Bug' Tubuh Agatha dilempar kasar oleh Nail ke atas ranjang. Setelah itu, dia langsung mengambil tempat di atas Agatha. "Lima tahun kau meninggalkanku dan putra kita, Tata," ucap Nail dengan nada serak dan berat, membelai wajah Agatha dengan gerakan lembut akan tetapi erotis secara bersamaan. Maniknya menghunus dalam, berkabut gairah dan hasrat. Gerakan-gerakan pemberontakan yang Agatha berikan kian membakar dirinya, membuatnya semakin menginginkan Agatha. Feromon Agatha menguar dan pekat, menguat Nail semakin sulit mengendalikan diri. "Seandainya aku tak memancingmu datang, mungkin kau tidak berniat kembali," lanjut Nail, mendekatkan wajah pada Agatha. "Ck." Agatha berdecak kesal. Sejujurnya itu ia lakukan untuk menutupi perasaan gugup yang melanda dirinya. "Berhenti bersikap sok mencintaiku, berhenti bersikap lembut. Kau pria jahat! Aku sangat membenci-- hummfff!" Ucapan Agatha seketika berhenti karena Nail tiba-tiba meraup bibirnya. Agatha berusaha keras mendorong dan menolak,
"Aku tidak mau terjebak selamanya dengan pria kejam itu!" Agatha tengah mengikat sprei yang akan ia gunakan untuk turun dari balkon. Dia berniat kabur dari rumah mewah nan megah ini. "Cih, akal-akalannya saja ingin mempertemukanku dengan Sagara. Kenyataanya apa? Dua jam dia pergi tetapi sampai sekarang dia tak kembali. Nail brengsek!" Apa gunanya rumah ini mewah dan besar jika tempat ini hanya akan menjadi penjara bagi Agatha? Dan pria itu kembali akan menjeratnya, Nail akan memperbudaknya. Agatha tak ingin hidup dengan Nail lagi, dia tak mau terperangkap lagi oleh cinta Nail yang sesat. Hanya penuh kepalsuan! Setelah mengingat sprei, Agatha menurunkannya di balkon. Dia melihat sampai mana sprei tersebut bisa mencapai dasar. Ternyata masih tak sampai dan tak menyentuh dasar, akan tetapi Agatha rasa dia bisa melompat setelah itu. Agatha lebih dulu melempar koper ke bawah kemudian disusul olehnya yang turun. Di sisi lain, Nail dan Sagara telah sampai ke rumahnya. Nail berniat
Sagara rasa suka pada sosok ini. Sedangkan Agatha, dia mengerjap beberapa kali ketika melihat sosok anak kecil yang berdiri di pinggir teras. Anak kecil itu tengah menatapnya sangat lekat dan intens. Cih, pasti anak ini jatuh cinta pada kecantikan sang Agatha. "Aku memang calon bintang. Cih," gumam Agatha pelan, buru-buru meraih kaca mata hitam lalu mengenakannya. Tak lupa ia mengibas rambut, supaya anak kecil itu semakin terpesona padanya. Namun, baru sana tebar pesona, suara teriakan marah terdengar dari atas. Agatha langsung panik seketika. "AGATHA ADITYA MELVIANO!" marah Nail dengan berteriak dari atas. Wajahnya merah padam, pertanda jika dia sangat gusar. Setelah berbicara lewat telepon dengan papanya, Nail segera ke atas untuk memanggil Agatha. Akan tetapi apa yang dia temukan sangat membuatnya marah. Perempuan itu berniat kabur! Agatha mendongak ke atas, membelalak dengan raut muka pucat pias dan tubuh tegang. Jantungnya berdebar sangat kuat dalam sana. Meliha
Agatha pucat pias, menggelengkan kepala karena takut pada Nail. Agatha melangkah mundur saat Nail berjalan ke arahnya, dia tak ingin tertangkap oleh Nail lalu kembali dalam penjara pria ini. Cukup lima tahun yang lalu dia tertipu oleh pesona dan cinta palsu pria ini. "Ti-tidak! Jangan me--mendekat!" pekik Agatha panik, berusaha mundur akan tetapi tepat di belakangnya ada sebuah rak sehingga Agatha tak dapat mundur. "Aku tidak mau. Lepaskan aku!" pekik Agatha saat Nail mencengkeram pergelangan tangannya. "Bukankah lima tahun adalah waktu yang cukup lama, Tata?! Seharunya kau telah puas bermain di luar sana." Nail berkata dingin, menyentak tangan Agatha sehingga perempuan itu berakhir menabrak dada bidangnya. 'A-apa dia mengungkit masalah uang yang kucuri?' Agatha membatin, kembali menggelengkan kepala karena tak ingin bersama Nail lagi. "U-uang? Okey, aku akan mengembalikan uang yang kubawa kabur. A-aku mampu membayarnya. Tapi …-" Agatha mengigit bibir bawah, mendongak dan menata
