"Tanganmu … terluka karena membawa paper bag sebanyak itu."'Mu-mulai lagi trik sok baiknya,' batin Agatha. Dia selalu menganggap perhatian Nail sebagai sebuah trik, akan tetapi dia selalu bawa perasaan karena perlakuan Nail yang seperti ini. "Ini tidak sakit dan memerah doang," jawab Agatha acuh tak acuh, menarik tangannya dari Nail. Nail menatap seorang maid, memerintahnya supaya mengambilkan air minum pada istrinya. "Ambilkan minum untuk Nyonya." "Untukku?" Aiden menaikan sebelah alis. Nail mengedikkan pundak, memilih membawa istrinya untuk duduk di sofa. Aiden terus memperhatikan perlakuan Nail pada istrinya, begitu lembut, perhatian dan sangat hati-hati. Siapapun yang melihatnya akan sepakat jika Nail memang sangat mencintai Agatha. Akan tetapi, jika memang Nail sangat mencintai Agatha lalu kenapa Nail terus melindungi Stella. Aiden tahu anak itu bukan milik adiknya karena dia pernah diam-diam melakukan tes DNA antara Nail dan Kinara. Aiden juga pernah membicarakan ini pada
"Kau pilih siapa? Menyelamatkan keluargamu atau egois dengan berbahagia bersama istrimu?" Aiden menaikkan sebelah alis, menatap sejenak pada adiknya. Meskipun Nail masih enggan membuka suara tentang Stella, tetapi sepertinya Nail ingin mengatakan Stella ada sangkut pautnya dengan keluarga mereka. Dan Nail sepertinya berusaha melindungi hal tersebut. Aiden tersenyum tipis, merasa senang melihat adiknya. Walau sikap Nail sering disebut semena-mena dan jahat, tetapi dia adalah sosok yang sangat peduli dengan orang disekitarnya. Aiden sangat bangga memiliki adik seperti Nail. "Kakak akan memilih berbahagia dengan istri Kakak," jawab Aiden pada akhirnya. "Istri adalah keluargamu, kau menyeretnya dalam hidupmu sehingga kau bertanggung jawab untuk kebahagiaannya. Jika memang melindungi keluargamu bisa membuat dia terluka, lebih baik tidak perlu lindungi, Nail." Nail menganggukkan kepala, memahami dengan benar ucapan kakannya. Sayangnya situasinya tak semudah ini, Nail buntu. *** Agat
"Bintang dan Bulan. Seperti tak asing," monolog Agatha, berusaha mengingat-ingat tentang bintang dan bulan. Hingga tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, memperlihatkan Nail dengan raut muka datar. Agatha buru-buru menyimpan gelang tersebut lalu pura-pura sibuk membereskan paper bag. "Darling, kenapa tadi pagi kau tak sarapan?" tanya pria itu yang kini sudah duduk di sebelah Agatha. Agatha mendongak, menatap Nail dengan wajah gugup. Mengingat kesalahan serta kecerobohannya dalam mengambil keputusan, Agatha merasa bersalah pada Nail. "Aku sarapan di luar, Pak," jawab Agatha seadanya. Meskipun semua mulai terasa jelas, tetapi Agatha masih perlu berhati-hati dengan Nail. Kinara belum jelas anak siapa dan Nail juga belum tentu menyukainya. Siapa tahu pria ini hanya memanfaatkan Agatha untuk suatu hal, dan Nail melindunginya karena Agatha merupakan pion bagi Nail. Meskipun kecil bukankah pion kadang juga harus dilindungi? Nail dan keluarga pria ini penuh jebakan, Agatha harus waspada.
