Sesuai kesepakatan, hari senin adalah waktu pertemuan kedua, tapi di kantor perusahaan Christopher. Tentu saja Talita di minta wajib hadir oleh Wira sebagai pendamping Reynald. Waktu penunjukkan singkat serta dadakan, membuat Talita hanya mendapatkan ruang sempit bekas gudang arsip. Kelebihannya hanya berada di satu lantai ruangan Reynald. "Baru ini yang bisa saya lakukan. Kalau butuh apa-apa, bisa langsung hubungi saya." Alika menunggu sebentar untuk memastikan Talita tidak temui kendala. Hanya satu meja, kursi, serta dua tumpuk dokumen saja sebagai pemandangan hari pertama Talita. "Nggak apa-apa, Mbak Alika. Aku sudah seneng dapat ruangan kerja begini." "Baiklah. Saya balik dulu ke meja. Pak Reynald sudah menunggu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja." "Iya. Tentu saja." Talita tunjukkan raut tenang, walaupun dalam pikiran bergemuruh. Untuk beberapa detik lamanya hanya bisa duduk diam, tak tahu harus melakukan apa. Memendarkan pandangan ke seluruh ruangan yan
"Baik, Mbak." Jawaban Talita sadar diri merasa yang salah. Berjongkok kembali untuk memungut, memilah tiap bagian dan halaman masing-masing dokumen. Memakan waktu lama, sekaligus harus merapikan ulang yang berserakan. "Eh, maaf. Ini kertasnya termasuk isi dokumen ya?" Seorang pegawai wanita mengambil dua kertas yang tak sengaja di injak sepatunya, sehingga meninggalkan jejak dan hampir berlubang. "Ini, Mbak. Tadi terbang, jadi nggak sengaja keinjek deh." Talita meraih kertas-kertas itu. Rasanya ingin luapkan kekesalan, tapi sadar dia hanya sebatas istri presdir yang tidak pernah di kenalkan. "Ya sudah, nggak apa-apa Mbak." Talita sabarkan diri, menerima bila ternyata harus mencari bagian di halaman mana kertas yang sudah tak layak pakai itu. Talita berencana meng-copy ulang. "Aduh, ini kan isi dokumen yang laporan bulanan pegawai itu. Mana aku nggak punya, sudah di bawa Mbak tadi," keluh Talita melihat ke kanan kiri, sekiranya akan bertemu pegawai wanita yang dia maksud. T
Pertemuan sudah di mulai. Talita berusaha memulai tiap pembicaraan yang tidak sepenuhnya dia mengerti. "Berikut adalah indikasi kesehatan perusahaan kami," jelas Reynald pada bagian kedua setelah penjabaran company profile. Deretan para petinggi di kantor, juga termasuk Wira dan jajarannya menyimak dengan seksama. "Untuk menyakinkan, saya minta manager keuangan menjelaskan lebih detailnya." Reynald perintahkan yang bersangkutan untuk lakukan tugasnya. Setelah beberapa menit berikan penerangan, sang menager keuangan kemudian berikan kesimpulan. "Saya akan senang bila kami bisa menjadi partner Tanjung, corp. dalam jangka waktu lama. Tapi aebagai salah satu orang yang sudah lama bekerja di perusahaan, saya punya harapan. Ini saya sampaikan juga atas masukan dari teman-teman lain." "Apa itu?' Semula, Reyanld sedang mentautkan kedua tangan, serius mendengarkan setiap penjelasan, tapi kemudian berganti menegakkan posisi duduknya. Reynald merasa ini bukan arahan yang dia berikan seb
