"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Meminta Celine ikut ke Amerika juga maksudmu?" Talita mengulang untuk memastikan. "Yes," sahutan santai Mario. Satu gulungan mi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. Talita menatap Mario untuk menilai ekspresi yang di tunjukkan. Meskipun terlihat dingin, tapi ada guratan lain di kedua matanya yang menunduk. Talita membava ada kekecewaan bertumpuk menjadi bola kebencian yang kapan saja bisa jadi bom waktu. "Kenapa? Kayaknya kamu sedih?" "Hah? Sedih?" Mario angkat wajah. Makanan yang semula ada di dalam mulutnya telah tertelan. "Nggak. Aku justru pengen Celine lihat bagaimana perubahan yang sedang kita usahakan." "Progessmu yang bagus, tapi aku belum." Berganti Talita menunduk, tersenyum geli merutuki diri. "Gimana-gimana, aku masih belum bisa di sepadankan dengan Celine, tahu!" ujarnya tegas. Tak mau terlalu ikut berandai bersama Mario. "Siapa bilang? Dengan kamu berani ambil sekolah bisnis di sini, sudah buktikan kalau ada kemajuan juga." Hampir saja Mario secara refle
"Nyonya Talita!" Semua pasang mata sontak menjadikan wanita muda dengan senyum mengembang itu menyambut berdiri. "Akhirnya. Saya sudah khawatir dengan kondisi anda, Nyonya." Wira meninggalkan kursi di ruangan private untuk memberi pelukan pada Talita. "Terima kasih, Pak Wira. Maaf kalau sudah buat khawatir." Talita sambut rangkulan kilat sebagai ungkapan pikiran Wira tidak kalah hangatnya. "Oh ya, kenalkan ini teman saya." Talita bergeser untuk berikan ruang pada Mario. "Selamat datang di New York, senang bertemu denganmu, Pak. Saya Mario." Wira mundur selangkah, memperhatikan sekilas penampilan Mario dan Talita di hadapannya. "Kalian berdua orang-orang yang luar biasa!" pekiknya senang. Meskipun belum tahu situasi seperti apa antara keduanya, tapi apa yang di kenakan keduanya sungguh membuat Wira kagum. "Wow. Saya seperti baru mengenal anda, Nyonya." Wira buru-buru menarik kursi di sampingnya untuk Talita, sedangkan Mario sengaja mencari meja lain. Setiap gerakannya berup
Sorot tajam Reynald pada Talita yang berdiri. Sudah kuasa bagi Talita bila harus terus di suruh menunggu aksi dan respon Reynald setelah permintaan cerainya tidak juga di gubris. "Talita. Duduk lagi. Jangan membuat gaduh. Ini bukan waktu yang tepat!" pinta Reynald tenang. Walaupun sikapnya tetap dingin, tapi kekaleman nada suaranya ini keluar setelah menyadari akan kedatangan Wira lagi. Begitu juga Talita. Terpaksa mengalah dengan menghela napas terlebih dulu, baru kemudian menuruti untuk duduk lagi. Wira seperti sosok yang seringkali jadi pembatas mereka berdua untuk berargumen lebih jauh. "Ada apa?" Tak di sangka Talita dan Reynald, Wira mencurigai akan adanya situasi tertentu. "Apa anda mau ke toilet juga, Nyonya?" Seperti biasa, Wira akan lebih perhatian terlebih dulu pada Talita. "Oh, tidak apa-apa Pak Wira. Saya cuma ... merapikan baju," sahut Talita. Sempat kebingungan, tapi jadi terpikir soal penampilan meski gelagapan sedikit. "Anda masih terlihat cantik, jadi nggak
Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
