Talita hela napas dalam, baru kemudian keluar dengan tunjukkan ekspresi biasa saja. Setelah melewati lorong menuju ke tangga, apa yang sudah dia duga terjadi. Saling menatap dengan sang tuan muda pemilik rumah tak bisa terelakkan. Bukan seperti biasanya, Talita berikan senyuman tipis. Cara yang terpaksa di lakukan demi bisa mencapai jalan keluar, menjauhi suaminya sendiri. *** Di tempat lain, setelah beberapa
Malam harinya. Tempat melamun Talita berganti di tempat tidurnya. Memang Mario tidak mengungkapkan secara gamblang, bahkan setelahnya di selingi gelak tawa seolah sebuah candaan, tapi Talita tak mau memungkiri situasi sore itu. "Apa aku bisa mencintai pria lain selain Reynald?" Talita bertanya pada dirinya sendiri, tanpa bisa berikan jawaban. Suara air dari kamar mandi Reynald terdengar. Talita sengaja ciptakan suasana hening. Sayup-sayup Talita bisa pastikan ada suara wanita sedang berbicara dengan Reynald. Talita menoleh pada sisi dinding, dimana di perkirakan tempat kemungkinan Reynald dan Celine berada. Terdengar cekikikan manja wanita yang sedang mengandung anak dari suaminya itu. Hati Talita terkoyak, lalu putuskan segera berdiri menuju lemari pakaian. Satu koper berisi sebagian besar baju dan barang-barang masih tertata rapi di dalamnya kemudian di seret keluar. Talita melirik ke arah dinding perbatasan antara kamarnya dan Reynald, lalu teguhkan diri untuk segera per
"Pembawa sial?" lirih Talita tersedu di depan kaca wastafel. Kalau hinaan soal ketidakbecusannya dalam segala hal, masihlah bisa dia terima. Menjadi orang yang di buat seolah pembawa sial, tentu sangat menyakitkan hati. "Memang sepertinya aku pembawa kekacauan." Setelah kejadian seharian ini, Talita jadi minder dan tak punya keberanian kembali ke tempat acara. Walaupun menyadari akan membuat Wira dan juga istrinya, Lina kecewa, namun penambahan derita batin dari Reynald semakin tak bisa buatnya kuasa kembali. Melalui pintu belakang kantor, Talita benar-benar memutuskan untuk pergi. Bukannya meminta antar sopir seperti sewaktu datang, Talita ingin memesan taxi online saja seperti biasa. "Tolong agak di percepat, ya Pak." Permintaan Talita, kali ini tidak seperti biasanya. Tak pernah Talita ingin cepat pergi menjauh dari kantor yang di besarkan oleh ayahnya juga ini. Rasanya diri sudah terpental oleh hinaan suaminya sendiri. Pembawa sial. Sebutan yang terus memenuhi pikiran Ta