"Untuk apa kalian datang ke sini?" dingin Nail, menatap satu persatu keluarganya secara tajam. Mendapat laporan dari maid jika keluarganya datang ke rumah, Nail memutuskan pulang. Dia mencemaskan istrinya, takut jika keluarganya menyakiti istrinya. Dia tahu orangtuanya tak akan seperti itu, akan tetapi bagaimana dengan kakaknya? "Di mana perempuan itu? Sudah lima belas menit kami di sini, dia sama sekali tidak muncul. Apa dia tidak punya sopan santun?" marah Lucas, terlihat tidak senang karena merasa tak dihargai oleh istri Nail. Benar! Mereka sudah 15 menit menunggu di sini. Dia juga sudah menyuruh maid untuk memanggil Agatha. Tetapi perempuan itu tak kunjung muncul. Sangat tak sopan bukan? "Seperti itu perempuan yang kau pertahankan, Nail?" ucap Lucas lagi, benar-benar geram oleh sikap Agatha yang enggan muncul. "Ayah, jangan seperti itu. Mungkin saja Agatha memang tak tahu kita datang. Dan Ayah sudah berjanji ingin berdamai dengan Agatha kan?" tegur Zahra pada ayahnya.Ayahny
"Maafkan Papa dan Mama, Nak."Agatha kembali menanggukkan kepala. Dia lagi-lagi tertegun, ayah mertua yang ia pikir arogan ternyata bersedia meminta maaf. "Syakila bilang kau mendengar pembicaraan Nail dan Stella. Nail menunggu bosan--" Zein menjeda sejenak, melayangkan tatapan membunuh ke arah putranya. Sedangkan Nail, masih mempertahankan raut muka dingin yang tak bersahabat, "padamu barulah kau dilepas olehnya," lanjut Zein. Agatha diam seketika. Yah, dia mendengar obrolan Stella, di mana Nail mengatakan hal seperti itu pada Stella. Akan tetapi Agatha sudah tahu sebenarnya apayang terjadi. Agatha yang salah, dia membiarkan kemarahan menguasai dirinya sehingga memilih kabur tanpa sudi mendengar penjelasan suaminya. "Papa awalnya tak percaya jika Nail mengatakan hal itu pada Stella, Papa menyaksikan sendiri betapa hancurnya dia saat ditinggal olehmu. Tetapi mengingat Nail dan Stella memiliki anak, Papa rasa Nail memang melakukannya. Jadi … keputusan ada di tanganmu, Agatha." Agat
"Jadi kau bersedia menjadi istriku, selama-lamanya?" Gluk' Agatha meneguk saliva secara kasar, menatap gugup ke arah Nail. Dari smirk Nail, Agatha sudah merasakan ancaman. Dia yakin Nail akan melakukan sesuatu hal yang akan menjerat Agatha, membuat Agatha tidak bisa lepas dari pria ini. Nail sangat gila! 'Aku tak boleh langsung luluh. Pak Nail memang baik. Akan tetapi … Pak Nail tak bisa ditebak. Siapa tahu ini hanya kamuflase darinya.' batin Agatha, menatap Nail dengan was-was. "Ya … kenapa tidak? Mon Tresor kan artinya harta karun ku. Artinya Pak Nail adalah hartaku, ATM berjalanku. Kalau Pak Nail kulepas, aku mana punya uang lagi," jawab Agatha sengaja, supaya Agatha terlihat jahat dan tergila-gila uang. Dengan begitu, Nail berpikir dia perempuan matre. "Bagus." Nail meletakkan tangan di atas kepala Agatha, menepuk pelan pucuk kepala Agatha, "berpikirlah jika aku sangat berharga, Tata. Dengan begitu, kau tak akan lepas dariku," ucap Nail, menyunguingkan smirk tipis ke ara
Agatha meregangkan otot tubuhnya, dia baru saja selesai melukis–di mana lukisan tersebut akan ia tunjukan pada Almira, sang idola, pada acara seni beberapa hari yang akan datang. Setelah Nail pergi bekerja dan Sagara pergi ke sekolah, Agatha langsung memutuskan untuk melukis. Hampir tujuh jam ia habiskan di ruangan baca putranya, tempat sementara ia melukis. "Lukisan ku bagus juga. Huaaahhh … semoga Kak Almira suka lukisan ku dan semoga aku cepat menjadi seorang seniman yang populer," ucap Agatha, bermonolog sendiri sembari berjalan keluar dari ruangan putranya. Agatha sejujurnya ingin kembali ke kamar untuk istirahat. Akan tetapi karena kamarnya dan Nail ada di lantai atas, Agatha cukup malas. Dia memutuskan untuk tidur di sofa yang berada di ruang tamu. "Nyonya, apa ingin kami pijat atau buatkan minuman segar?" ucap salah satu maid, buru-buru menghampiri Agatha yang berbaring dengan lesu di atas sofa. "Tidak perlu, Bu." Agatha menjawab pelan. "Tetapi Tuan memerintah kami untu
"Stella!" geram Nail, tiba-tiba wajahnya berubah marah–rahang mengatup kuat dan mata membidik tajam. Stella tergelonjak kaget, reflek mundur dan berakhir terduduk di sofa karena kakinya tersandung sisi sofa yang berada di belakangnya. Namun, Stella buru-buru duduk karena takut pada Nail. "Tu-tuan, jangan salah paham padaku. Aku hanya ingin membantu anda dalam proyek di luar kota. Sedangkan Agatha-- agk …." Ucapan Stella berhenti seketika karena tiba-tiba saja Nail mencekik lehernya. Dia sungguh kaget. Semenjak Kinara ada, Nail selalu menjaga sikap padanya. Dia menganggap jika Nail telah membuka hati padanya. Akan tetapi setelah Agatha kembali-- lihat?! Bahkan Naik berani jauh, pria ini mencekiknya seolah ingin membunuhnya. Agatha adalah sumber masalah bagi Stella. "Nyonya!" Nail memperkuat cekikannya pada Stella, "panggil istriku dengan sebutan Nyonya. Posisimu sama dengan para maid di sini, hanya pekerja!" dingin Nail, melepas cekikannya dengan menghempas Stella ke samping sehin
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k