Di sebuah sekolah, terlihat Devi tengah mengantarkan putrinya memasuki sebuah lokasi elit di daerah itu. ia dengan bangga memperkenalkan Sarma pada teman-temannya.
Walau Joe memang melarang, namun ketika pria itu tak sedang berada di sana, ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan.Baginya, jika sudah terlanjur, maka mungkin pria itu tak akan terlalu marah lagi.Tatkala ia dan Sarma tengah berbincang hangat mengenai sekolah itu di taman, seseorang menepuk bahunya. Ia amat sangat terkejut.“Siapa, ya?” tanyanya pada pria berjenggot itu kemudian memeluk Sarma dengan erat.“Bukan orang jahat, kok. Robby. Teman kerja kamu dulu di kepoli-““Robby? Hahaha ... masih ingatlah. Apa kabar kamu sama teman-teman di sana?” balas Devi segera menangkap perkenalan itu.“Seperti yang kamu lihat. Baik-baik saja, Dev. Semuanya aman.”Devi terlihat senang dengan pertemuan itu. ia dan Robby beserta anak masing-masing ke luar bersama menSarah yang memang sangat suka berpetualang seolah kembali menemukan arah hidup yang sesungguhnya. Ia yang biasanya tak pernah bersemangat berada di rumah, kini mulai memperhatikan keadaan.Ia bahkan bangun lebih awal dari biasanya. Menyiapkan makanan sang ibu yang tengah sakit, dan meramu obat yang memang seharusnya dikonsumsi.“Kamu mau pergi lagi?” tanya sang ibu ketika gadis itu sudah menyiapkan mandinya di jam 6.“Iya, Mam. Jalan-jalan sebentar. Nanti sore pulangnya. Gapapa, kan?”Wanita itu diam mematung di tempatnya. Sebentar? Pulangnya sore? Apa itu masih sebentar?Begitulah isi pikirannya sekarang. Ia tak kuasa memberi jawaban dan berjalan menjauh dari tempat itu.“Mam, nggak mungkin dong, aku nggak bisa ke luar menikmati-““Iya, pergilah.” Memotong pembicaraan putrinya kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu.“Okey. Thanks.” Sarah terlihat santai dengan sikap sang ibu lalu melanjutkan kegiatannya.
Oleh karena rasa penasaran yang teramat, Jordhy membuka surat itu secara perlahan di kamarnya. Sesaat ia terdiam dengan nama si pengirim. Hal itu berhasil membuat detak jantungnya berdenyut begitu kencang. suara detaknya bahkan bisa ia dengar walau di luar sana ada kegiatan yang cukup berisik.Membaca surat secara perlahan membuat perasaannya tak bisa tenang. Ia menangis sekarang. Ia benar-benar mengeluarkan air mata penuh haru itu.Terlebih ketika mendapatkan foto masa kecilnya dengan sang ibu yang wajahnya disamarkan. Ia sadar jika hal itu adalah usaha untuk menjauhkan dirinya dari ancaman.Kini, ia segera tau jika ibunya benar-benar masih ada. Ia hanya perlu waktu seperti yang disarankan pengirim surat untuk saling bertemu.“A big-el. Abigael,” ucapnya memperbaiki tulisan itu semakin menangis.Ia memejamkan matanya lalu meminta dalam hati agar segera bertemu kembali dengan sang ibu.Tok! Tok! Tok!Suara ketu
Setelah investigasi yang cukup panjang, Jordhy akhirnya sampai di titik tau segalanya. Ia mendapatkan informasi yang sangat akurat setelah melakukan penyelidikan panjang bersama Rein.Miko adalah bagian dari komplotan itu. Komplotan dari lima orang penjahat yang telah menghancurkan keluarganya.Kini, ia telah berada di sel untuk menemui Miko yang terlihat sangat santai dan menyambutnya. Namun, bukan dengan sambutan baik.Cuih! Iya, Miko meludahi wajah Jordhy yang tampak santai menghadapinya.“Kamu kan bagian dari penjahat tidak punya hati itu?”Miko kembali tertawa sambil menatap angkuh ke arah Jordhy. Ia mengacungkan jari tengahnya kali ini.“Jadi, kau keturunan dari keluarga tidak beruntung itu?”Pernyataan yang sebenarnya sangat membuat Jordhy murka. Namun, sebisanya ia tahan dan tetap bersikap tenang.“Kenapa hanya diam? Kalau tidak mau bicara lagi. Aku pergi nih sekarang,” kata Miko melanjutkan kata-katanya.Jordhy tetap diam sampai akhirnya Miko benar-benar pergi dari hadapannya
Bunga yang sudah tidak tahan ingin bertemu putranya, pun memberanikan diri untuk bergerak sendiri. Sesungguhnya, ada rasa takut yang amat besar mendera.Namun, rasa cintanya pada sang putra masih lebih besar. Ia dengan segala keberaniannya, pun menyamar menjadi pedagang.“Aku baru sadar kalau desa ini sudah seperti desa berhantu saja,” gumamnya yang tak sengaja didengar oleh orang-orang di sana.“Hush! Jangan begitu, Bunga. Jika niatmu hanya ingin jalan-jalan, maka niatkan saja dirimu untuk itu. Jangan membahayakan semua orang hanya karena nekatmu yang tak berarti,” sahut teman seperjuangannya.Bunga menutup mulutnya rapar-rapat, sungguhlah ia merasa takut sekarang. tak sedikit pula yang akhirnya menatap aneh padanya.Singkatnya, ia sudah berada di pasar bersama orang-orang itu sekarang. dengan segala usaha dan tekad, ia pun berhasil menjajakan dagangannya.“Masih ada waktu dua jam sebelum kita kembali, kamu boleh jalan-jalan,” kata seorang ibu yang sebelumnya memberi peringatan padan
