Kali ini giliran Ratih yang memberikan kesaksian. Ia bersaksi sesuai dengan apa yang memang dialaminya. Tanpa menambah atau mengurangi, semua dia ceritakan secara detail, setelah hakim langsung memberikan kesempatan untuk pengacara Rangga untuk bertanya kepada Ratih. “Apa ada pertanyaan dari tim kuasa hukum terdakwa?” ucap hakim ketua. “Iya, Hakim ketua,” sahut Yono lalu berdiri dan menghadap kepada Ratih. “Nyonya Ratih, boleh saya tau dulu hubungan Anda dengan Terdakwa?” tanya Yono memulai pertanyaannya. “Rangga adalah kekasih saya, dulu,” jawab Ratih tenang dan teratur. “Berapa lama Anda dan Terdakwa berpacaran?” tanya Yono lagi. “Kurang lebih selama tiga tahun,” sahut Ratih juga masih tenang. “Hem, lalu apakah benar saat Anda memutuskan Terdakwa itu tidak hanya empat mata. Melainkan Anda mempermalukan terdakwa di hadapan banyak tamu?” tanya Yono sekali lagi. “Benar, lalu apa hubungannya masalah pribadi ini dengan kasus percobaan pembunuhan yang saya hadapi?” tanya Ratih mul
“Kalau begitu bawa pasukanmu yang agak banyak. Jangan membuang waktu lagi, kita pergi sekarang juga,” titah Sundari.Sementara semua urusan di Jakarta telah diselesaikan dengan tuntas oleh Abizar. Ia, Fitri, Jakse, Leo dan Dr. Tuti, kini sedang berjalan dengan kepala yang terangkat menaiki anak tangga pesawat. Tujuan pertama mereka adalah menuju ke sebuah vila yang berada di bukit tinggi.“Apa kamu yakin, kalau kali ini kita tidak akan gagal?” tanya Abizar kepada Jakse.“Tuan, modal peluru kita sudah lebih dari cukup. Saya yakin, setelah ini semua akan segera selesai. Tidak lama lagi, Tuan.” Jakse kembali meyakinkan Abizar yang masih terlihat resah.“Tenanglah, Abizar. Ada aku juga yang menemanimu.” Tuti juga ikut menenangkan Abizar sambil memegang pergelangan tangan Abizar.Wajah Abizar tersenyum lega, ia merasa tenang sekarang. Bukan masalah seberapa kerugian materi yang Abizar pikirkan. Tetapi nyawa seorang anak kecil yang menjadi taruhannya, dia sadar jika dirinya kini berkejaran
Sore itu, Soni yang sedang menyeruput teh dan memakan gabin asin saat itu sedang bertukar pesan dengan Tedi. “Jadi bagaimana, Bang Ted? Semua rencana tidak berubah lagi kan? Setelah vonis Rangga dibacakan, hari itu juga target ‘R’ langsung kita ciduk kan, Bang?” tanya Soni untuk mengkonfirmasi kembali rencana mereka.“Hem, tentu saja. Tidak ada yang berubah, ingat yah, Dek. Kalau tidak bisa ditangkap hidup, tembak mati ditempat.” Soni mengangguk saat membaca balasan dari Tedy tersebut.Baru saja ia akan menyimpan ponsel black berrynya masuk ke kantung. Tiba-tiba saja nama komandannya muncul di layar ponsel berbarengan dengan suara notifikasi panggilan masuk. Soni agak heran, tidak biasanya dia dihubungi pada saat hari bebas piket.Apalagi Soni tau kalau saat ini, komandannya sedang bersantai di bukit tinggi dengan keluarganya. Itulah yang diketahui oleh Soni. Ia segera mengangkat dan mendapatkan perintah untuk menyusul ke Bukit tinggi.Tanpa ada rasa curiga sedikit pun, Soni segera b
“Habis kau, sebentar lagi Tedi Johan!” gumam Leo menatap geram dalang pembunuhan banyak orang tersebut.Tidak lama kemudian, panggilan kepada seluruh penumpang dengan tujuan ke Pekanbaru dipanggil untuk mulai memasuki pesawat tersebut. Tedi, lantas mencocokkan nomor penerbangan pesawat yang dibacakan dengan yang tertera di boarding pass.Ia langsung memakai kaca mata hitam dan segera melangkah menuju ke keluar ruang tunggu dengan koper yang ditentengnya. Wajahnya tegas, seulas senyum tipis membuat aura maskulin sekaligus misterius menjadi ciri khas seorang Tedi Johan.“Target sudah naik ke pesawat, Komandan,” lapor salah seorang intel yang bertugas di lapangan.“Hem, awasi terus. Jangan sampai lolos,” titah Sigit dengan tegas.Setelah Tedi duduk di nomor kursi yang sesuai dengan tiketnya, ia segera memakai sabuk pengaman dan memanggu koper berisikan uang tersebut. Lalu ia memakai headphone di telinganya untuk menikmati alunan music bagi para penumpang VIP pesawat komersil tersebut sam