"Kamu memang cantik, tapi tidak akan pernah seperti Celine. Tidak pernah!" Netra Talita berkilat. Sentuhan tangan Reynald, suaminya, yang sudah terlepas dari dagunya adalah awal dari tekanan batinnya kali ini. Sudah berusaha keras memulas wajah dengan persiapan beberapa hari sebelumnya, masih saja tak menarik perhatian suaminya itu. Malam ini adalah pesta rutin tahunan perusahaan keluarga Christopher dalam rangka penghormatan kepada para kolega dan pemegang sahamnya. Setelah kematian Reymond Christoper setahun yang lalu, secara estafet tapuk pimpinan otomatis beralih pada Reynald, putra sulungnya."Aku sudah selesai. Tinggal memilih kalung mana yang cocok. Bantu aku ya. Tunggu sebentar." Talita berusaha kesampingkan harga dirinya yang sudah seperti tak bernilai lagi di hadapan Reynald dengan berbalik. Talita berniat mengambil 2 benda dari mutiara itu untuk di tunjukkan pada Reynald."Itu hanya hal kecil bagi wanita, tapi kenapa seperti sesuatu yang berat buatmu?" Tak habis pikirn
"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi." Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil den
Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
Sorot tajam Reynald pada Talita yang berdiri. Sudah kuasa bagi Talita bila harus terus di suruh menunggu aksi dan respon Reynald setelah permintaan cerainya tidak juga di gubris. "Talita. Duduk lagi. Jangan membuat gaduh. Ini bukan waktu yang tepat!" pinta Reynald tenang. Walaupun sikapnya tetap dingin, tapi kekaleman nada suaranya ini keluar setelah menyadari akan kedatangan Wira lagi. Begitu juga Talita. Terpaksa mengalah dengan menghela napas terlebih dulu, baru kemudian menuruti untuk duduk lagi. Wira seperti sosok yang seringkali jadi pembatas mereka berdua untuk berargumen lebih jauh. "Ada apa?" Tak di sangka Talita dan Reynald, Wira mencurigai akan adanya situasi tertentu. "Apa anda mau ke toilet juga, Nyonya?" Seperti biasa, Wira akan lebih perhatian terlebih dulu pada Talita. "Oh, tidak apa-apa Pak Wira. Saya cuma ... merapikan baju," sahut Talita. Sempat kebingungan, tapi jadi terpikir soal penampilan meski gelagapan sedikit. "Anda masih terlihat cantik, jadi nggak
"Nyonya Talita!" Semua pasang mata sontak menjadikan wanita muda dengan senyum mengembang itu menyambut berdiri. "Akhirnya. Saya sudah khawatir dengan kondisi anda, Nyonya." Wira meninggalkan kursi di ruangan private untuk memberi pelukan pada Talita. "Terima kasih, Pak Wira. Maaf kalau sudah buat khawatir." Talita sambut rangkulan kilat sebagai ungkapan pikiran Wira tidak kalah hangatnya. "Oh ya, kenalkan ini teman saya." Talita bergeser untuk berikan ruang pada Mario. "Selamat datang di New York, senang bertemu denganmu, Pak. Saya Mario." Wira mundur selangkah, memperhatikan sekilas penampilan Mario dan Talita di hadapannya. "Kalian berdua orang-orang yang luar biasa!" pekiknya senang. Meskipun belum tahu situasi seperti apa antara keduanya, tapi apa yang di kenakan keduanya sungguh membuat Wira kagum. "Wow. Saya seperti baru mengenal anda, Nyonya." Wira buru-buru menarik kursi di sampingnya untuk Talita, sedangkan Mario sengaja mencari meja lain. Setiap gerakannya berup
"Meminta Celine ikut ke Amerika juga maksudmu?" Talita mengulang untuk memastikan. "Yes," sahutan santai Mario. Satu gulungan mi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. Talita menatap Mario untuk menilai ekspresi yang di tunjukkan. Meskipun terlihat dingin, tapi ada guratan lain di kedua matanya yang menunduk. Talita membava ada kekecewaan bertumpuk menjadi bola kebencian yang kapan saja bisa jadi bom waktu. "Kenapa? Kayaknya kamu sedih?" "Hah? Sedih?" Mario angkat wajah. Makanan yang semula ada di dalam mulutnya telah tertelan. "Nggak. Aku justru pengen Celine lihat bagaimana perubahan yang sedang kita usahakan." "Progessmu yang bagus, tapi aku belum." Berganti Talita menunduk, tersenyum geli merutuki diri. "Gimana-gimana, aku masih belum bisa di sepadankan dengan Celine, tahu!" ujarnya tegas. Tak mau terlalu ikut berandai bersama Mario. "Siapa bilang? Dengan kamu berani ambil sekolah bisnis di sini, sudah buktikan kalau ada kemajuan juga." Hampir saja Mario secara refle
