"Kau pilih siapa? Menyelamatkan keluargamu atau egois dengan berbahagia bersama istrimu?" Aiden menaikkan sebelah alis, menatap sejenak pada adiknya. Meskipun Nail masih enggan membuka suara tentang Stella, tetapi sepertinya Nail ingin mengatakan Stella ada sangkut pautnya dengan keluarga mereka. Dan Nail sepertinya berusaha melindungi hal tersebut. Aiden tersenyum tipis, merasa senang melihat adiknya. Walau sikap Nail sering disebut semena-mena dan jahat, tetapi dia adalah sosok yang sangat peduli dengan orang disekitarnya. Aiden sangat bangga memiliki adik seperti Nail. "Kakak akan memilih berbahagia dengan istri Kakak," jawab Aiden pada akhirnya. "Istri adalah keluargamu, kau menyeretnya dalam hidupmu sehingga kau bertanggung jawab untuk kebahagiaannya. Jika memang melindungi keluargamu bisa membuat dia terluka, lebih baik tidak perlu lindungi, Nail." Nail menganggukkan kepala, memahami dengan benar ucapan kakannya. Sayangnya situasinya tak semudah ini, Nail buntu. *** Agat
"Bintang dan Bulan. Seperti tak asing," monolog Agatha, berusaha mengingat-ingat tentang bintang dan bulan. Hingga tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, memperlihatkan Nail dengan raut muka datar. Agatha buru-buru menyimpan gelang tersebut lalu pura-pura sibuk membereskan paper bag. "Darling, kenapa tadi pagi kau tak sarapan?" tanya pria itu yang kini sudah duduk di sebelah Agatha. Agatha mendongak, menatap Nail dengan wajah gugup. Mengingat kesalahan serta kecerobohannya dalam mengambil keputusan, Agatha merasa bersalah pada Nail. "Aku sarapan di luar, Pak," jawab Agatha seadanya. Meskipun semua mulai terasa jelas, tetapi Agatha masih perlu berhati-hati dengan Nail. Kinara belum jelas anak siapa dan Nail juga belum tentu menyukainya. Siapa tahu pria ini hanya memanfaatkan Agatha untuk suatu hal, dan Nail melindunginya karena Agatha merupakan pion bagi Nail. Meskipun kecil bukankah pion kadang juga harus dilindungi? Nail dan keluarga pria ini penuh jebakan, Agatha harus waspada.
"Untuk apa kalian datang ke sini?" dingin Nail, menatap satu persatu keluarganya secara tajam. Mendapat laporan dari maid jika keluarganya datang ke rumah, Nail memutuskan pulang. Dia mencemaskan istrinya, takut jika keluarganya menyakiti istrinya. Dia tahu orangtuanya tak akan seperti itu, akan tetapi bagaimana dengan kakaknya? "Di mana perempuan itu? Sudah lima belas menit kami di sini, dia sama sekali tidak muncul. Apa dia tidak punya sopan santun?" marah Lucas, terlihat tidak senang karena merasa tak dihargai oleh istri Nail. Benar! Mereka sudah 15 menit menunggu di sini. Dia juga sudah menyuruh maid untuk memanggil Agatha. Tetapi perempuan itu tak kunjung muncul. Sangat tak sopan bukan? "Seperti itu perempuan yang kau pertahankan, Nail?" ucap Lucas lagi, benar-benar geram oleh sikap Agatha yang enggan muncul. "Ayah, jangan seperti itu. Mungkin saja Agatha memang tak tahu kita datang. Dan Ayah sudah berjanji ingin berdamai dengan Agatha kan?" tegur Zahra pada ayahnya.Ayahny
"Maafkan Papa dan Mama, Nak."Agatha kembali menanggukkan kepala. Dia lagi-lagi tertegun, ayah mertua yang ia pikir arogan ternyata bersedia meminta maaf. "Syakila bilang kau mendengar pembicaraan Nail dan Stella. Nail menunggu bosan--" Zein menjeda sejenak, melayangkan tatapan membunuh ke arah putranya. Sedangkan Nail, masih mempertahankan raut muka dingin yang tak bersahabat, "padamu barulah kau dilepas olehnya," lanjut Zein. Agatha diam seketika. Yah, dia mendengar obrolan Stella, di mana Nail mengatakan hal seperti itu pada Stella. Akan tetapi Agatha sudah tahu sebenarnya apayang terjadi. Agatha yang salah, dia membiarkan kemarahan menguasai dirinya sehingga memilih kabur tanpa sudi mendengar penjelasan suaminya. "Papa awalnya tak percaya jika Nail mengatakan hal itu pada Stella, Papa menyaksikan sendiri betapa hancurnya dia saat ditinggal olehmu. Tetapi mengingat Nail dan Stella memiliki anak, Papa rasa Nail memang melakukannya. Jadi … keputusan ada di tanganmu, Agatha." Agat