"Pembawa sial?" lirih Talita tersedu di depan kaca wastafel. Kalau hinaan soal ketidakbecusannya dalam segala hal, masihlah bisa dia terima. Menjadi orang yang di buat seolah pembawa sial, tentu sangat menyakitkan hati. "Memang sepertinya aku pembawa kekacauan." Setelah kejadian seharian ini, Talita jadi minder dan tak punya keberanian kembali ke tempat acara. Walaupun menyadari akan membuat Wira dan juga istrinya, Lina kecewa, namun penambahan derita batin dari Reynald semakin tak bisa buatnya kuasa kembali. Melalui pintu belakang kantor, Talita benar-benar memutuskan untuk pergi. Bukannya meminta antar sopir seperti sewaktu datang, Talita ingin memesan taxi online saja seperti biasa. "Tolong agak di percepat, ya Pak." Permintaan Talita, kali ini tidak seperti biasanya. Tak pernah Talita ingin cepat pergi menjauh dari kantor yang di besarkan oleh ayahnya juga ini. Rasanya diri sudah terpental oleh hinaan suaminya sendiri. Pembawa sial. Sebutan yang terus memenuhi pikiran Ta
Malam harinya. Tempat melamun Talita berganti di tempat tidurnya. Memang Mario tidak mengungkapkan secara gamblang, bahkan setelahnya di selingi gelak tawa seolah sebuah candaan, tapi Talita tak mau memungkiri situasi sore itu. "Apa aku bisa mencintai pria lain selain Reynald?" Talita bertanya pada dirinya sendiri, tanpa bisa berikan jawaban. Suara air dari kamar mandi Reynald terdengar. Talita sengaja ciptakan suasana hening. Sayup-sayup Talita bisa pastikan ada suara wanita sedang berbicara dengan Reynald. Talita menoleh pada sisi dinding, dimana di perkirakan tempat kemungkinan Reynald dan Celine berada. Terdengar cekikikan manja wanita yang sedang mengandung anak dari suaminya itu. Hati Talita terkoyak, lalu putuskan segera berdiri menuju lemari pakaian. Satu koper berisi sebagian besar baju dan barang-barang masih tertata rapi di dalamnya kemudian di seret keluar. Talita melirik ke arah dinding perbatasan antara kamarnya dan Reynald, lalu teguhkan diri untuk segera per
Beberapa jam kemudian, setelah berbicara dengan Celine secara diam-diam. "Oke. Baiklah. Terpaksa aku setujui," gumamnya seraya mengeluarkan lagi koper yang semula sempat dia kembalikan ke bagian paling bawah dalam lemari wardrobenya. Talita lalu melongok ke arah jendela. Memastikan kalau Celine sudah memulai awal rencananya. Talita tak menyangka akan menuruti wanita bermuka dua yang berniat mengusirnya, tapi justru itulah yang dia harapkan kini. Suara mesin mobil terdengar di bagian depan jendela kamarnya. Itu adalah pertanda kalau dia harus segera turun dari kamar. Talita hela napas dalam, baru kemudian keluar dengan tunjukkan ekspresi biasa saja. Setelah melewati lorong menuju ke tangga, apa yang sudah dia duga terjadi. Saling menatap dengan sang tuan muda pemilik rumah tak bisa terelakkan. Bukan seperti biasanya, Talita berikan senyuman tipis. Cara yang terpaksa di lakukan demi bisa mencapai jalan keluar, menjauhi suaminya sendiri. *** Di tempat lain, setelah beberapa
"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?
"Apa? Kenapa dadakan?!" Dahi Mario berkerut. Tas koper kecil Talita kini jadi perhatiannya. "Kamu ke Indonesia cuma bentaran doang, kan?" tebaknya. "Iya. Nggak mungkin juga aku ijin nggak kuliah sama kerja part time lama-lama." Talita menutup resleting tas tentengnya. Memakai cara klasik ala-ala anak remaja, baru bercerita atau ijin bila mendekati hari yang di tuju. Berharap orang yang di pamiti tidak punya pilihan mencegah, selain harus menuruti. "Ada urusan apa ke Indonesia?" Mario bersandar pada lemari pantry dengan kedua tangan bertaut, satu kaki maju sebagai penopang. "Pak Wira minta aku datang, karena ada dokumen yang harus aku tanda tangani." "Pak Wira?" tanya Mario, tapi kemudian di jawab sendiri setelah teringat. "Oh, yang orang dari Tanjung, corp. itu?" "Iya, dia. Aku harus pergi ke bandara. Kamu nggak perlu anter, aku naik yellow cabs aja." Talita telah siap dengan kepergiannya. Dua tas yang di bawa merupakan cerminan harap Talita berkunjung ke Indonesia dalam wa
"Ada apa ini? Siapa dia, Talita?" Mario datang, berjalan cepat untuk memposisikan diri di antara Talita dan Robby. Bersiap pasang badan. Dari kejauhan sudah di lihatnya Talita tampak seperti sedang bersitegang dengan pria di hadapannya. Talita menuntut dirinya berpikir cepat, tapi setidaknya tidak sampai membuat gesekan dengan Mario. "Ehm, dia orang Indonesia. Kami nggak sengaja ketemu di perempatan situ. Hanya ngobrol, iya kan Pak Robby?" Mata Talita membulat penuh makna. Berharap Robby mengerti maksud drama yang sedang dia narasikan secara tersirat. "Iya. Saya Robby." Pria berpostur tinggi, tapi buncit pada perutnya menunjukkan sisa seorang pegawai keamanan, namun telah berstatus bapak-bapak. "Nggak sengaja ketemu Mbak Talita," penjelasan singkat Robby di sertai jabatan tangan berkenalan. "Oh, kamu kerja di New York?" "Iya, pastinya." "Dimana?" "Konsultan bisnis di salah satu gedung itu." "Oh, sudah lama?" Talita bergantian memperhatikan Robby dan Mario, ada sediki
Seharusnya jawabannya mudah. 'Iya, san aku juga mencintaimu.' Tapi tidak semudah itu buat Talita. Senyuman penuh harap pengertian dari Mario dia berikan. "Sabar. Kita bukan Reynald atau Celine. Aku ingin hubungan kita bisa terlepas dari bayang-bayang mereka dulu. Kamu tahu maksudku, kan?" "Maksudmu, kamu mau sudah benar-benar pegang status bercerai dari Reynald?" "Iya," sahut Talita membenarkan. "Tapi jangan kamu kira aku masih terbayang-bayang Celine. Nggak banget itu." "Kamu tahu kabar Celine sekarang? Apa dia masih aktif sosial media? Tahu sendiri, kan sekarang lagi hamil, apa dia berani tampil jualan produk kecantikan sama nge-vlog dalam kondisi begitu?" Mario kerutkan bibir, berpikir sebentar. "Hm, sepertinya sudah 2 bulanan ini dia nggak aktif. Isi sosmed dia cuma berisi iklan dan ada foto-foto terbaru, tapi cuma bagian wajah doang. Selebihnya, nggak ada live lagi." "Tuh, kan. Kamu aja kesannya masih kebayang-bayang mantan. Buktinya, tahu aja update-an sosmednya
Hari selanjutnya setelah jam pulang bekerja. Talita sudah berdiri menunggu Mario menjemput di depan cafe. Belum ada tanda-tanda keberadaan pria manis yang kini menjadi kekasihnya itu, sehingga Talita putuskan mengambil ponsel sebagai pengisi waktu. Terinspirasi gaya fashion kota modern New York, Talita sengaja tampil berbeda malam minggu ini. Atasan lengan panjang bergaya crop top, di padu rok jeans di atas lutut jadi pelengkap saat menata rambut panjangnya bergelombang besar di biarkan terurai. Talita sedang ingin mencari suasana baru dalam hidupnya. Sebuah notifikasi pesan mulai mengganggu Talita. Nama Wira tertera di sana. Penuh degupan kencang, Talita timang-timang ponsel. "Aku buka sekarang atau nanti ya?" gumaman bimbang Talita. Bisa saja dia hanya mengintip isi pesan dari pesan tersebut, dan membalasnya nanti-nanti. Selain itu ada pikiran untuk segera membuka dan membalasnya sebagai pencitraan baik. "Aku gugup kalau ketemu Pak Wira." Sisi rapuh Talita, tapi Tuhan selalu