"Mommy, bisakah Sagara memeluk Mommy?" pinta anak itu setelah melepas ikatan di tangan dan kaki mommynya. Agatha tertegun, menatap kaget dan tak percaya pada putranya. Dengan ragu dia menganggukkan kepala, merentangkan tangan supaya Sagara datang memeluknya. Sagara langsung berhambur ke pelukan Agatha, membuat Agatha terhuyung. Untung tubuhnya yang akan ambruk ditahan oleh kepala ranjang. "Sagara merindukan Mommy. Sagara sangat menyayangi Mommy." Sagara berucap pelan, suaranya lemah karena terlalu merindukan mommynya. Sekarang Sagara senang, dia bisa merasakan pelukan mommynya yang terasa hangat dan nyaman. "Mommy juga merindukanmu dan … Mommy jauh lebih menyayangi Sagara. Maaf … Mommy meninggalkanmu di sini, karena Mommy tidak bisa membawamu ikut meskipun Mommy sangat ingin," ucap Agatha, memeluk erat Sagara, dia juga menghujani wajah putranya dengan kecupan lembut. Agatha sangat senang bertemu dengan putranya. "Jika begitu … bertahanlah di sini dengan Sagara. Jangan pergi
"Pencuri!" pekik gadis kecil yang sepertinya terlihat berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Aku? Pencuri?" Agatha tak percaya dengan anak kecil tersebut. Kecil-kecil menyebalkan! Sikapnya angkuh, seolah dialah pemilik rumah ini. "Heh, kamu ini siapa?! Jangan asal menuduh karena super star sepertiku tidak mencuri. Kalau aku pencuri, barulah aku mencuri. Tapi aku super star, bukan pencuri." "Kilana mau gelang itu. Cepat!" ucap anak kecil tersebut, menarekan tangan untuk meminta gelang. Agatha menatap gelang di pergelangannya. Gelang tersebut pemberian Sagara, baru tadi diberikan saat mereka mengobrol. Gelang ini berarti dan berharga, tentu Agatha tak akan memberikannya. "Ck." Agatha berdecak kesal lalu beranjak dari sana. Akan tetapi anak kecil itu menarik tangannya lalu tiba-tiba mengigit tangan Agatha. "Argk! Monyet!" umpat Agatha dengan reflek mendorong anak itu sehingga si anak terjatuh lalu berakhir tersungkur di lantai. "Putriku." Seseorang memekik, mendekat k
"Pak Nail, tadi itu calon istrimu dan putrimu yah?" tanya Agatha secara santai, saat Nail telah dihadapannya dan tengah mengobati tangannya. Nail mendongak ke arah Agatha, menatap perempuan itu datar. "Panggil aku Mon Tresor." Agatha mengerucutkan bibir, tak suka dengan jawaban Nail yang terkesan mengalihkan pembicaraan. "Jika memang Pak Nail ingin menikah lagi kenapa aku dibawa ke sini? Nanti calon istrimu salah paham padamu." Nail tersenyum tipis, tiba-tiba mengecup punggung tangan istrinya. Lalu setelah itu duduk di sebelah Agatha. "Kau tak perlu salah paham, Darling. Stella hanya salah satu pesuruh ku. Dan selain kau, aku tidak pernah menyentuh perempuan manapun." "Eih … terlihat buaya," ucap Agatha, menarik tangannya secara cepat dari genggaman tangan Nail. "Humm. Buaya setia," jawab Nail santai, mendekat ke arah Agatha lalu dengan santai mengecup bibir perempuan itu. "Ja-jangan sembarangan!" Agatha memperingati Nail, menggosok bibirnya yang baru saja dicium oleh
"Hei, anda siapa dan cepat keluar dari tempat ini." Agatha yang berbuat menyentuh sebuah bunga krokot, reflek menoleh pada seseorang yang memanggilnya. "Aku?" Agatha menunjuk diri sendiri. Perbedaan yang membuat Agatha merasa tempat ini asing adalah para maid yang telah berganti. Agatha bahkan tak bertemu satu pun dengan penjaga atau maid lama. "Iya. Tolong keluar segera. Tuan melarang orang asing memasuki tempat ini. Hanya orang penting milik Tuan yang boleh memasuki kebun ini," ucap penjaga kebun bunga tersebut dengan menatap datar pada Agatha. "Dan … para penjaga kebun." "Tapi aku orang penting," jawab Agatha acuh tak acuh, memetik bunga krokot beserta batangnya yang menjalar. Dia merangkainya lalu mengenakannya di jari, layaknya cincin. "Apa--" Penjaga begitu kaget dan panik ketika melihat perempuan muda itu memetik bunga. Itu bunga kesayangan tuan mereka, bunga yang paling dijaga dan bahkan bisa dikatakan sangat spesial bagi sang tuan. Stella, perempuan yang dinobatka
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka