Awalnya Evelyn menyangka jika surat tersebut berisi ujaran kebencian yang ditujukan untuknya dan Kelvin. Namun, kenyataan ternyata berbanding terbalik."Apa seseorang sedang mengerjaiku?" Evelyn hanya menggelengkan kepala, lalu membuang kertas itu ke ke tempat sampah di dalam toko.Semula Evelyn berusaha untuk tidak ambil pusing dengan surat tersebut. Namun, setelah beberapa hari malah bermunculan surat-surat lainnya dengan isi yang tak jauh berbeda dengan sebelumnyaEvelyn pun menceritakan hal tersebut pada Andi karena ia semakin merasa tidak nyaman dengan surat-surat yang terus berdatangan."Sejak kapan hal itu terjadi, Kak Evelyn?" Wajah Andi tampak begitu serius. Ia merasa tidak nyaman dengan orang yang mengirimkan surat pada Evelyn."Sejak saat kita pulang dari taman bermain waktu itu," terang Evelyn."Apa kakak sudah menceritakannya pada Pak Sean"Belum, aku takut menambah beban pikiran Sean"Evelyn tertunduk lesu, bukan ia tak ingin berbagi cerita dengan Sean, tapi pria itu se
Evelyn benar-benar tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. Semula ia berpikir jika kurir hanya mengantarkan satu pizza saja, tetapi kenyataannya yang datang malah satu mobil dipenuhi kotak pizza."Wow, lautan pizza," ucap Kelvin sambil berlari ke arah mobil tersebut.Evelyn mengikuti Kelvin sambil kebingungan, bagaimana caranya menghabiskan pizza sebanyak ini? Hal tersebut yang terus terbesit dalam pikirannya."Tolong tanda tangan disini!" Kurir tersebut menyodorkan sebuah kertas.Kertas tersebut ternyata berisi tagihan total dari semua pizza di dalam mobil. Melihat kertas itu, Evelyn pun lagi-lagi dibuat terkejut. Ia mendadak lemas, merasa dikerjai oleh Sean."Apa aku bisa membatalkannya?" Evelyn terlihat begitu panik. Ia tidak mungkin menggunakan kartu kredit Sean untuk hal yang tidak perlu.Evelyn khawatir jika nantinya akan ditanyai soal pengeluaran kartu kredit tersebut. Padahal kenyataannya Sean tak sedikit pun memiliki pikiran seperti itu.Di tengah rasa panik Evelyn,
Kelvin dan Evelyn saling pandang. Mereka berdua benar-benar tengah kebingungan, tidak mengerti dengan apa yang Sean maksud."Ibu, ini kunci apa?" tanya Kelvin seraya mendongak, menatap Evelyn.Evelyn mengambil kunci tersebut lalu mengamatinya."Ini kunci rumah. Jadi apa maksudmu, Sean?" tanya Evelyn yang sedang merasa sangat penasaran.Namun, bukannya menjawab, Sean malah langsung menggendong Kelvin, lalu menuntun Evelyn keluar dari toko.Evelyn hanya menurut dan mengikuti Sean sambil bertanya-tanya dalam hati.Sean langsung mengendarai mobil menuju ke jalan utama yang tidak jauh dari toko."Mulai sekarang kalian akan tinggal di rumah ini. Aku juga sudah menyediakan kamar untuk Nyonya Merry," terang Sean dengan santainya, tanpa sadar jika Evelyn tengah merasa terharu karena perhatiannya."Tapi … ini terlalu besar." mata Evelyn membesar saking terkejutnya melihat villa tiga lantai yang selama ini hanya bisa dilihat dengan rasa kagum saat melintasi jalan tersebut."Tidak masalah, aku ha
Dengan ekspresi terkejut, Evelyn langsung mengambil kertas tersebut dan berusaha mengamatinya dengan detail."Bagaimana mungkin. Dari mana kamu mendapatkan ini?" Evelyn menatap Sean, lekat."Masih tidak mau mengaku?" Wajah Sean merah padam, terlihat jelas jika emosinya tengah meledak-ledak, tetapi tertahan mengingat ada Kelvin di sana.Evelyn masih berusaha mengamati lagi surat itu berulang kali. Namun tetap saja, tulisan di dalamnya begitu persis dengan tulisan tangan Evelyn."Aku tidak pernah membalas surat yang bahkan pengirimnya saja aku tidak tahu!""Lalu apa ini? Maksudmu, aku mengarang cerita?" Sean Masih berusaha menekan emosinya, terlebih saat Kelvin mulai memperhatikan mereka.Evelyn menjadi tersulut emosi, tak merasa melakukan sesuatu yang dituduhkan oleh Sean. Terlebih, pria itu seakan menuntut untuk mengakui hal yang tak diperbuat oleh Evelyn."Key tunggu di sini dulu, Ibu dan Ayah ingin berbicara sebentar." Evelyn memegang bahu Kelvin seraya menatapnya lekat, berharap ji