Talita tarik tangan secara kasar dari genggaman Reynald. "Aku ... masih belum berani," ucap Talita baru satu anak tangga. "Aku masih dalam masa recovery." Keadaan medis jadi harapan Talita agar tidak berduaan saja dengan Reynald. "Masih suka sakit?" Dua kaki Reynald satu di bawah dan satu di anak tangga atasnya. Sempatkan berhenti untuk penuhi rasa ingin tahu. "Sudah tidak terlalu. Cuma kemarin malam sudah minum obat pereda nyeri, jadi aku nggak mau nanti terlalu tergantung sama pain killer kalau sakitnya kumat lagi." "Masih rutin kontrol, kan?" selidik Reynald. Talita gelengkan kepala. "Nggak lagi. Masih bisa aku atasi sendiri, karena itu harus hemat-hemat obat." "Kartu hitam itu, milik siapa?" "Kartu hitam? Yang mana?" Talita kerutkan dahi. "Aku pernah lihat kamu jatuhkan kartu hitam Kamu buat transaksi waktu kita ketemu di rumah sakit." "Oh itu ..." Talita hampir saja lupa dengan benda yang sudah di masukkan ke dalam kotak penyimpanan, dan tak pernah dia gunaka
"Itu hakmu." Setelah berikan jawaban, Reynald kembali berjalan. Langkahnya cepat lagi, tapi beberapa langkah berbalik. "Putar balik sana. Aku antar kamu pulang," perintahnya dingin. Keduanya berdiri berhadapan dalam kebekuan. Berikan waktu buat sepasang kekasih yang lewat. Dua sejoli warga New york itu awalnya bergandengan tangan, lalu berpelukan dan kemudian berciuman. Suasana canggung terjadi saat sang pria menyinggung lengan Reynald seraya berujar godaan. "Cium dia juga, Dude. Bawa pulang ke tempat tidurmu, jangan di tengah jalan begini." Reynald salah tingkah, jadi hanya senyum tipis buat jawaban. Setelah sejoli itu berlalu, ia angkat dagu tertuju pada Talita. "Keburu malam. Sudah berani kabur ke New York, masa pulang kerja malam dikit gitu malah takut," sindirnya. "Ngeselin!" Kedua pipi Talita menggelembung. Sepanjang langkah terus picingkan mata. Hatinya berat penuh kedongkolan. Memang sih, baru-baru ini bisa ekspresikan diri di hadapan Reynald, tapi kesannya kok b
"Maaf." "Apa?!" tanggap Sophie. Tubuhnya bergeser, mengintip ke tulisan dari secarik kertas dalam genggaman Talita. "Itu artinya apa?" Rasa ingin tahu Sophie. Bagaimana bisa satu kata, tapi bisa membuat Talita termenung lumayan lama. "Sorry. Itu artinya." "Oh, My God!" Sophie takjub. Selagi belum ada pengunjung baru masuk, Sophie bergeser menempel ke Talita. "Manis sekali. Dia juga sepertinya seorang gentleman. Apa hubungan kalian sangat spesial dulunya?" koreknya. Awalnya Talita ragu. Selama ini, yang jadi tumpuan curahan hati adalah Mario. Sejak tinggal di New York dan jauh dari Vani, memang berat buat Talita untuk menyimpan setiap kegalauan seorang diri. Tapi kini, ia berharap Sophie bisa jadi penggantinya. "Dia suamiku ... Sampai sekarang masih suamiku." "What!!" Sophie tutup bibirnya yang ternganga. "Karena itu kamu pernah bilang hubungan kalian berdua rumit?" Sorot simpati Sophie layangkan. "Iya," anggukan Talita. "Dan pria pengantar kamu tadi pagi? Siapa dia?"
Kau menjauh saat ku butuh. Kini, kamu mendekat saat pilar cintaku runtuh. Talita balik pergelangan kirinya. Jam bergelang silver menunjukkannya pada waktu. "Ini belum juga jam 5, kamu kok sudah datang ke sini?" Terlihat jelas, Talita sedang tidak bersahabat. "Aku sudah lapar," jawaban santai Reynald. "Apa yang harus aku makan kalau jam segini?" Di hadapannya telah tersuguh buku daftar menu, tapi Reynald tak sekalipun menyentuh, alih-alih membukanya. Talita berkacak pinggang. Wajahnya tertekuk, biburnya berkerut. "Kemarin malam-malam kesini, sekarang bahkan belum waktu lazimnya makan malam. Apa tunanganmu itu nggak kasih kamu makan? Atau restoran hotel kalian masih tutup? Urusan bisnis kita sudah selesai, kenapa kamu nggak juga balik ke Indonesia?" Bibir Reynald membuka, tubuhnya tergerak ke belakang seolah terkena imbas pusaran kemarahan Talita tepat di depan wajahnya ini. "Mbak. Aku pelanggan baru cafe ini. Masa cuma pesen makanan aja, pake di kasih bonus bentak-bentak