"Jadi kau bersedia menjadi istriku, selama-lamanya?" Gluk' Agatha meneguk saliva secara kasar, menatap gugup ke arah Nail. Dari smirk Nail, Agatha sudah merasakan ancaman. Dia yakin Nail akan melakukan sesuatu hal yang akan menjerat Agatha, membuat Agatha tidak bisa lepas dari pria ini. Nail sangat gila! 'Aku tak boleh langsung luluh. Pak Nail memang baik. Akan tetapi … Pak Nail tak bisa ditebak. Siapa tahu ini hanya kamuflase darinya.' batin Agatha, menatap Nail dengan was-was. "Ya … kenapa tidak? Mon Tresor kan artinya harta karun ku. Artinya Pak Nail adalah hartaku, ATM berjalanku. Kalau Pak Nail kulepas, aku mana punya uang lagi," jawab Agatha sengaja, supaya Agatha terlihat jahat dan tergila-gila uang. Dengan begitu, Nail berpikir dia perempuan matre. "Bagus." Nail meletakkan tangan di atas kepala Agatha, menepuk pelan pucuk kepala Agatha, "berpikirlah jika aku sangat berharga, Tata. Dengan begitu, kau tak akan lepas dariku," ucap Nail, menyunguingkan smirk tipis ke ara
Agatha meregangkan otot tubuhnya, dia baru saja selesai melukis–di mana lukisan tersebut akan ia tunjukan pada Almira, sang idola, pada acara seni beberapa hari yang akan datang. Setelah Nail pergi bekerja dan Sagara pergi ke sekolah, Agatha langsung memutuskan untuk melukis. Hampir tujuh jam ia habiskan di ruangan baca putranya, tempat sementara ia melukis. "Lukisan ku bagus juga. Huaaahhh … semoga Kak Almira suka lukisan ku dan semoga aku cepat menjadi seorang seniman yang populer," ucap Agatha, bermonolog sendiri sembari berjalan keluar dari ruangan putranya. Agatha sejujurnya ingin kembali ke kamar untuk istirahat. Akan tetapi karena kamarnya dan Nail ada di lantai atas, Agatha cukup malas. Dia memutuskan untuk tidur di sofa yang berada di ruang tamu. "Nyonya, apa ingin kami pijat atau buatkan minuman segar?" ucap salah satu maid, buru-buru menghampiri Agatha yang berbaring dengan lesu di atas sofa. "Tidak perlu, Bu." Agatha menjawab pelan. "Tetapi Tuan memerintah kami untu
"Stella!" geram Nail, tiba-tiba wajahnya berubah marah–rahang mengatup kuat dan mata membidik tajam. Stella tergelonjak kaget, reflek mundur dan berakhir terduduk di sofa karena kakinya tersandung sisi sofa yang berada di belakangnya. Namun, Stella buru-buru duduk karena takut pada Nail. "Tu-tuan, jangan salah paham padaku. Aku hanya ingin membantu anda dalam proyek di luar kota. Sedangkan Agatha-- agk …." Ucapan Stella berhenti seketika karena tiba-tiba saja Nail mencekik lehernya. Dia sungguh kaget. Semenjak Kinara ada, Nail selalu menjaga sikap padanya. Dia menganggap jika Nail telah membuka hati padanya. Akan tetapi setelah Agatha kembali-- lihat?! Bahkan Naik berani jauh, pria ini mencekiknya seolah ingin membunuhnya. Agatha adalah sumber masalah bagi Stella. "Nyonya!" Nail memperkuat cekikannya pada Stella, "panggil istriku dengan sebutan Nyonya. Posisimu sama dengan para maid di sini, hanya pekerja!" dingin Nail, melepas cekikannya dengan menghempas Stella ke samping sehin
"Ah, ternyata di sini ramai," ucap seseorang tersebut, membuat Stella spontan menoleh. Stella menoleh karena dia sangat mengenali suara seseorang tersebut. Orang tersebut adalah orang yang …-"Berisik sekali anak ini. Ck." Aiden berdecak pelan, melayangkan tatapan tajam ke arah Kinara–agar anak itu berhenti menangis. Aiden memang tak suka pada Kinara. Menurutnya anak itu sangat manja, cengeng dan luar biasa nakal. Andai Nail tak mempertahankan Stella dalam artian melindungi perempuan itu, mungkin Aiden sendiri yang akan mengusir Stella serta putrinya yang cengeng ini. Menyebalkan! "Kau tidak boleh seperti itu. Kinara hanya anak-anak," bela Nail tiba-tiba, membuat Agatha bingung. Bagaimana tak bingung? Sebelumya Nail membentak Kinara. Akan tetapi ketika Aiden yang mengatai Kinara–padahal dengan nada yang lembut, kenapa Nail menegur? 'Pak Nail seolah tak terima jika Kinara dikatai. Kan … aku jadi overthinking. Jangan-jangan benar jika Kinara adalah anak dari Pak Nail.' batin Agath
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka