"Diamlah, bodoh! Jangan buat aku tambah pusing. Mayat Susantio memang sudah ditemukan, makanya aku sampai menghampirimu sekarang! Agar, apapun yang terjadi, uang ini tetap aman! Kalau saja kacung bodoh ini mengikat pemberat di kakinya dengan benar, maka hal ini tidak akan terjadi!" Tejo lantas meluapkan emosinya sambil memukul kepala salah satu anak buahnya. "Maafkan kecerobohan saya, Tuan," sesal anak buah yang biasa dipanggil Lukman. "Yah, memang kau sangat ceroboh! Untung saja kau masih hidup sampai sekarang, kalau saja aku tidak memikirkan rencana kita kedepannya, ku pastikan isi kepalamu pasti sudah terburai saat ini!" Ancaman Tejo, tidak dianggap sebagai ancaman biasa oleh Lukman. Setelah melayani Tejo sekian lama, baru kali ini dia mengatupkan bibir dan bergidik ngeri. Bagaimana tidak, Lukman adalah salah saksi mata, yang melihat bagaimana Tejo menyiksa dan membunuh Susantio dengan keji. Bukan hanya itu, Tejo bahkan tega menculik anak kecil dan mengurungnya tanpa belas kasi
Kebetulan siang itu adalah jadwal sidangnya Rangga, ia selalu menghitung kira-kira masih berapa lama lagi dirinya harus menunggu persidangan ini selesai. Rangga juga berpikir lebih baik mengaku saja dari pada membela diri, agar proses persidangan segera selesai. "Rangga! Pengacaramu datang. Keluarlah, ini jam kunjungan," panggil salah satu sipir kepada Rangga dan mengampiri Rajimin. "Woi! Kau, Si Tuli! Kau juga mendapat kunjungan, pergilah ada seorang wanita yang membawa tumpukan rantang untukmu." Sopir itu berteriak di samping telinga Rajimin. "Siap, Komandan!" sahu Jimin seperti biasa selalu mengangkat tangan dan memberikan hormat. Rangga mendengus kesal melihat tingkah para sipir tersebut, tapi ia memilih untuk mengunci mulutnya. Keduanya lantas keluar bersama-sama menuju ke sebuah ruangan yang disediakan bagi para narapidana untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat saat jadwal kunjungan. Terlihat para pengunjung sudah duduk di kursi dan meja yang memiliki nomor sesuai dengan
Sipir muda itu langsung naik pitam, ia menggebrak meja dan membuat semua pengunjung terjingkat serta menoleh kebelakang. "Apa yang kalian sembunyikan, hah?! Kertas apa ini! Cepat, buka genggamanmu dan keluarkan!" bentak sipir tersebut. Mendadak tidak ada lagi suara gremengan para pengunjung dan narapidana yang berada di ruangan tersebut. Semua justru memilih diam dan fokus dengan amukan sipir muda tersebut. Karena suara sipir muda tersebut, Jimin bisa mendengar suara dan permintaan sipir itu kepada istrinya. “Komandan, Anda tidak perlu membentak istri saya, cukup minta saya untuk berbicara dengannya,” sahut Jimin dengan mata sudah menggantu kristal bening di pelupuk matanya. Sipir tersebut tidak terima karena Jimin berani menjawabnya. Ia langsung dengan kasar menarik kerah bajunya Jimin. “Kau nantang aku, Setan!” teriak sipir muda tersebut. Sundari langsung panik dan datang menengahi Jimin dan Sipir tersebut. “Tidak Pak, suami saya tidak nantang Pak. Bapak salah paham,” Sundari s
Jimin menanggapainya dengan menggaruk kepala yang tidak gatal dan cengengesan, lalu menunduk hormat kepada Rangga yang masuh berbincang dengan pengacaranya. Saat berada di luar lapas tersebut, ponsel Sundari berbunyi dengan sebuah pesan. “Apa paket sudah diterima?” baca Sundari dalam hati. “Iya,” balasnya. Sundari lantas keluar dan pergi menggunakan angkutan umum seperti biasanya. Ia menuju ke rumah sangat sederhana, tempatnya tinggal dengan Jimin sebelumnya, matanya awas ke sana ke mari, melihat kalau-kalau ada yang mengikutinya. Untunglah sampai di rumahnya tidak ada satu pun orang yang ada di belakangnya. “Aku akan meluncur sekarang.” Ketik Sundari lalu mengirim pesan tersebut. Ia mengganti pakaiannya dengan gamis serba hitam dan jilbab panjang serta memakai cadar. Sundari lalu berjalan kaki melewati lorong rumahnya dan pergi ke terminal, sesampai di sana ia segera masuk ke dalam sebuah toilet dan kembali mengganti kostumnya. Gamis berwarna pink muda dengan jilbab yang juga cu
“Apa Ikbal, bisa menggantikan Parlin saja?” tanya Ratih sambil memperhatikan Parlin yang mendadak berkeringat walau ruangan tersebut sudah ada pendinginnya. “Tidak bisa, Ratih. Hari ini Ikbal dan Sundari akan pergi ke acara sidangnya Rangga. minggu depan jadwal sidang kamu dan Parlin. Kalian bersiaplah, malam ini Jakse juga akan datang. Belum lagi nanti anak buahnya Jakse harus ke Jakarta dengan Papa membawa surat kuasa dari Kak Fitri.” Deva menjelaskan panjang lebar. Ratih mendesah kasihan kepada Parlin. Mungkin tidak sekarang, tetapi lain kali. “Baiklah, kalau begitu, kita ke kantor sekarang. Untuk berkas ini sepulang dari bertemu Rahma baru kita runtut bersama yah,” ucap Ratih. Sambil mengangguk dam menyimpan berkas tersebut, Deva lalu menepuk bahu Parlin. “Lain kali, aku akan mengatur waktu yang pas untukmu dan Sundari. Tenanglah, bukan hanya istriku yang menangkap basah gelagat tidak biasa darimu, Parlin,’ bisik Deva sambil terkekeh dan kemudian segera menuju ke mobil pribadiny
“Di antara semuanya, yang mana yang pernah kamu kenal? Apa mereka pernah menemui Yoga Budiman? Aku perlu keterangan yang sangat jelas dan jujur darimu, setelahnya nanti malam, aku akan meminta Parlin dan beberapa bodyguardnya suamiku untuk menjemputmu dan ibu kamu,” janji Ratih kepada Rahma. “Terima kasih, Nyonya.” Rasa syukur Rahma tergambarkan dengan raut wajah yah terlihat bisa bernafas lega. Rahma langsung menajamkan pandangannya melihat satu per satu foto yang tidak dikenalnya. Hingga ia menunjuk seorang pria yang juga sudah tidak assing bagi Ratih dan Deva. “Ini, Nyonya. Saya pernah melihat orang ini saat bertransaksi. Selama ini saya tidak pernah tau ada urusan bisnis apa mereka, yang saya kerjakan hanyalah bagian perhitungan uang keluar masuk, dan ….” Rahma menggantung ucapannya. “Dan apa, Rahma?” Deva angkat suara. “Dan, diwajibkan untuk memark up semua harga bahan baku keperluan pabrik, serta bekerja sama dengan bagian purchasing untuk menukar kualitas barang yang menja
Perlahan Rahma tempelkan matanya, di kaca berbentuk bulatan seperti uang koin seratus rupiah. Dan, saat ia melihat siapa yang berdiri di luar sana, tubuh Rahma langsung bergidik ngeri. Secepak kilat ia langsung berlari masuk ke dalam kamar dengan wajah paniknya Nomor satu yang dicari adalah anaknya. “Juno! Juno! Dengarkan Mama baik-baik, masuk ke dalam sini dan jangan lakukan apapun. Jangan bersuara sama sekali, apapun yang terjadi kamu harus diam, apa kamu paham, Nak?! Paham? Ingat, Juno hanya boleh keluar kalau melihat Om ini, ngerti? Janji?! Cepat, katakan kamu berjanji!” pekik Rahma setengah berbisik. Anak laki-laki berusia Sembilan tahun itu, langsung ketakutan melihat kepanikan mamanya. “Ada apa, Ma?” tanya Juno menahan tangis. “Pokoknya berjanjilah! Mama, tidak bisa menjelaskannya sekarang. Ini ponsel Mama.” Rahma buru-buru mengganti setelannya menjadi mode silent dan memberikannya kepada Juno. “Tepat jam delapan akan ada yang menjemput kita, namanya Om Parlin. Pergi dan ik
"Kita pasti akan tau nantinya dan Deva, lihatlah. Jimin juga mengatakan, kalau Rangga menyembunyikan sebuah koper berwarna hitam kotak-kotak bercampur list coklat. Apa, itu koper yang sama dengan koper yang diambil oleh perempuan di tempatnya Susantio?" tanya Ratih penasaran, pasalnya Ratih tidak terlalu memperhatikan detail video tersebut. Tapi berbeda dengan Deva, ia menggangguk tanpa ragu. "Iya, memang mirip. Walau tidak tau warnanya tapi koper tersebut seingatku memang bermotif kotak-kotak." Deva sangat yakin "Berarti benar yg kamu bilang kemarin. Kalau isi koper itu adalah uang, uang yang sangat banyak senilai Dua Milyar Setengah. Lalu siapa bos besar, yang selama ini menerima hasil karet hasil dari penukar tersebut?" Ratih memutar otak dan menggali ingatan masa depannya. Deva pun kini ikut berpikir, Parlin juga berusaha menemukan jawaban. Juga Sundari yang menulis beberapa bos pengepul karet dari yang kecil hingga yang besar. Lalu menaruh diatas meja, agar dia dapat menjelask
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.