Joe memasuki sebuah bar yang lumayan private dan tertutup dari khalayak umum. Memang itulah yang menjadi tempat perkumpulan bagi mereka yang berurusan di dunia gelap.Pria itu mengerahkan cukup banyak anak buah untuk menjaga mereka dari gangguan. Terlihat jelas jika beberapa orang mendatangi tempat itu sekarang.“Ada apa memanggilku kemari? Langsung saja,” kata pria itu dengan cepat.“Jangan buru-buru, tenang saja. Duduklah dulu. Tidak akan ada polisi yang datang ke sini,” terang pria itu.“Rahasia kelam 14 tahun yang lalu, masih tersimpan rapi, kan?” tanyanya lagi.Pria itu menatap ke segala arah, memastikan tidak ada alat perekam. Untuk berjaga-jaga sebab ia dan Joe sudah memiliki jalannya masing-masing.Mereka memanglah teman, tapi itu dulu.“Hei, jawab!” titah Joe berbisik namun dengan nada yang penuh dengan penekanan.“Iya, aman. Semua masih aman.”Joe menganggukkan kepalanya. Ia sungguh merasa senang sekarang. namun, segera saja ia melanjutkan menerangkan tujuan sebenarnya menga
“Pagi semua,” sapa Jord ketika bangun lebih awal dan memang sudah memainkan laptopnya di dekat kolam.“Hm.” Joe membalas dengan santai sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit lembab.“Di mana dia?” tanya Jord merujuk pada anak pamannya itu.“Tau tuh, tanyain sendiri sama tantemu.” Joe menjawab dengan nada ogah-ogahan.“Ini makan buah dulu,” kata Devi sembari menyajikan buah yang telah dipotong. “Dia lagi belajar menari di kamarnya. Bakatnya memang disitu.”“Bagus dong.” Jord memuji.“Bagus apanya? Devi, kamu ga usah sok berbangga seperti itu. Hobinya ga sesuai dengan pekerjaan di rumah ini. Asah dong otaknya buat belajar. Mau jadi apa dia besar nanti? Selebgram?” Devi dan Jord saling menatap. Pria itu terlalu cerewet yang tak bisa mereka lawan.“Siapa namanya, Tante?” tanya Jord yang segera dihampiri oleh gadis kecil itu.Nyatanya ia sudah cukup peka terhadap keadaan di rumah itu. Ia yang tak ingin ayahnya marah, pun harus menyelesaikan sesi latihannya.“Sarma Allesia,” ujarnya den
Jord memang sudah dengan keputusannya, mencari tau secara perlahan pelaku yang dicari-cari. Tiga nama sudah tercatat di tangannya.“Aku akan berikan apapun yang kamu mau kalau bisa ngasih tau siapa dalang dibalik semua ini,” katanya pada Miko—sang pembunuh putranya sendiri.“Tidak semudah itu ferguso.”“Shit!”“Hei, apa kau sedang mengumpatku? Usiamu berapa memang? Tidak pantas sama sekali.”“Apa bedanya dengan perbuatanmu? Membunuh ayahku, dengan tega pula membunuh putramu sendiri.”Setelah mendengar umpatan dan ledekan itu, Miko segera memilih untuk kembali ke selnya. Ia seolah tidak senang setiap membahas pembunuhannya di masa lalu.Ada begitu banyak pertanyaan yang tersirat di otaknya namun tak bisa ia pastikan.Setelahnya, ia bergerak menuju pasar di desa itu. Ia memang hendak membelikan beberapa barang pesanan Alma pagi tadi.“Itu bukannya yang kemaren bareng Om Joe, ya?” gumamnya sambil mengikuti orang itu setelah menggantungkan barang bawaannya di motor.Ia terhenti di sebuah
“Sejak kapan lo suka sama Sarah?” tanya Leo pada putranya yang sedang bermalas-malasan di sofa di ruang TV.Anak muda itu terlihat tidak begitu akur dengan sang ayah, begitulah ia bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya.“Lo bisa sopan? Kai, duduk!” titah sang ayah.Walau masih kesal, Kai menurut. Ia menatap sang ayah dengan penuh kebencian.“Di mana Mami?” tanyanya.“Gue nanyain elo, sejak kapan suka sama Sarah?”“Ayolah, ga semua masalah di hidupku jadi urusan Papi.” Kai mengangkat kedua bahunya. Ia benar-benar heran dengan sikap sang ayah.“Gue ga suka dengan gadis itu. Dia ga cocok jadi pasangan lo.”“Papi, sudah ya, urus saja urusan papi sendiri. Aku mau nanya sekarang, kenapa mengundurkan diri dari pekerjaan papi sebagai pejabat? Kalo temen-temenku tau, aku harus bilang apa? Sarah juga pasti nanyain.”“Semua yang terjadi pasti punya alasan masing-masing. Itu sebabnya gue ga suka sama Sarah, dia terlalu kepo. Kalau sampai dia berani mengorek-ngorek tentang gue, kreeek ...” Meng