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa jam kemudian, setelah berbicara dengan Celine secara diam-diam. "Oke. Baiklah. Terpaksa aku setujui," gumamnya seraya mengeluarkan lagi koper yang semula sempat dia kembalikan ke bagian paling bawah dalam lemari wardrobenya. Talita lalu melongok ke arah jendela. Memastikan kalau Celine sudah memulai awal rencananya. Talita tak menyangka akan menuruti wanita bermuka dua yang berniat mengusirnya, tapi justru itulah yang dia harapkan kini. Suara mesin mobil terdengar di bagian depan jendela kamarnya. Itu adalah pertanda kalau dia harus segera turun dari kamar. Talita hela napas dalam, baru kemudian keluar dengan tunjukkan ekspresi biasa saja. Setelah melewati lorong menuju ke tangga, apa yang sudah dia duga terjadi. Saling menatap dengan sang tuan muda pemilik rumah tak bisa terelakkan. Bukan seperti biasanya, Talita berikan senyuman tipis. Cara yang terpaksa di lakukan demi bisa mencapai jalan keluar, menjauhi suaminya sendiri. *** Di tempat lain, setelah beberapa
Malam harinya. Tempat melamun Talita berganti di tempat tidurnya. Memang Mario tidak mengungkapkan secara gamblang, bahkan setelahnya di selingi gelak tawa seolah sebuah candaan, tapi Talita tak mau memungkiri situasi sore itu. "Apa aku bisa mencintai pria lain selain Reynald?" Talita bertanya pada dirinya sendiri, tanpa bisa berikan jawaban. Suara air dari kamar mandi Reynald terdengar. Talita sengaja ciptakan suasana hening. Sayup-sayup Talita bisa pastikan ada suara wanita sedang berbicara dengan Reynald. Talita menoleh pada sisi dinding, dimana di perkirakan tempat kemungkinan Reynald dan Celine berada. Terdengar cekikikan manja wanita yang sedang mengandung anak dari suaminya itu. Hati Talita terkoyak, lalu putuskan segera berdiri menuju lemari pakaian. Satu koper berisi sebagian besar baju dan barang-barang masih tertata rapi di dalamnya kemudian di seret keluar. Talita melirik ke arah dinding perbatasan antara kamarnya dan Reynald, lalu teguhkan diri untuk segera per
"Pembawa sial?" lirih Talita tersedu di depan kaca wastafel. Kalau hinaan soal ketidakbecusannya dalam segala hal, masihlah bisa dia terima. Menjadi orang yang di buat seolah pembawa sial, tentu sangat menyakitkan hati. "Memang sepertinya aku pembawa kekacauan." Setelah kejadian seharian ini, Talita jadi minder dan tak punya keberanian kembali ke tempat acara. Walaupun menyadari akan membuat Wira dan juga istrinya, Lina kecewa, namun penambahan derita batin dari Reynald semakin tak bisa buatnya kuasa kembali. Melalui pintu belakang kantor, Talita benar-benar memutuskan untuk pergi. Bukannya meminta antar sopir seperti sewaktu datang, Talita ingin memesan taxi online saja seperti biasa. "Tolong agak di percepat, ya Pak." Permintaan Talita, kali ini tidak seperti biasanya. Tak pernah Talita ingin cepat pergi menjauh dari kantor yang di besarkan oleh ayahnya juga ini. Rasanya diri sudah terpental oleh hinaan suaminya sendiri. Pembawa sial. Sebutan yang terus memenuhi pikiran Ta