Kelvin memandangi kedua orang tuanya satu persatu. Ia hanya bisa melirik tanpa mengatakan apapun. Tatapan matanya begitu memancarkan kebingungan, lagi pula seorang anak kecil pasti menginginkan kedua orang tuanya, dibanding harus memilih salah satu."Kamu sudah keterlaluan! Jangan buat Kelvin terbebani dengan pilihan seperti itu!" Sean menatap Evelyn lekat.Evelyn tahu jika apa yang dilakukannya akan membuat Kelvin tertekan. Namun bagaimanapun ia tidak ingin jika sampai harus kehilangan Kelvin kalau saja suatu saat pernikahannya kandas hanya karena sebuah kepercayaan. Dan juga perempuan itu yakin jika sang anak akan lebih memilih dirinya dibanding ayah kandung yang belum lama masuk ke dalam kehidupan mereka."Key tidak mau satu. Key mau Ayah dan Ibu," ujar Kelvin dengan mata berkaca-kaca. Meski ia sangat ingin bersama ibunya, tetapi bocah itu juga tidak ingin berpisah dengan sang ayah setelah sekian lama penantian.Dada Evelyn terasa sesak, hati kecilnya masih sangat menginginkan sebu
Evelyn terpaku, tak mengatakan apa pun. Ia juga terlihat begitu terkejut, entah apa yang baru saja didengarnya.Merasa kesal dengan si penelepon, Sean pun langsung merebut ponsel Evelyn."Halo, siapa ini?" tanya Sean dengan nada meninggi."Ini aku! memangnya kenapa?"Sean langsung tahu jika orang yang menelepon tersebut adalah sang ayah, Adam Peterson."Apa yang Ayah lakukan? Kenapa menelepon Evelyn segala?" Sean semakin merasa tidak nyaman dengan sikap sang ayah."Karena kamu tidak mengangkat teleponku.""Dari mana Ayah tahu nomor ini?" Sean mengepalkan tangannya, kesal dengan perbuatan sang ayah yang sampai mengusik kehidupan Evelyn."Aku bisa melakukan apa pun yang kumau. Jadi tetaplah menurut sebelum kamu menyesal!" ancam Adam dengan nada penuh intimidasi.Kepalan tangan Sean semakin kuat, jika Adam bukan ayahnya, sudah sejak lama ia akan menghajar pria itu dengan sekuat tenaga."Apa yang Ayah inginkan?""Cepat pulang! Besok akan diadakan pertemuan dengan keluarga besar William."
Dengan rasa penasaran Evelyn bergegas menuju keluar, menemui orang yang menurut pelayan sedang menunggunya.Tanpa merasa curiga atau pun berpikiran buruk, Evelyn langsung membuka pintu sesaat setelah sampai di depan.Di luar sudah berdiri seorang perempuan yang mengenakan kacamata dengan rambut kuncir satu. Ia tampak seperti seorang karyawan kantoran dengan kemeja putih dan rok pendek hitam melengkapi penampilannya."Maaf apa Anda mencari saya?" tanya Evelyn seraya memandangi perempuan itu lekat, berusaha mengingat jika mungkin ia pernah mengenalnya.Perempuan itu langsung mengeluarkan sebuah kartu, lalu menyerahkannya pada Evelyn tanpa ekspresi apapun."Ada uang satu miliar di dalam kartu debit ini. Tuan Adam meminta saya untuk menyampaikan pada Anda agar bisa segera menjauhi Tuan Muda," terang perempuan itu seraya menatap Evelyn tajam.Evelyn diam terpaku. Merasa heran mendengar ucapan perempuan yang baru saja ditemui itu. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal tersebut dengan begitu
Evelyn mulai sedikit mengiris pergelangannya. Meski rasa putus asa itu begitu besar, tetap saja masih ada keraguan di hatinya. Saat itu tiba-tiba terbayang wajah Kelvin yang sedang tersenyum.Di tengah kebimbangannya tersebut, pintu kamar Evelyn terbuka begitu keras. Sambil berjalan tertatih Merry langsung menuju ke arah perempuan yang tengah berusaha mengakhiri penderitaannya itu.Dengan sigap, Merry menepis lengan Evelyn, membuat pisau yang berada dalam genggaman langsung terjatuh seketika."Apa yang kamu lakukan, Evelyn?" Merry meraih tisu dan menutup luka kecil yang dihasilkan oleh pisau barusan."Aku sudah lelah dengan semua ini. Kenapa aku tidak boleh bahagia?" Evelyn menatap Merry nanar, sorot matanya begitu menunjukkan rasa putus asa.Seketika air mata Merry menetes, menyusuri kulit keriputnya."Apa kamu tega meninggalkanku? Hanya kamu dan Kelvin lah yang aku miliki saat ini." Merry memeluk Evelyn dengan begitu erat sambil mengusap rambut dengan penuh kasih sayang."Tapi, Kel