Saat di dalam mobil tahanan berpengawalan ketat, Tedi duduk dibagian tengah dan diapit oleh dua orang polisi Pak Ucok seorang polisi berambut cepak dan Pak Alfri polisi berambut gondrong. Perjalanan awalnya lancar.Baik Alfri dan Ucok sudah menganggap kalau Tedi Johan, dapat ditenangkan dan ditangkap tanpa perlawanan berarti. Tapi, dugaan mereka ternyata meleset. Saat mobil sudah dekat dengan perempatan tracfic light, tiba-tiba saja Tedi langsung berdiri dan menindis Pak Alfri dengan tubuhnya serta merampas pistol dan berbalik menembak kepala Ucok yang posisi saat itu lengah karena terkena hentakan tarikan tubuh Tedi Johan.DOR!“Sialan!” teriak Alfri langsung segera menyundul wajah Tedi dengan kepala hingga hidung Tedi mengeluarkan darah.Ia berikan satu uppercut di dagu, serta memukul ulu hati Tedi dengan siku tangannya dan membuat Tedi tersungkur. Perkelahian di dalam mobil tersebut membuat kondisi mobil oleh dan langsung saja menabrak tiang lampu merah di perempatan.“Kurang ajar
“Aku berharap dia tidak selamat, mungkin dengan cara ini dia akan berhenti menyakiti banyak orang, Deva. Aku tidak bisa membayangkan jika dia hidup dan menggunakan semua fasilitas kekuatannya untuk kembali lolos dan justru membalas dendam kepada kita. Apa kamu tidak pernah pikirkan hal tersebut?” ucap Ratih dengan wajah yang menatap ngeri suaminya. Deva lalu terdiam dan berpikir. Ia mengingat kembali beberapa malam lalu, saat Sundari dan Parlin serta anak buahnya turun menuju ke rumah kayu tempat Susantio selama ini menyembunyikan uang dan dirinya. Itulah pertama kalinya mereka bertemu dengan seorang pria jangkung yang bernama Lukman. Pria tersebut mengangkat kedua tangannya dan berteriak meminta untuk diberikan kesempatan untuk berbicara. “Tuan! Ku mohon, dengarkanlah saya. Saya tidak bersenjata, ini bukan jebakan dan silahkan periksa saya sekarang juga kalau Tuan tidak percaya,” teriaknya sambil mengangkat kedua tangan. Saat itu Sundarilah yang datang mendekati Lukman dan segera
Belum sempat Lukman memberitahu, suara beberapa mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya Deva. Buru-buru Deva, Parlin, Sundari dan Lukman langsung keluar menyambut kedatangan Abizar dan rombongannya. Deva langsung memeluk Abizar dengan erat. “Papa, baik-baik saja?” tanya Deva khawatir kepada papanya. “Aku tidak ikut berlari ke sana ke mari mengejar Tedi. Aku hanya mengikuti mereka di dalam mobil yang nyaman. Papa kasihan sama Pak Ucok, semoga beliau selamat,” ucap Abizar dengan mata berkaca-kaca dan menyugar rambutnya kebelakang. “Masuk dulu, Pa.” Deva langsung memegang tangan Abizar dan mengajaknya ke ruang tamu. “Mana menantuku? Kenapa dia tidak datang menyambutku?” tanya Abizar mencari Ratih. Deva menghela nafas. “Ratih ngambek sama Deva, Pa. dia ada di kamar, pasti tidak dengar kalau ada Papa datang. Nanti Deva panggil,” lapor Deva kepada papanya. “Ada apa? Kenapa sampai kamu membuat istrimu itu ngambek, hem?” tanya Abizar mengusap wajahnya. “Dia mendoakan agar Tedi meningg
Kabar penangkapan Tedi yang cukup menghebohkan kalangan intern kepolisian sementara dirahasiakan dan hanya segelintir orang saja yang tau. Sigit sudah memerintahkan agar tidak terjadi kebocoran informasi, walau ada beberapa wartawan yang sudah penasaran di rumah sakit bayangkari, tapi penjagaan yang sangat ketat membuat wartawan tidak bisa berkutik.“Demi keamanan negara, tidak ada yang boleh masuk. Nanti, jika pada waktunya akan ada konferensi pers. Sementara, kalian pulanglah dulu,” usir Asep dengan halus kepada para teman-teman wartawannya.Banyak sekali wartawan yang kecewa dan banyak pula yang pulang tapi sebagian kecil mereka memilih untuk bertahan. Yang memilih bertahan itulah ancaman bagi Asep dan sudah menjadi tugas Asep untuk menjaga ketat, agar mereka tidak dapat masuk ke area rumah sakit.Operasi pengangkatakan peluru yang bersarang di kepala Ucok dan Tedi masih berlangsung. Pembedahan pada bagian kepala memang tidak akan mudah untuk dilakukan, sedangkan Hastuti kini sedan
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.